Dentuman musik mengalun begitu kencang hingga memekikkan telinga. Namun, hal itu malah menarik atmosfer di sekitar membuat orang-orang yang berada di dalam klub ikut terhanyut dengan irama musik yang dibawakan oleh seorang DJ. "Naura, ayo turun!" ajak Sela saat mereka memasuki klub malam. "Kamu aja aku tunggu di bar ya." "Jangan di bar kita cari meja saja," ujar Sela. Matanya melihat ke sekeliling mencari tempat yang kosong. Namun, sayang tidak ada tempat kosong. Hampir semua meja terisi penuh oleh orang-orang yang sedang menikmati malam panjang mereka. "Tunggu, bukankah itu Arkan. Kita ikut di meja dia saja." Naura mencekal tangan Sela, tapi wanita itu terus berjalan meninggalkannya begitu saja. Mau tidak mau Naura pun mengikuti Sela hingga berhenti tepat di depan meja Arkan. "Hai, Arkan. Sendiri aja nih, boleh gabung?" Arkan mendelik, tanpa bicara dia bergeser tanda jika dia mempersilahkan mereka untuk duduk bersama dengannya. "Terima kasih, aku titip Naura dulu ya. B
Suara gemercik air membangunkan Naura dari tidurnya. Dia lalu mengibas selimut yang menutupi tubuhnya dan— "Argh." Naura berteriak histeris saat melihat tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. "Apa yang terjadi, di mana bajuku?" gerutu Naura. Tak lama dia mendengar suara seseorang membuka pintu. Naura pun segera menutup tubuhnya dengan selimut berpura-pura tidur untuk melihat siapa orang yang keluar dari kamar mandi. Sedikit demi sedikit Naura membuka matanya dan mendapati Arkan yang sedang memakai pakaiannya setelah mandi. "Arkan, jadi aku tidur dengan dia. Tunggu, kenapa aku bisa bersama Arkan?" batinnya. Naura mencoba mengingat kembali apa yang terjadi di klub semalam. Ingatannya mulai berputar seperti sebuah rekaman dan berakhir saat dia mencium Arkan. Naura begitu menikmati ciuman itu hingga membuatnya tak ingin melepaskan sedetik pun kesempatan itu. "Aku mencintaimu, Naura." "Aku juga mencintaimu, Arkan," ucap Naura dengan sadar hingga membuat wajahnya bers
Satu bulan berlalu hubungan Naura dan Arkan semakin erat. Meski harus menjalani hubungan long distance relationship, tak menghalangi rasa cinta Arkan untuk anak dan istrinya."Pagi, Sayang."Perlahan Naura membuka mata saat mendengar suara bariton berbisik di telinganya."Kapan kamu datang?""Lima menit yang lalu. Aku rindu memeluk tubuhmu, Sayang."Seketika Naura membuka matanya. "Axel, di mana dia?"Arkan mengeratkan pelukannya. "Dia di bawah sama Papah dan Bu Dila.""Oh." Naura hanya ber-oh-ria lalu menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. "Kamu mau ke mana?""Mau buat sarapan," jawab Naura mengikat rambutnya. Namun, Arkan menarik tubuh Naura hingga tergeletak di atas kasurnya. "Aku masih kangen, diam di sini sebentar saja."Naura lalu membiarkan Arkan untuk memeluknya beberapa saat sampai dia puas meluapkan rasa rindunya."PAPA ...." teriak Axel."Tuh anaknya manggil, sana samperin."Arkan menghela napasnya lalu mencium bibir Naura dengan lembut. "Ku menginginkanmu Sayang." Tanga
"Dengar, Naura! Enggak ada salahnya kamu cuti kuliah dan mengejarnya tahun depan." "Benar! Kasihan kakakmu yang mau melanjutkan S2-nya di Amerika." Naura Anindya terdiam mendengar ucapan kedua orang tuanya. Sejak kecil, kakak perempuannya selalu menjadi prioritas orang tuanya, sedangkan dia selalu di-nomor-dua-kan. Padahal, kakaknya itu tidak pernah bekerja sejak lulus S1. Dia juga tak terlihat ingin mencari pengalaman kerja sama sekali. Lantas, haruskah Naura mengalah? "Maaf, Mah. Aku akan tetap kuliah," tolaknya memberanikan diri, "walau tanpa biaya dari kalian." Ucapan Naura itu sontak membuat ketiga orang di hadapannya terkejut. “Naura Anindya!” bentak sang ayah, “Berani kamu melawan?” “Jika kamu yakin bisa membiayai kuliahmu, sekalian saja kamu pergi dari rumah ini!” Naura mengepalkan tangan–menahan emosi. Namun, dia sungguh lelah. Tanpa kata, Naura memilih segera menaiki anak tangga—masuk ke dalam kamarnya. Dimasukkannya semua pakaian ke dalam koper dan bersiap perg
"Aku tak menyangka seorang Arkan Syahreza mulai tertarik ke gadis polos." Sebelum benar-benar pergi, Lala dan pasangannya memperhatikan Naura yang menghabiskan minuman dari Arkan. Pria dingin itu jarang mau berdekatan dengan gadis muda dan menawarkan minum secara sukarela. Namun, Naura adalah pengecualian. Lucunya lagi, Naura menghabiskannya dalam sekali teguk! Hal ini membuat Arkan tampak terkesan. "Kamu suka minum?" tanyanya. Entah mengapa, dia jadi ingin menuangkan minuman kembali ke gelas Naura. Naura hanya mengangguk sembari kembali meneguk minuman di depannya. Dia memang pernah meminum bir kalengan–sisa kakaknya. Tapi, tidak banyak. Hanya saja, apa perlu dia menjelaskannya pada Arkan? Toh, itu sama saja, kan? Terlebih, mereka baru kenal dan dia hanya menunggu Lala di sini. “Om, apakah om tahu ke mana temanku pergi?” tanya Naura mendadak. "Om …?" Alih-alih menjawab, Arkan justru tertawa mendengar ucapan Naura yang memanggilnya Om. "Berapa usiamu? Apa seusia dengan Lal
"Di mana bajuku?" tanya Naura kala berhasil mengendalikan diri. "Ada, tapi aku akan memberikan baju itu kalau kamu menyetujui permintaanku." Naura menghela napas melihat senyum miring di wajah Arkan. "Permintaan apa?” tanyanya pada pria itu cepat, “Lalu, apa yang kamu lakukan padaku kemarin?" "Mm ... kemarin?” goda Arkan, “kita hanya bercinta, melewati malam yang begitu menyenangkan." "Dasar pria mesum, pedofil. Kamu harus bertanggung jawab!" "Iya, aku akan menikahimu," ucap Arkan santai. Di luar prediksi, bukannya menolak pria itu malah mau menikahi Naura. "Ak-aku ...." Naura kehilangan kata-kata. Menikah, membayangkannya saja sudah membuat Naura bergidik ngeri! Bagaimana bisa mimpinya yang selama ini ia perjuangkan seketika runtuh hanya karena pernikahan? ***** "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Lala ragu karena ia yakin sahabatnya itu sedang marah kepadanya. "Minum madu ini, sepertinya kamu sedang lemas." "Argh ...!" Naura menjerit meluapkan kegundahan hatinya yang ter
“Pak, saya masih kuliah di sini," bingung Naura kala melihat ekspresi wajah dosen serta teman sekelasnya yang lain.Suasana canggung memenuhi ruangan kelas, hingga sang dosen akhirnya mengangguk."Sepertinya, kamu ke ruang administrasi. Tadi, mereka mengabarkan kamu tidak akan lanjut studi di sini," ucapnya, “jika ada kesalahpahaman, sebaiknya segera kamu urus.”Mendengar itu, Naura mengangguk.Dengan rasa malu, dia pun pergi ke ruang administrasi.Namun belum sampai ke sana, ia dipertemukan dengan Adelia yang menggoyangkan map di tangannya.“Well, gimana jadinya Naura? Apa kamu masih berkuliah di sini?” ucapnya, lalu tersenyum sinis.Tangan Naura sontak mengepal, menahan emosi. "Apa kamu yang memberhentikan aku kuliah di sini?!"Adelia mengangguk. "Iya. Ayah dan Ibu juga enggak peduli kamu kuliah atau enggak. Tapi, aku hanya mengantisipasi enggak ada biaya yang harus orangtuaku bayar."Ucapan Adelia seolah menyiratkan bahwa orangtua mereka tak sama.Naura sontak tertunduk lesu. Dia a
“Kalau gitu, aku setuju," ucapnya sembari mengangguk. Hal ini membuat Arkan terkejut. "Semudah itu?" tanyanya–memastikan. "Om tahu kan kalau aku dibuang oleh keluargaku sendiri. Lalu, Om bersedia membiayai kuliahku dan memberikan tempat tinggal. Kurasa itu tak masalah." Arkan sontak memalingkan wajahnya. "Uang memang bisa menyelesaikan segalanya," batinnya tak percaya dengan tingkah polos Naura. Diperhatikannya perempuan itu yang tampak mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lupa, Naura seperti sedang membubuhkan tanda tangan di sana. "Ini, tolong ditandatangani, sebagai bukti sah kesepakatan kita," ucapnya mendadak. Arkan mengambil ponsel Naura. Sesaat ia membaca sebuah kerja sama yang sepertinya tidak ada memberatkannya. Senyum miring tampak di wajah pria tampan itu. "Oke, aku setuju." *** Setelah itu, Arkan berniat mengantarkannya. Namun, Naura menolak. Dia ingin mentraktir Lala malam ini. Jadi, dia meminta Arkan mengantarkan Naura ke pusat perbelanjaan. Untungnya, “keka