Ishita tidak menyadari ponselnya berada di kamar saat Ririn telepon. Dia sedang di dapur membantu Bik Murti menyiapkan makan malam. Dia menyiapkan rawon empal untuk makan malam nanti.
Setelah masak rawon, Ishita naik ke kamar. Saat mengecek ponselnya dia terkejut Ririn menelepon tidak terjawab sampai 12kali.
"Ada apa ya kok Ririn sampai mixed call berkali-kali?" pikir Ishita dalam hati.
Dia segera menelepon balik Ririn dengan panggilan video.
"Assalamualaikum Kak Ishita?" sapa Ririn setelah teleponnya diangkat.
"Waalaikum salam, Ririn. Hei lagi dimana kamu? Ayah mana?" Ishita memberondong dengan pertanyaan.
"Nih ayah, Kak Ishi ... coba tebak kita lagi dimana?" tanya Ririn balik.
"Assalamualaikum, Ayah?" sapa Ishita begitu kamera diarahkan ke ayahnya.
"Waalaikum salam, Ishi
Dengan menahan emosi yang meluap, Ahem melajukan mobilnya dengan kencang. Intan yang akhirnya sadar Ahem sudah pergi tanpa pamit, dia merasa sangat kecewa. "Dia sudah pergi, tanpa pamit pula. Aneh sekali, apa dia mengira aku masih tidur?" tanyanya dalam hati. Semula Intan ingin mengikuti kemana Ahem pergi. Tapi dia tidak mendapat kesempatan. Tak lama kemudian mobil Ahem sudah masuk di halaman rumah Affan. Dua orang bodyguard datang menghampirinya. "Selamat pagi, Big Bos?" sapanya sambil sedikit membungkuk. "Selamat pagi," jawab Ahem tegas. "Bagaimana aman?" tanya Ahem kemudian. "Aman, Big Bos," jawabnya lagi dengan tegas. Di dalam Affan dan Ishita sedang ngobrol setelah makan pagi. "Ayolah sayang, makan buahnya, demi kesehatan anak-a
Ahem yang menyadari bahwa mereka sedang dibuntuti, mengatur siasat. Dua bodyguard mengikuti Ahem dan dua orang lagi menguntit bila ada motor yang sedang mengikutinya. Tak salah setelah mobil Ahem berjalan dan mobil bodyguard mengikutinya dari belakang, ternyata sang informen berada pas di belakang mobil bodyguard. Dia tidak menyadari kalau dua bodyguard lagi di belakangnya untuk membuntutinya. Mobil bodyguard itu mulai mengurangi kecepatannya, kini motor penguntit itu terjebak diantara dua mobil. Mobil yang di belakangnya memepetnya sehingga motor itu hilang kendali dan terjatuh di pinggir jalan raya. Pengendara motor dan yang dibonceng bergelimpangan di tanah. Mobil di belakang dan di depannya, keduanya berhenti. Keempat bodyguard itu keluar dari mobilnya. Mereka segera menangkap dan menghajarnya. Mobil yang ditumpangi Ahem juga berhenti. Ahem bermaksut ikut keluar mobil, ingin
Ahem memandang mobil Intan di luar pagar. Klakson terus dibunyikan. Din ... Din ... Din...! "Wanita gila itu akan terus membunyikan klaksonnya bahkan bisa-bisa dia menabrak pintu pagar kalau tidak dibukakan," pikir Ahem dalam hati. "Bagaimana Big Bos?" tanya Wahyu lagi. "Bukakan!" perintahnya tegas. "Bukakan pintunya!" perintah Wahyu kepada satpam. "Baik Pak!" seru satpam. Bergegas satpam berlari membukakan pintu dan mempersilahkan Intan masuk. Tampak dua orang penguntit suruhan Intan sedang terduduk di tanah dengan luka bonyok di wajahnya. Intan memarkirkan mobilnya berjejer dengan mobil Ahem. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Intan begitu melihat Ahem berdiri tegap menatap Intan. "Harusnya
Ahem tidak mengira masih bisa kecolongan seperti ini. Bahkan sang penculik tahu begitu detail, bahwa Ahem sedang membelikan piano buat Ishita. Tidak berpikir panjang Ahem dan Affan beserta Wahyu dan anak buahnya berpencar mencarinya. Pertama-tama yang terlintas dibenak Ahem justru papamya sendiri. Berkali-kali dia.menghubungi papanya tapi tidak diangkat. Tidak sabar lagi dia meluncur pulang ke rumah untuk menemui Hendrakusuma. "Papa ...!" teriak Ahem memanggil-.manggil di depan pintu masuk. "Ahem?" pekik Wina. "Mana papa? Hidupku sudah hancur, Ma! Mereka menculik Ishita, pasti papa bersama mereka. Aku tidak akan memaafkan mereka semua, Ma! Aku akan menyeret mereka semua ke penjara!" teriaknya histeris menangis. "Ada apa sih, ribut-ribut?" tanya Hendrakusuma yang pura-pura tidak tahu. Dia berdiri di lantai atas, matanya menatap tajam dan kesal ke ara
Lampu indikator ruang operasi menyala. Pertanda bahwa tindakan operasi sedang dilakukan. Dua orang dokter spesialis kandungan dibantu dua orang perawat sedang berjuang di dalam. Dengan peralatan yang minim mereka terpaksa melakukan operasi caesar. Karena tidak mungkin lagi bagi Ishita untuk perjalanan lagi. Sebenarnya ini hal tersulit yang harus dipilih oleh Ahem. Karena nyawa istri dan anaknya sedang dipertaruhkan kepada seorang dokter desa yang belum tahu pengalamannya. Dia sedang tercekam dengan situasi yang dihadapi sekarang. Kalau nyawa ketiga bayinya tidak diragukan lagi, Intan dan keluarga menginginkannya. Tapi kehidupan Ishita mereka ingin mengakhirinya. Bahkan mereka memburunya bak binatang liar yang berbahaya. Dret ... Dret .. Dret ... Ponsel Wahyu bergetar, dia menatap layarnya ternyata Affan yang meneleponnya. Bergegas Wahyu berjal
Ahem dan Affan menjadi geram, apa yang dilakukan Intan merupakan tindakan kriminal. Ini menjadi dilema, kalau urusannya sampai ke polisi. Intan dan orang tuanya adalah keluarganya. Kalau sampai tercium publik, hancurlah nama baik keluarga, dan ini berdampak pada perusahaannya. "Apa yang akan kau lakukan, Ahem?" tanya Affan panik. "Dia minta agar Ririn ditukar dengan ketiga bayiku!" gumam Ahem lemas. "Apa, terus kamu ikuti permintaan Intan? Tunggu Ishita sadar, Ahem! Sementara jangan lakukan apapun!" usul Affan. "Tapi kita tidak punya waktu, kasihan Ririn. Sekarang Om Indra pasti sedang mencari keberadaan Ishita di rumah sakit-rumah sakit. Aku jadi tercekam, Affan!" pekik pilu Ahem. "Sampai kapan Ishita harus koma seperti ini? Kita harus tolong Ririn, kita juga harus sembunyikan Ishita dari mereka?" keluh Affan. "Aku tidak bisa
Iringan mobil Ahem dan Affan sudah sampai di perempatan. Mereka mulai ke luar dari pedesaan menuju jalan raya, jalur propinsi. Ahem mengambil arah belok kiri dan Affan mengambil arah belok kanan. Kini mereka berpencar menuju arah hidup yang berlawanan. Ada rasa sakit dihati Ahem yang tak bisa digambarkan. Dia harus menyerahkan orang yang paling di cintainya bersama dua buah hatinya dibawa lelaki lain. Lelaki yang memilik cinta dan pengorbanan yang lebih besar dari dirinya. "Kamu pantas mendapatkan lelaki sebaik Affan yang mencintaimu dengan tulus. Yang siap memasang badan mempertaruhkan hidupnya buatmu, Ishi! Semoga dia juga mencintai anak-anak kita seperti dia mencintaimu, Ishi!" batin Ahem. Tak terasa matanya berair dan meleleh di pipinya. Segera dia berpaling menatap jauh ke luar menyembunyikan air matanya. Bayi mungil yang diberi nama Salsha Bella sedang dalam pangk
Ahem sudah mengambil keputusan yang menyakiti dirinya sendiri. Tapi itu sudah dipikirkannya dengan matang demi kebahagiaan Ishita dan kedua bayinya. Hanya Affan lelaki yang punya begitu cinta besar untuk Ishita. Dan Ahem tahu betul kalau Affan bisa mengorbankan pada saja demi orang yang dicintainya. Apalagi wanita itu adalah Ishita, seorang gadis yang baik hati dan cantik jelita. Ahem mau meyakinkan bahwa Ririn benar-benar sudah pulang dengan selamat. Karena ponselnya belum bisa dihubungi. Dan ayah Herlambang juga sedang mengkhawatirkan Ririn. Ahem tidak memberitahu kepada Herlambang kalau Ririn sedang disandera. Karena kesehatan Herlambang belum membaik. "Ahem, mau kemana kamu?" tanya Intan yang menghampirinya ketika Ahem akan masuk mobil. "Aku ingin memastikan apa benar kamu sudah antarkan Ririn pulang ke rumah?" jawab Ahem ketus. "Masak kamu tidak percaya sama papaku?" tanya Intan kecewa. "Sama sekali tidak! Kamu maupun papa kamu sama saja!