Ahem tidak mengira masih bisa kecolongan seperti ini. Bahkan sang penculik tahu begitu detail, bahwa Ahem sedang membelikan piano buat Ishita.
Tidak berpikir panjang Ahem dan Affan beserta Wahyu dan anak buahnya berpencar mencarinya. Pertama-tama yang terlintas dibenak Ahem justru papamya sendiri. Berkali-kali dia.menghubungi papanya tapi tidak diangkat. Tidak sabar lagi dia meluncur pulang ke rumah untuk menemui Hendrakusuma.
"Papa ...!" teriak Ahem memanggil-.manggil di depan pintu masuk.
"Ahem?" pekik Wina.
"Mana papa? Hidupku sudah hancur, Ma! Mereka menculik Ishita, pasti papa bersama mereka. Aku tidak akan memaafkan mereka semua, Ma! Aku akan menyeret mereka semua ke penjara!" teriaknya histeris menangis.
"Ada apa sih, ribut-ribut?" tanya Hendrakusuma yang pura-pura tidak tahu. Dia berdiri di lantai atas, matanya menatap tajam dan kesal ke ara
Lampu indikator ruang operasi menyala. Pertanda bahwa tindakan operasi sedang dilakukan. Dua orang dokter spesialis kandungan dibantu dua orang perawat sedang berjuang di dalam. Dengan peralatan yang minim mereka terpaksa melakukan operasi caesar. Karena tidak mungkin lagi bagi Ishita untuk perjalanan lagi. Sebenarnya ini hal tersulit yang harus dipilih oleh Ahem. Karena nyawa istri dan anaknya sedang dipertaruhkan kepada seorang dokter desa yang belum tahu pengalamannya. Dia sedang tercekam dengan situasi yang dihadapi sekarang. Kalau nyawa ketiga bayinya tidak diragukan lagi, Intan dan keluarga menginginkannya. Tapi kehidupan Ishita mereka ingin mengakhirinya. Bahkan mereka memburunya bak binatang liar yang berbahaya. Dret ... Dret .. Dret ... Ponsel Wahyu bergetar, dia menatap layarnya ternyata Affan yang meneleponnya. Bergegas Wahyu berjal
Ahem dan Affan menjadi geram, apa yang dilakukan Intan merupakan tindakan kriminal. Ini menjadi dilema, kalau urusannya sampai ke polisi. Intan dan orang tuanya adalah keluarganya. Kalau sampai tercium publik, hancurlah nama baik keluarga, dan ini berdampak pada perusahaannya. "Apa yang akan kau lakukan, Ahem?" tanya Affan panik. "Dia minta agar Ririn ditukar dengan ketiga bayiku!" gumam Ahem lemas. "Apa, terus kamu ikuti permintaan Intan? Tunggu Ishita sadar, Ahem! Sementara jangan lakukan apapun!" usul Affan. "Tapi kita tidak punya waktu, kasihan Ririn. Sekarang Om Indra pasti sedang mencari keberadaan Ishita di rumah sakit-rumah sakit. Aku jadi tercekam, Affan!" pekik pilu Ahem. "Sampai kapan Ishita harus koma seperti ini? Kita harus tolong Ririn, kita juga harus sembunyikan Ishita dari mereka?" keluh Affan. "Aku tidak bisa
Iringan mobil Ahem dan Affan sudah sampai di perempatan. Mereka mulai ke luar dari pedesaan menuju jalan raya, jalur propinsi. Ahem mengambil arah belok kiri dan Affan mengambil arah belok kanan. Kini mereka berpencar menuju arah hidup yang berlawanan. Ada rasa sakit dihati Ahem yang tak bisa digambarkan. Dia harus menyerahkan orang yang paling di cintainya bersama dua buah hatinya dibawa lelaki lain. Lelaki yang memilik cinta dan pengorbanan yang lebih besar dari dirinya. "Kamu pantas mendapatkan lelaki sebaik Affan yang mencintaimu dengan tulus. Yang siap memasang badan mempertaruhkan hidupnya buatmu, Ishi! Semoga dia juga mencintai anak-anak kita seperti dia mencintaimu, Ishi!" batin Ahem. Tak terasa matanya berair dan meleleh di pipinya. Segera dia berpaling menatap jauh ke luar menyembunyikan air matanya. Bayi mungil yang diberi nama Salsha Bella sedang dalam pangk
Ahem sudah mengambil keputusan yang menyakiti dirinya sendiri. Tapi itu sudah dipikirkannya dengan matang demi kebahagiaan Ishita dan kedua bayinya. Hanya Affan lelaki yang punya begitu cinta besar untuk Ishita. Dan Ahem tahu betul kalau Affan bisa mengorbankan pada saja demi orang yang dicintainya. Apalagi wanita itu adalah Ishita, seorang gadis yang baik hati dan cantik jelita. Ahem mau meyakinkan bahwa Ririn benar-benar sudah pulang dengan selamat. Karena ponselnya belum bisa dihubungi. Dan ayah Herlambang juga sedang mengkhawatirkan Ririn. Ahem tidak memberitahu kepada Herlambang kalau Ririn sedang disandera. Karena kesehatan Herlambang belum membaik. "Ahem, mau kemana kamu?" tanya Intan yang menghampirinya ketika Ahem akan masuk mobil. "Aku ingin memastikan apa benar kamu sudah antarkan Ririn pulang ke rumah?" jawab Ahem ketus. "Masak kamu tidak percaya sama papaku?" tanya Intan kecewa. "Sama sekali tidak! Kamu maupun papa kamu sama saja!
Di dalam mobil Ahem mencoba menghubungi Intan dengan emosi yang meluap-luap. Dret ... Dret ... Dret ...! ponsel Intan berdering. "Kamu lagi dimana, Ahem?" tanya Intan basa-basi. "Tidak perlu basa-basi, Intan! Dimana Ririn?" hardik Ahem berteiak. "Harusnya dia sudah pulang, ada apa?" "Bohong!" teriak Ahem geram. "Tapi papaku sudah melepaskannya, Ahem! Kalau dia belum kembali mungkin saja dia masih kemana begitu. Dia kan bukan anak kecil, siapa tahu dia janjian sama pacarnya." kata Intan cerocos. "Lihat berita di internet sekarang juga! Kalau benar jenazah yang ditemukan di piggir hutan itu Ririn, siap-siap kamu dan papamu masuk bui." Ahem dengan marah menggertak. "Jenazah? Ada jenazah di pinggir hutan? Apa maksudnya? Bagaimana kamu menuduh kami pelakunya sih? Kamu yakin dia Ririn?" Intan membantahnya dan meyakinkan kalau dia tidak tahu-menahu. "Yang pasti Ririn belum sampai ke rumah, Intan. Dan jenazah yang ditem
Upacara pemakaman Ririn sudah selesai. Para pelayat sudah pulang tanpa tersisa, tinggal Ahem seorang. Dia tertegun menatap batu nisan yang bertuliskan Ririn Anggita Binti Herlambang. Suasana lokasi pemakaman begitu sepi mencekam, ada rasa sakit dan sesal di hati Ahem. Dia menyayangi Ririn seperti adiknya sendiri, apalagi dia anak tunggal tidak punya adik semungil Ririn. Dret ... Dret ... Dret ...! Suara getar ponsel di sakunya. Dia melihat siapakah yang meneleponnya. Ternyata profil Hendrakusuma. "Iya Pa," sapa Ahem begitu teleponnya diangkat. "Ahem, ayahmu ...," kata Hendrakusuma pelan. Sontak Ahem beranjak bangun, rasa debar-debar tiba-tiba muncul. Ketakutan tiba-tiba merangsuk ke hatinya. Dia ingat Ayahnya sedang sakit di rumah sakit. Bagaimana kalau terjadi sesuatu? "Ada apa dengan ayah, Pa?" tanya Ahem gugup dan penasaran. "Ayahmu meninggal dunia, Ahem. Penyumbatan pembuluh darah ke jantung," kita Hendrakusuma menjelaskan.
Setelah sholat Subuh Affan selalu memutar lantunan ayat Alquran dengan keras untuk dinikmati bersama kedua anaknya, Saga dan Tiffa. Sebelum mengawali kegiatannya, itu rutinitas Affan yang dilakukan bersama anak-anaknya. Dua tahun lebih mereka tinggal di Singapura, dengan keadaan Ishita yang masih koma. Dia hidup bersama dua bodyguard dan dua pembantu rumah tangga. Ada perusahaan papanya yang sedang dikelola di sini. Bahkan Ahem juga mempercayakan anak perusahaannya kepadanya. Affan tiba-tiba ingin memutar lagu-lagu Bollywood setelah lantunan Surrah Arrohaman selesai. Dia memutar lagu Kal Ho Na Ho, sekejap Affan teringat bahwa itu adalah lagu kesayangan Ishita. Suara yang dominan di biola dan piano menggetarkan hati Ishita. Ibu muda yang koma karena melahirkan itu mendadak terbelalak matanya. Bola matanya membulat berkeliling mengitari seluruh ruangan. Dia mendapati dua anak kecil sedang bermain di dekatnya. Dua bocah kecil itu terbelalak kemudian berter
Seorang utusan dari anak cabang perusahaan Ahem datang ke rumah Affan. "Bos, saya dari Perusahaan Insan Mulia ingin menyampaikan berita dari Indonesia," kata seorang pegawai. "Berita apa, Pak?" "Ini ada telepon dari kantor pusat, Pak," kata seseorang itu sambil menyerahkan ponselnya. "Affan, kenapa ponselmu tidak pernah kamu on sih?" tanya Ahem. Affan terperanjat sekali, seperti mimpi mendengar suara Ahem di ponsel. "Ahem? Kau kah? Ada kabar apa, Ahem? Maaf ponselku sudah kubuang. Kamu mencariku pasti karena ada berita penting," tanya Affan penasaran. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Ishita, Affan?" tanya Ahem balik. "Mereka baik-baik saja, Ishita baru saja sadar dari koma." "Sekian lamanya dia baru sadar?" sahut Ahem. "Iya Ahem. Baru seminggu ini dia sadar. Keadaan anak-anakmu juga baik-baik saja, mereka lucu-lucu," jawab Affan. "Tidak Affan, mereka anak-anak kamu. Kamu yang sudah memberi