Share

Istri Pertama

“Mayla?”

Windraya sontak menjauhkan diri dari Ranum. 

“Apa yang kalian lakukan?” Mayla melepaskan genggaman dari gagang koper, lalu berjalan mendekat ke hadapan Ranum. “Dasar tidak tahu diri!” Dia mendorong wanita muda itu cukup kencang, hingga mundur dan menabrak lemari etalase berisi deretan kemeja mahal Windraya.

“Hentikan.” Windraya segera meraih tangan Mayla, yang bermaksud meraih tubuh Ranum. Dia harus mencegah sang istri melakukan tindakan kasar terhadap istri sirinya. “Pergilah, Ranum,” suruh pria itu penuh wibawa.

Ranum yang ketakutan, hanya bisa mengangguk. Dia bergegas meninggalkan kamar mewah itu. Ranum sadar sedang dalam masalah besar.

“Apa-apaan kamu, Mas?” protes Mayla tak suka. Dia berusaha melepaskan cengkraman Windraya, dari pergelangan tangannya. “Lepaskan aku! Biar kuberi pelajaran pembantu tak tahu malu itu!”

“Tenangkan dirimu dulu. Kita harus bicara.” Windraya berusaha tak terpengaruh dengan sikap Mayla. Sebisa mungkin, dia mengendalikan sang istri, agar tak lagi berontak.

“Aku lelah, Mas! Aku baru menjalani perjalanan jauh! Bagaimana bisa tenang melihatmu hampir berciuman dengan pembantu sialan itu?” Mayla makin memberontak. Berusaha melepaskan diri dari Windraya yang mendekapnya.

“Tapi, aku tidak akan membiarkanmu bertindak kasar.” Windraya terus berusaha menenangkan Mayla, meskipun wanita itu berusaha sekuat tenaga melepaskan diri darinya.

Berhubung Mayla sulit dikendalikan, Windraya terpaksa melakukan tindakan yang tak pernah dilakukan. Dia membawa sang istri ke ruang utama kamar, lalu mengempaskannya ke tempat tidur. Pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun itu menahan kedua tangan Mayla, yang berada di sisi kiri dan kanan wanita cantik tersebut.

“Menyingkir dariku, Mas!” Mayla tak juga menyerah, meskipun Windraya sudah menahan geraknya. “Kamu keterlaluan! Jadi, itu yang kamu lakukan setiap kali aku pergi berlibur?” tudingnya.

“Tidak! Jangan bicara sembarangan!” bantah Windraya tegas. “Aku tak pernah mengkhianatimu dengan wanita manapun!”

“Kamu bohong! Buktinya kamu berduaan dengan wanita itu. Kalian bahkan hampir berciuman, seandainya tidak kupergoki tadi!”

Windraya terdiam. Perlahan, dia melepaskan cengkraman dari kedua pergelangan tangan sang istri. Pengusaha muda dengan kemeja biru langit itu duduk di tepian tempat tidur.

Pria tampan dengan tinggi 180 cm itu setengah membungkukkan badan, sambil merekatkan kedua telapak tangan. Dia menggosok-gosokkan perlahan, sebagai pertanda bahwa kegundahan tengah melanda hatinya.

“Ada apa, Mas?” tanya Mayla, yang mulai tenang. Melihat sang suami duduk termenung seperti tadi, membuatnya khawatir. Dia tahu, Windraya pasti tengah menghadapi masalah pelik. “Apa ada sesuatu dengan bisnismu?” tanya wanita tiga puluh lima tahun itu.

Windraya menggeleng perlahan, lalu menegakkan sikap duduk. “Ini tidak ada hubungannya dengan masalah pekerjaan,” ucap pria tampan berambut klimis itu. Raut wajahnya teramat serius.

“Lalu, ada apa?” tanya Mayla lagi, ikut tegang.

Windraya tak segera menjawab. Dia menatap lekat sang istri, yang baru kembali dari liburan. “Selama kamu pergi ke Raja Ampat, mama menikahkanku dengan Ranum.”

“Apa?” Mayla sontak berdiri. Dia menatap tajam Windraya, seakan hendak menghabisi pria itu tanpa ampun. “Pernikahan macam apa? Kamu masih jadi suamiku, Mas!” protesnya, tak terima.

“Itu hanya pernikahan siri,” sahut Windraya, ikut berdiri.

“Tanpa izin dariku?” Mayla yang sudah tenang, kembali tersulut amarah. Kali ini, bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya. “Pernikahan siri atau apa pun itu, seharusnya tak bisa terlaksana bila tak ada izin dariku!” Nada bicara Mayla mulai tak terkontrol.

“Aku sudah membuat perjanjian dengan Ranum. Hari ini, surat perjanjian itu akan disahkan oleh pengacaraku.”

“Aku tidak peduli dengan perjanjian atau apa pun, Mas! Kamu sudah berkhianat!” Nada bicara Mayla tak juga terkendali. Wanita itu justru makin histeris.

“Mama ingin cucu laki-laki dariku,” ujar Windraya, mengemukakan alasan menikahi Ranum.

“Persetan dengan alasanmu, Mas! Aku tetap tidak terima dengan apa yang kamu dan mama lakukan!” Mayla menghentakkan kaki, lalu bergegas keluar kamar. Dia melangkah tergesa-gesa menuju kamar Nindira. Mayla harus meminta penjelasan pada sang ibu mertua.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, Mayla langsung masuk. Dia berdiri angkuh, sambil melayangkan tatapan penuh amarah kepada Nindira, yang duduk menghadap ke jendela kaca.

Brak!

“Apa yang Mama lakukan?” tanya Mayla, tanpa basa-basi.

Nindira yang tengah memandang ke luar, seketika langsung menoleh. “Ah, rupanya kamu sudah pulang.”

Bukannya menjawab pertanyaan sang menantu, Nindira justru mengomentari hal lain.

“Apa maksud Mama menikahkan Mas Win dengan wanita lain? Dia masih berstatus sebagai suamiku, Ma!” protes Mayla penuh amarah.

Namun, Nindira tak terpengaruh. Wanita paruh baya itu tetap bersikap biasa. “Memangnya kenapa? Aku juga tidak pernah protes dengan apa pun yang kamu lakukan.”

“Tapi, Mama sudah ikut campur terlalu jauh dalam pernikahanku dengan Mas Win! Mama tidak berhak mengambil keputusan apa pun! Apalagi, memaksa Mas Win menikahi wanita lain tanpa seizinku!” Mayla begitu berani menentang keputusan sepihak, yang dilakukan Nindira.

Namun, Nindira tetap tak terpengaruh. Ibunda Windraya tersebut membalikkan kursi roda, jadi menghadap pada sang menantu. “Begitu, ya?” Wanita paruh baya itu tersenyum sinis. “Windraya adalah putraku,” ucapnya, dingin. “Aku tidak merasa memiliki menantu perempuan. Kamu sibuk dengan urusan pribadi. Berlibur, bersenang-senang, menghamburkan uang yang diberikan putraku secara cuma-cuma. Lalu, timbal balik apa yang kamu berikan pada keluarga ini? Tidak ada. Wanita tidak tahu diri!” hardiknya.

“Mama!” Mayla sudah bergerak maju, hendak melakukan protes atas ucapan kasar ibu mertuanya.

Namun, gerakan Mayla berhasil dihentikan oleh Windraya. “Jangan bertindak macam-macam, yang hanya akan makin memperkeruh keadaan,” tegurnya pelan.

“Mama sudah bertindak di luar batas! Dia juga menghinaku!” bantah Mayla, tak terima.

“Siapa yang menghinamu?” sanggah Nindira. “Aku hanya mengatakan kebenaran.”

“Apa yang Mama lakukan sudah membuat harga diriku hancur!”

“Kalau begitu, berikan aku cucu laki-laki! ” tantang Nindira.

“Ma!” Windraya melayangkan protes keras. “Mama sudah tahu seperti apa kondisi Mayla.”

“Itulah mengapa Mama menikahkanmu dengan wanita lain. Alasannya jelas karena Mama ingin seorang cucu. Namun, apa yang bisa diberikan istrimu? Dia tak bisa melakukan apa pun, selain menghamburkan uang. Benar-benar tidak berguna!” cerca Nindira gamblang. Tak ada batasan lagi baginya, saat mengomentari sang menantu.

“Kamu dengar apa yang mama katakan, Mas? Seperti itulah sikapnya padaku selama ini. Dia tak pernah menghargaiku!”

“Apa yang harus kuhargai dari wanita tidak berguna sepertimu?”

“Ma! Tolong hentikan,” cegah Windraya tegas. “Aku menghormatimu, tapi aku juga harus menjaga Mayla karena dia adalah istriku. Suka atau tidak, itulah kenyataannya.” Windraya mengalihkan perhatian pada Mayla.

“Kalau begitu, beri pengertian pada istrimu. Jika dia tetap banyak bicara, Mama akan mengusirnya dari rumah ini!"

Tatapan wanita tua itu begitu tajam dan tak mau dibantah!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status