Mobil mendatangi kerumunan pegawai yang sedang mengumpulkan kelapa sawit yang sudah dipottong. Mereka memasukkannya ke dalam truk bak terbuka di bagian belakang. Truknya lumayan besar tapi isi di bak terbuka itu sudah penuh hingga membumbung tinggi ke atas. Mukid dan Erick turun sedang bodyguard pria paruh baya itu menepikan mobilnya di samping. Ayah Kae berdiri di belakang truk dan memeriksa muatan. "Hei, ini tutupnya gak bener ini! Coba betulin lagi. Nanti kalau lepas bisa membahayakan orang lain."Baru saja pria itu bicara, seorang pegawai yang berpakaian santai, mencoba membetulkan penutup bak belakang dari samping. Namun alih-alih terkunci, penutup itu malah terbuka karena terdorong isinya yang banyak, sehingga tumpukan kelapa sawit itu menimpa Mukid. "Ah!!"Erick yang berada dekat situ sempat menghindari tapi ia tak sempat menyelamatkan sang mertua. "Pak!"Para pekerja yang berada di sana terkejut. Mereka semua berusaha menolong pemilik kebun itu dengan menepikan kelapa sawit
"Tidak apa-apa, Sayang. Bapak hanya luka ringan saja, tapi ternyata dia juga punya darah tinggi. Jadi dokter menyarankan untuk istirahat di rumah sakit sampai darah tingginya turun. Itu saja." Erick berusaha meredakan ketakutan sang istri. "Bener Ayah gak papa, Bang?" tanya Kae memastikan. Ia masih meletakkan ponselnya di samping telinga dan menoleh pada bayi Lily dalam gendongan babysitter yang sedikit rewel. "Lily dari tadi gelisah terus. Badannya panas. Biar aku bawa ke rumah sakit saja sekalian tengok Ayah.""Eh, Kae ...." Pria bule itu menegakkan tubuhnya, tapi sambungan telepon telah ditutup. Ia segera mematikan ponselnya dan menatap asisten sang mertua. "Maaf, Diki. Istri Saya mau ke rumah sakit. Aku harus mendampinginya di sana.""Oh, baik, Pak."Erick berdiri dan segera keluar dari ruangan. Ia bergegas ke rumah sakit dan masuk ruang perawatan Mukid, di mana Kae telah duduk di sana sambil meratapi sang ayah yang sedang sakit. Mukid diam membisu. Ia bingung menghadapi sang ana
"Aku pun tak bisa hidup tanpamu, tapi aku tidak mau seperti Ayahmu yang menculik kamu dari orang tuamu.""Tapi, bukankah anak yang sudah menikah itu milik pasangannya?""Andai aku tega melakukannya, Kae." Erick mengusap pucuk kepala istrinya. "Kita hanya bisa membujuknya.""Ya Allah ... mudah-mudahan ada jalan.""Semoga saja." Pria itu mengecup kening sang istri. "Sudah. Waktunya tidur. Sudah malam."****Erick terkejut ketika masuk ke dalam ruang perawatan Mukid pagi itu. Pria paruh baya itu sedang berusaha duduk di lantai. "Bapak jatuh?" Sang pria bule meletakkan tas yang dibawanya di atas ranjang. Ia menolong sang mertua untuk kembali ke ranjang. "Kepalaku pusing. Padahal aku hanya ingin ke kamar mandi.""Bapak sudah sholat subuh?""Sudah.""Lalu?""Aku hanya ingin cuci muka.""Oh. Aku bawakan baju ganti. Bapak mau mandi?"Mukid menatap wajah Erick. "Eh, tidak usah. Nanti saja sama suster.""Bapak mau dimandikan suster?" Erick tersenyum di kulum. Mertuanya itu tersenyum kecut.
"Aku habis dari rumah sakit, Kae.""Menemui Ayah?"Erick berjalan gontai mendatangi ranjang. "Aku tidak tahu apa yang diinginkan Bapakmu. Seakan aku ditarik ulur terus sama dia," keluh pria itu pada istrinya. Ia menghempaskan bokkongnya di ranjang. "Oh, Sayang. Tapi kamu gak dimarahin, 'kan?" ucap Kae manja sambil mendekat dan menyentuh wajah suaminya. Walaupun letih, wajah tampan pria itu tetap mempesona. Tumbuh bulu-bulu halus di sekitar rahang membuat wajahnya terlihat lebih matang. "Abang gak cukur jenggot?""Abang lupa bawa pencukur jenggot Abang karena buru-buru ke sini. Apa Abang terlihat jelek?""E-emh." Kae menggeleng. "Abang tambah ganteng dan dewasa.""Masa?" Erick meraba dagu dan rahangnya. "Kamu suka?"Sang istri mengangguk dengan senyum manisnya. Matanya terus memperhatikan wajah sang suami. Erick mendekatkan wajahnya. "Jangan bohong ...," tanyanya lembut. "Mh-mh." Kini Kae mengangguk. "Coba kiss dulu."Kae memberi kecupan singkat membuat pria itu memperhatikan bibir
"Aku malas sarapan.""Lily ...." Kae yang duduk di samping suaminya sibuk menyendoki nasi goreng. "Sarapan itu penting. Kamu sering gak sarapan sampai badanmu kurus begitu." Ia kemudian beralih ke samping. Kae mengambil sepotong kentang goreng dari piring yang berbeda dan celingak-celinguk mencari seseorang di bawah. "Gio!"Seorang bocah kecil berlari-lari ke arah Kae. Pipinya tembam dengan rambut sedikit ikal. Ia berkulit sawo matang. Gio kemudian menggigit potongan kentang yang disodorkan sang ibu padanya. Bocah itu kembali berlari ke tempat semula, di mana ia sedang main mobil-mobilan di lantai. "Kalau kamu telat, biar Papa yang antar.""Ngak boleh!" Lily langsung merajut. "Nanti ada yang ngambil Papa Lily!"Erick dan Kae hanya senyum di kulum. Seorang pria paruh baya keluar dari kamarnya tak jauh dari ruang tengah. "Ayo Lily, kakek antar sekolah.""Mama, bekal Lily mana, Ma?" Lily menyodorkan punggungnya. Si kecil Gio berdiri dan berlari-lari ke meja makan dengan kaki kecilnya
"Masalahnya kau hanya datang kalau lagi butuh, 'kan?" Sang pria bule mulai bisa melihat sifat buruk mantan pacarnya itu. "Lily bukan boneka. Kau tidak bisa tiba-tiba datang dan butuh dia. Betapa egoisnya kamu sebagai ibunya!""Mamaku Mama Kae!" Lily bergeser ke kaki Kae. "Erick, aku hanya pinjam. Bukan untuk mengambilnya." Tarra mencoba meyakinkan. "Hei, apa kamu tidak dengar kata-kataku? Dia manusia, bukan boneka yang bisa dipinjam sembarangan.""Sembarangan? 'Kan aku ibunya?""Apa kau melakukan tugasmu sebagai ibunya?""Erick, dengarkan aku. Saat aku pulang membawa Lily, aku berharap menikah denganmu. Tapi apa yang kutemukan? Kau sudah menikah! Jadi kuputuskan untuk terus mengejar cita-citaku. Jangan bilang aku tak bertanggung jawab karena aku melahirkan Lily. Aku memberikannya padamu karena aku lihat kalian bisa mengurusnya," ujar wanita cantik berbaju modis itu. Bajunya di satu sisi berlengan panjang dan sisi yang lainnya tanpa lengan dengan rumbai di depannya. Lily memandanginy
Mereka baru saja sampai di apartemen Erick. Kae mulai bersih-bersih dan Erick membongkar koper di dalam kamar. Ponsel pria itu berdering. Ia mengangkatnya setelah melihat siapa yang menelepon. "Iya, Ayah.""Pastikan cucuku kembali!"Erick terkejut mendengar suara Mukid yang begitu emosional. "Tentu saja, Ayah.""Tidak. Aku harus memperingatkanmu. Kau lemah!""Ayah ... Ayah 'kan dengar sendiri, Tarra hanya meminjam sebentar. Lagi pula aku juga ikut mendampingi. Ayah tak perlu khawatirkan itu.""Pastikan saja karena mungkin saja suami perempuan itu juga menginginkan Lily. Pastikan Lily pulang, kau mengerti?!" Kembali mertuanya menekankan kalimatnya. "Baik, Ayah." Sambungan telepon pun terputus. Erick meletakkan kembali ponsel itu pada meja nakas. 'Ah, Ayah ada-ada saja.' Ia menggeleng-gelengkan kepala. Setelah memasukkan pakaian ke lemari, ia keluar mencari kedua anaknya. Ternyata keduanya sedang bermain bersama di kamar sebelah. Di lantai, Gio sedang main mobil-mobilan bersama Lily.
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja