“Aya bisa kita bicara sebentar?” panggil ayah Rayasa ketika melihat sang putri menyelonong melewati ruang tamu, hendak menuju kamarnya di lantai atas.
“Ada apa, Yah?” balas Aya berdiri di depan tangga tanpa berniat mendekati sang ayah yang masih duduk bertumpang kaki di sofa.
Di sana juga ada perempuan bersanggul tinggi yang tampak asyik menikmati teh hijau hangat.
“Tidak sopan bicara dengan orang tua seperti itu, cepat sini dan duduk di depan ayah.”
Aya mengembuskan napas kasar, malas nih dia kalau sudah begini. Berbagai asumsi pertanyaan yang akan diajukan sang ayah sudah terbesit di benak perempuan itu. Aya lelah sekali malam ini, dia tidak ingin melakukan sesi wawancara dengan siapa pun apalagi jika topik pembahasannya tentang Alister. Dia muak dengan pria itu. seharian bepergian dengannya membuat tensi Aya meningkat. Di harus minum obat pereda stres setelah ini. Ya, Aya sudah merencanakannya.
Enggan menimbulkan perdebatan dan huru-hara panjang malam ini, Aya langsung menghampiri ayah dan ibunya di ruang tengah. Dia duduk tepat si sofa yang berseberangan dengan sang ayah. Duduk dengan malas-malasan sambil menunjukkan raut lelah.
“Kamu habis dari mana seharian ini?” tanya Erland, Aya bahkan sampai mengerutkan kening.
Tak biasanya sang ayah menanyakan hal semacam ini pada Aya. Biasanya ketika Aya masih kerja di rumah sakit, dia mau pulang jam berapa pun tidak pernah tuh mendapat pertanyaan semacam ini.
“Abis ketemu sama Alister, Yah.”
Narnia yang tadi tak acuh dengan kehadiran Aya tiba-tiba memusatkan fokusnya pada Aya. Ia tinggalkan semua kegiatan yang dilakukannya sebelum Aya tiba di sana. bahkan beberapa detik lalu Narnia terkesan tidak peduli dengan kehadiran Aya, namun setelah mendengar nama Alister Byantara semuanya berubah.
“Kamu habis dari mana sama Alister? Ngapain aja seharian ini, kenapa enggak bilang sama ibu?” tanya Narnia beruntun. Terlihat sangat antusias dan penasaran.
“Abis fitting baju pengantin, aku enggak bilang karena emang enggak penting ya, kan?”
“Bisa-bisanya kamu bilang pertemuanmu dengan Alister enggak penting? Apalagi tadi kalian fitting baju pengantin bareng, itu penting banget tahu!” tegas Narnia.
Aya membeliakkan mata, malas saja mendengar ocehan wanita tua ini. Ah, Aya melihat tanda-tanda akan ada ceramah panjang setelah ini. Tolong ... Aya tidak ingin mengalami itu sekarang. Dia benar-benar lelah, ingin segera berendam di bathup sambil menikmati aroma terapi kesukaannya di sana.
“Ayah senang mendengarnya, Ay. Tadi sore, pak Reanaldy juga menghubungi ayah katanya jadwal fitting seragam keluarga pengantin akan dilaksanakan lusa,” jelas Erland, Aya hanya angguk-angguk saja.
“Benarkah itu, Yah? Kenapa enggak bilang dari tadi sama Ibu sih, Yah?” timpal Narnia merasa telat mendapat informasi membahagiakan ini.
Erland tertawa renyah, dia sengaja melakukan itu karena tidak ingin istrinya heboh lebih dulu. Lihat sendiri kan, dibanding Aya, justru Narnialah yang terlihat sangat antusias dengan kabar ini. Pokoknya segala sesuatu yang menyangkut keluarga Byantara akan membuat perempuan paruh baya itu bersemangat.
“Yang penting kan sekarang sudah bilang,” kata Erland memberi senyum pada istrinya lalu beralih menatap putrinya penuh rasa lega, “Ayah benar-benar masih tidak percaya kamu akan dipersunting oleh Alister Byantara, Ay. Ini terasa seperti mimpi.”
Keluarga Aya memang cukup terpandang, mereka tidak pernah kekurangan uang dari untuk memenuhi kebutuhannya. Namun jika dibandingkan dengan keluarga Alister tentunya kekayaan keluarga Aya masih belum seberapa. Mendapat kabar bahwa putrinya akan dinikahi keluarga konglomerat jelas seperti sebuah rezeki nomplok bagi keluarga perempuan itu.
“Semua ini berkat kita juga, Yah, kita yang menyekolahkan Aya setinggi mungkin hingga dia bisa menjadi dokter di rumah sakit ternama. Ayah lupa waktu itu Alister cerita kalau awal pertemuan mereka terjadi di rumah sakit. Coba kalau Aya tidak menjadi dokter di sana, mana mungkin dia bisa ketemu sama Alister.”
Aya tidak berniat menimpali pendapat ibunya itu. Dia hanya mendecih sinis sambil membuang muka. Lelah rasanya berpura-pura menunjukkan sikap manis pada situasi ini.
“Apa pun alasannya yang terpenting Alister sudah memilih Aya untuk dijadikan istri. Itu kesempatan emas yang tidak mungkin datang dua kali.”
Bisa-bisanya Erland berkata seperti itu di depan Aya. Memang benar Aya yang menjadi dalang dari pernikahan tak wajar ini. akan tetapi, setelah melihat respons kedua orang tuanya membuat Aya bertanya-tanya. Apakah kedua orang tuanya sama sekali tidak mengkhawatirkan nasib Aya ke depannya akan seperti apa? Tidakkah mereka berpikir jika menjadi istri kedua bisa menjadi neraka dunia untuk Aya?
“Ayah benar-benar rela aku dijadikan istri kedua? Itu tidak akan menjadi masalah bagi pencalonan ayah sebagai gubernur nanti? Bagaimana jika muncul isu negatif tentang ini, tidakkah itu mengurangi kredibilitas ayah sebagai calon gubernur?” pancing Aya, ia ingin mendengar bagaimana pendapat ayahnya tentang ini.
Menjadi calon gubernur dengan latar belakang keluarga yang cacat tentu akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Apalagi isu perselingkuhan dan poligami sangatlah sensitif di negara ini. Satu pesohor yang terlibat kasus perselingkuhan maka satu negara yang akan mengadili pelakunya. Apalagi jika ada pelakor, ah sudah jelas perempuan itu akan dinobatkan sebagai musuh kaum perempuan nasional.
“Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Ay, ayah bisa menangani masalah ini nanti. Kamu bilang bahwa kamu dan Alister saling mencintai, bagi ayah itu sudah lebih dari cukup untuk mendukung semua keputusanmu. Walaupun kamu dijadikan istri kedua, Alister sudah berjanji pada ayah bahwa dia akan lebih membahagiakanmu.”
Haruskah Aya sedang dengan jawaban Erland? Kedengarannya jawaban itu cukup bijak untuk disampaikan oleh seorang ayah. Namun entah mengapa, hati kecil Aya justru meringis ketika mendengar sang ayah berkata demikian.
“Kamu ini bagaimana sih Aya, calon mertuamu adalah orang paling kaya di Asia. Dia memiliki kuasa yang sangat besar di
3.bidang apa pun, dia bisa dengan mudah membungkam media dan massa jika muncul berita negatif tentang pernikahanmu dan Alister. Kamu tidak usah khawatir dan tidak perlu berpikir macam-macam lagi. Fokus saja pada pernikahanmu yang sudah di depan mata. Jangan sia-siakan peluang emas, kamu harus bisa menjadi menantu kesayangan keluarga Byantara.”
Sudah cukup, Aya tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Telinganya pengang, apalagi sekarang darahnya juga mulai bergejolak.
“Sudah selesai kan, Yah? Aku lelah mau istirahat,” kata Aya sambil berdiri.
“Iya, silakan kamu istirahat, jangan terlalu kecapekan, pesta pernikahanmu nanti pasti akan sangat melelahkan karena diadakan secara besar-besaran. Makanya kamu harus menyiapkan stamina ekstra. Kalau perlu kamu ambil cuti saja dari sekarang dari pekerjaanmu,” jelas Erland.
Aya bergegas pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mood yang semula sudah dijatuhkan oleh Alister semakin hancur saja setelah berbincang singkat dengan kedua orang tuanya.
“Semua orang memang sialan!” gumam gadis itu sembari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Mila, apa yang membawamu ke sini malam-malam, Nak?"Ratna menyambut anaknya dengan panik, tidak biasanya Mila berkunjung tanpa memberitahu terlebih ini sudah sangat malam. Mana di luar hujan cukup deras. "Aku mau menginap di sini, Ma.""Apa yang terjadi? Apa kamu diusir sama Alister dan si pelakor itu? Kurang ajar, berani-beraninya mereka melakukan ini terhadapmu. Ini tidak bisa dibiarkan, Mama harus membuat perhitungan kepada mereka."Dengan menggebu-gebu Ratna berniat menelpon Alister namun segera Mila mencegahnya. "Please, Ma, jangan melakukan sesuatu yang enggak aku minta. Aku datang ke sini cuma pengen istirahat dengan tenang dan menyegarkan pikiranku. Soalnya aku lagi mumet banget.""Iya, kamu kayak gini pasti gara-gara si Rayasa itu, kan?"Mila memejam jengkel, sungguh kali ini dia sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Kenapa mamanya tidak mau mengerti akan hal itu? Hari ini sudah terlalu berat bagi perempuan itu. Melihat kebersamaan Rayasa dengan Alister yang semaki
Sekitar empat puluh menit waktu yang ditempuh Alister dan Rayasa untuk tiba di tempat tujuan. Sebuah restoran bergaya klasik yang memiliki lima lantai. Mereka masuk ke sana dan melakukan reservasi dadakan, untungnya masih bisa karena weekday sehingga tamunya tidak begitu banyak. Aya memilih table yang ada di rooftop, sepertinya suasana di sana akan sangat menyegarkan jika dinikmati saat malam. Terlebih malam ini bentangan langit menampakkan wajah ceria. Malam tidak terlalu pekat karena sinar rembulan bersinar terang, bentuknya pun bulat sempurna. Di pinggirannya bertabur kelip bintang seakan menyemarakkan pemandangan cakrawala malam ini."Indah sekali," gumam Aya yang terus mendongak sambil menyapa bintang-bintang dengan senyum manisnya.Mereka sudah berada di tempat duduk yang ada di area rooftopp. Area ini didesain sedemikianrupa untuk menciptakan nuansa yang akrab dan romantis. Kursinya menggunakan sofa empuk berlapis bahan beludru atau linen premium, dengan bantal-
"Apa katamu? Dipermalukan?" respon Alister saat mendengar penjelasan Vincent tentang Rayasa."Iya, istrimu tadi cerita padaku, katanya dia dimarahi dan disiram oleh putri dari pak Tanto. Dari semua keluarga korban, memang anak-anak pak Tanto yang belum bisa menerima maaf Aya. Mereka keras kepala sekali.""Apa semua biaya yang diperlukan untuk keluarga korban sudah dibayarkan?""Sejauh yang aku tahu sudah, bahkan Aya berniat untuk memberikan beasiswa kepada kedua anak pak Tanto. Bagaimana pun sekarang ayah mereka koma dan itu tentunya berpengaruh terhadap kondisi keuangan keluarga.""Berapa total keluarga inti mereka?" Alister masih duduk di kursinya, perhatiannya sedikit terusik ketika membahas kasus Aya. Padahal sebelumnya Vincent sudah mengajak pria itu berbincang banyak hal namun tidak pernah benar-benar ditanggapi. "Jumlah anggota keluarganya ideal, pak Tanto dan Bu Ratmi punya dua anak. Satu perempuan yang masih SMA, dan satunya lagi laki-laki. Dia masih kuliah, katanya sekaran
Prangg!!!Tempat makan berserakan menumpahkan isinya tepat di bawah kaki Rayasa, perempuan itu nampak tidak terkejut. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, mendapat penolakan dari keluarga korban mal praktik yang sampai saat ini masih belum bisa menerima kejahatan yang dilakukan Rayasa. Selamanya apa yang dilakukan dokter itu akan menjadi luka terdalam bagi keluarga korban. Sebenarnya tadi Vincent sudah melarang Rayasa untuk tidak datang dulu, namun Aya tidak bisa ditentang. Dia tetap ingin menjenguk meski tahu akan ditolak mentah-mentah. "Untuk apa kamu datang ke sini? Kamu belum puas sudah membuat ayahku jadi mayat hidup seperti itu?" "Tenangkan dirimu, Sari, jangan buat membuat kekacauan ini. Ingat, kita sedang di rumah sakit," tegur Ratmi, istri dari korban mal praktik yang aya lakukan."Aku muak melihatnya Bu, lihatlah wajahnya. Tidak ada sedikit pun rasa penyesalan meskipun dia sudah membuat ayah koma seperti sekarang. Lebih sial lagi karena dia masih bisa berkeliaran bebas
"Rayasa," panggil Mila ketika Alister sudah tidak ada di rumah. Pria itu berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, perlu waktu lumayan lama bagi Mila untuk memberanikan diri bicara empat mata dengan madunya ini. Sejak kedatangan Aya di rumah itu, hati Mila kerap berkecamuk. Ia membenci kondisi ini. Ingin rasanya mengusir perempuan yang sudah merusak rumah tangganya dengan Alister. Ya, bagi Mila, Rayasa tetaplah pelakor tidak tahu diri yang menjadi duri dalam kehidupannya dengan Alister. Meskipun sejak awal hubungan Mila dan Alister tidak pernah baik-baik saja. Kehadiran Rayasa semakin memperkeruh segalanya."Iya, Mbak, kenapa?""Jangan memanggilku seperti itu. Kamu tidak perlu bersikap sok baik di depanku, Rayasa."Aya mengerutkan kening, sepertinya sesi uji mental sebagai istri kedua Alister Byantara sudah dimulai. "Aku hanya berusaha bersikap sopan pada istri pertama suamiku, apa itu salah?""Sejak awal kedatanganmu ke rumah ini adalah sebuah kesalahan. Apa kamu tidak punya malu?"
Matahari bersinar di luar sana, pagi datang dan menyapa sejoli yang masih saling berpelukan di atas ranjang besar milik Alister. Rayasa yang paling awal membuka mata, ia menggeliat kecil namun tak seleluasa biasanya karena gadis itu merasakan ada sebuah tangan yang mengukungnya. Begitu mendapat kesadaran penuh, alangkah terkejutnya Rayasa dengan posisinya dan Alister saat ini."Ahhh, heh apa yang kau lakukan padaku?"Alister terbangun dengan telinga yang agak pekak karena teriakan Rayasa yang melengking."Apa, kenapa teriak pagi-pagi?""Kenapa kau memelukku?""Mana kutahu."Aya bangkit, duduk bersila sambil memangku tangan. Tatapannya tajam mengintimidasi. Persis seeperti serigala buas yang siap menerkam lawannya."Kamu tidak usah bohong! Semua ucapanmu tidak bisa dipegang. Kadang kau bilang A, semenit kemudian B, besoknya bisa Z."Alister menopang kepalanya dengan tangan kanan, menatap Aya tanpa kedip hingga membuat perempuan itu salah tingkah."Apa lagi? Kenapa kau menatapku seperti