Share

Bukan Wanita Sebanding

“Ma!”

Tak biasanya, Windraya meninggikan nada bicara di hadapan Nindira. Namun, situasi yang dihadapinya kali ini berbeda.

Sebagai suami yang sangat mencintai pasangan, dia berkewajiban menjaga harga diri sang istri bahkan dari ibunya sekalipun. “Tolong jangan bersikap berlebihan seperti ini!”

“Berani sekali kamu bicara dengan nada seperti itu pada Mama,” tegur Nindira, tak suka.

“Aku harus bagaimana lagi? Demi bakti serta rasa sayangku terhadap Mama, aku menerima pernikahan dengan Ranum. Akan tetapi, aku tidak akan tinggal diam, jika Mama terus bersikap kasar pada Mayla. Ingat, Ma! Bagaimanapun juga, Mayla adalah istriku. Otomatis, dia sudah menjadi putri di keluarga ini —”

“Mama tidak sudi memiliki putri macam dia!” sergah Nindira, menyela ucapan Windraya. “Keputusan Mama sudah bulat dan tidak bisa diganggu siapa pun. Termasuk olehmu, Win! Bila Mayla tidak bisa menerima pernikahan keduamu dengan Ranum, silakan pergi dari rumah ini. Lagi pula, keberadaannya di sini tidak berguna sama sekali,” cibir wanita paruh baya itu.

Tak terkira betapa besar gemuruh dalam dada Mayla kala mendengar ucapan pedas yang dilontarkan sang ibu mertua.

Dalam hati, dirinya sudah tak tahan ingin memberikan perlawanan terhadap wanita yang duduk di kursi roda itu.

Akan tetapi, Mayla terus berusaha menahan diri. Istri sah Windraya tersebut hanya diam menahan amarah. Lagi pula, ada Windraya yang membelanya.

“Tolonglah, Ma. Jangan memaksaku bersikap lebih tegas lagi terhadap Mama. Ini sudah keterlaluan!” Windraya belum menurunkan nada bicara.

“Begitukah?” Nindira menatap sang putra beberapa saat. Namun, wanita itu tak mengatakan apa pun. Dia memilih membalikkan kursi roda, jadi menghadap ke jendela kaca. Membelakangi putra serta menantunya. Wanita itu tetap membisu, seakan memberi isyarat bahwa perbincangan panas tadi telah selesai.

Melihat sikap sang ibunda, Windraya hanya mengembuskan napas berat dan dalam. Dia paham akan bahasa tubuh wanita yang sudah melahirkannya tersebut. Windraya mengalihkan perhatian pada Mayla, kemudian membawanya keluar dari kamar sang ibunda.

"Kamu lihat sendiri seperti apa sikap mama padaku, Mas. Kamu dengar apa yang dikatakannya tadi?" Mayla duduk di ujung tempat tidur. Paras cantiknya menyiratkan keresahan mendalam.

"Sebenarnya, aku tidak suka berada dalam situasi seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi? Aku terlanjur menikahi Ranum," ujar Windraya, seraya ikut duduk di sebelah Mayla. Dia yang seharusnya sudah berangkat ke kantor, justru harus menyelesaikan masalah rumah tangga terlebih dulu. Itu membuatnya seakan tidak profesional.

"Lalu, aku harus bagaimana? Kurang apa lagi dalam menghadapi sikap keras serta kebencian yang selalu mama tunjukkan selama ini?" Mayla melayangkan tatapan protes pada sang suami, yang tampak sedikit kacau, sebelum mengalihkan perhatian ke lantai berlapis karpet permadani impor dari Turki.

"Kamu tahu kondisiku yang tidak sempurna. Aku tak bisa memberikanmu anak. Kamu juga sangat memahami alasanku kenapa jarang ada di rumah," ujar Mayla lagi, dengan nada penuh sesal.

Windraya mengembuskan napas berat. "Seharusnya, aku sudah berada di kantor saat ini. Aku harus memimpin rapat penting setengah jam lagi."

Mayla tak segera menanggapi. Dia juga belum mengalihkan perhatian dari karper bermotif indah tadi.

"Kurasa, untuk saat ini kamu tidak punya pilihan selain menerima pernikahan keduaku dengan Ranum."

Mendengar ucapan Windraya barusan, membuat kekesalan dalam diri Mayla kembali hadir. Wanita cantik berambut panjang itu sontak berdiri. Dia kembali melayangkan tatapan protes pada sang suami, "Mama benar-benar gila!" ujarnya, setengah menggerutu. Membuat Windraya langsung menatap tajam, sebagai tanda tak menyukai ucapan sang istri.

"Ya! Mama sangat membenciku, sampai-sampai tidak berpikir panjang! Bagaimana bisa dia menikahkanmu dengan seorang pembantu di rumah ini?" Nada bicara Mayla kembali terdengar tak bersahabat.

"Ranum bukan pembantu di rumah ini. Dia adalah perawat mama," sanggah Windraya.

"Dia bukan perawat profesional! Wanita itu hanya orang rendahan, yang tidak sebanding denganmu, Mas!" bantah Mayla, tegas.

Mendengar ucapan sang istri, Windraya hanya diam tak menanggapi. Karakternya yang jarang bicara dan mlaas berdebat, membuat pria itu banyak menahan kata-kata yang dirasa tak penting.

"Mama sengaja menikahkanmu dengan wanita itu, bukan karena alasan ingin memperoleh keturunan atau apa pun. Dia melakukannya semata-mata untuk menghinaku!" ujar Mayla penuh penekanan.

"Pikirkan saja, Mas," ucap Mayla lagi. "Masih banyak wanita yang status sosialnya lebih setara dengan Keluarga Sasmitha. Namun, mama justru memilih wanita tidak jelas asal-usulnya untuk dijadikan maduku. Apa kalian tidak malu memperoleh keturunan yang akan dijadikan penerus keluarga ini, dari seorang wanita yang entah seperti apa bibit, bebet, serta bobotnya?" Mayla mendengkus kesal, setelah berkata demikian.

Windraya beranjak dari duduk, lalu berdiri di hadapan Mayla. Dia bukan tipikal pria romantis, yang pandai merayu. Baik dengan kata-kata atau tindakan. Namun, Windraya harus bisa menenangkan Mayla, setidaknya untuk saat ini karena dirinya harus segera berangkat ke kantor. "Seperti yang kukatakan tadi. Sebaiknya, jangan membantah ucapan mama. Turuti saja apa yang beliau inginkan."

"Kamu senang menikahi wanita itu?"¹ tuding Mayla, dengan nada tak suka.

" Ayolah, Sayang. Aku harus segera berangkat ke kantor. Namun, aku tidak mau meninggalkanmu dalam situasi seperti ini." Windraya tidak menyukai ucapan sang istri.

"Kamu pikir perasaanku bisa tenang begitu saja, setelah mengetahui dirimu menikahi wanita lain secara diam-diam?" Mayla terus melayangkan sikap serta tatapan protes.

"Aku tahu. Aku paham seperti apa perasaanmu. Namun, untuk saat ini, tolong bersikaplah bijaksana. Tenangkan dirimu terlebih dulu. Setelah itu, kita akan bicara lagi untuk membahasnya lebih lanjut. Aku janji tak akan menghindari perbincangan, meskipun kamu terus marah-marah padaku," tegas Windraya penuh wibawa.

Bukannya menanggapi ucapan sang suami, Mayla justru melampiaskan kekesalan dengan terus menggerutu tak jelas.

Melihat itu, tak ada yang Windraya lakukan selain menghubungi sekretarisnya di kantor. Dia mengatakan akan datang terlambat karena harus menyelesaikan urusan penting terlebih dulu.

Windraya mendekati Mayla yang terus menggerutu, demi meluapkan amarah dalam dada. Dia memeluk sang istri penuh cinta. Pengusaha tampan itu bahkan mengecup pucuk kepala wanita, yang telah dinikahinya selama dua tahun tersebut. "Aku tahu ini semua salah dan tidak adil untukmu. Namun, ini juga tidak sepenuhnya keliru," ucap pria tampan, dengan setelan jas rapi itu.

"Apa maksudmu, Mas?" Mayla yang awalnya menggerutu tak karuan, mulai tenang setelah berada dalam dekapan sang suami. .

"Sebenarnya, Ranum sudah menandatangani surat perjanjian pernikahan denganku. Di sana tertera bahwa dia harus memberikan keturunan, dalam kurun waktu enam bulan hingga satu tahun. Bila tidak, aku akan menceraikannya," ucap Windraya menjelaskan.

Sayangnya, itu tak diterima baik oleh Mayla.

Wanita itu kini menatap sang suami tajam. "Kenapa kamu begitu tunduk pada mama?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status