Senyumku tersungging melihat tatanan makanan di taperware. Potongan sosis, ikan, dan sayuran yang dibentuk membuat sebuah wajah yang sedang tersenyum. Sebelum senyum itu pudar seiring kenyataan menghantam.
Mungkin ini akan jadi hari terakhir aku mengirimkan bekal makan siang untuk Pak Zaid, sebelum status pria itu akan berganti besok.
Waktu memang tidak main-main kalau soal memberi luka. Namun, aku belum lupa kalau hanya waktu juga yang bisa menyembuhkan walau tidak seutuhnya ampuh.
“Wah, enak sekali, loh, Reen masakannya. Yang ini, buat mpok aja, ya.” Mpok Yanti nyengir yang kubalas anggukan sambil tersenyum.
Semoga masakanku seenak yang dibilang Mpok Yanti. Takut gitu ngecewain lidah suami. Eh, masih bisa, kan, aku sebut dia suami?
Lagi-lagi napas terhela panjang. Capek juga ya, lama-lama kalau berdiri tegak seolah sedang baik-baik saja.
“Ck, jangan drama deh, Reen! Udah, ah! Jangan nangis, awas aja kalo sampe ini air mata jatoh!” Aku mendumel mendongak menatap langit-langit dapur.
Setelah cukup tenang, aku bergegas memesan taksi online. Untuk kali ini, biar aku sendiri yang antar bekal ke kantor langsung. Sekali ini saja aku lewati batas, boleh, 'kan? Hanya sekali, kok.
Keputusan yang tidak dipikirkan dua kali kini mulai membawa langkahku ragu saat sudah berdiri tepat di depan pintu lobby. Hebatnya lagi aku sampai tidak sadar sudah berdiri di depan meja Resepsionis yang tengah tersenyum ramah.
“Ada yang bisa dibantu, Bu?”
Aku masih muda tahu, masih 26 tahun ini! Mau protes, tapi ya, udahlah.
“Ehm, ini, eh, anu—” Duh, kok, malah gagap?!
Aku garuk-garuk kepala yang tertutup jilbab, kan.
“Uhm, begini, Mbak. Saya diminta anterin ini buat, pak Zaidan Malik. Beliaunya ada enggak, Mbak?”
Dari tadi, kek!
Sesaat wanita dengan sanggul rapi itu melirik paperbag yang sedikit aku angkat biar dia lihat juga. Kemudian perempuan dengan seragam ketat itu tersenyum memintaku menunggu sebentar, sementara dia menelepon seseorang.
“Baik, Mbak, mari saya antar.”
Wanita ber-nametag Syafira Zahrana itu tersenyum sebelum berjalan di depan menuntunku ke sebuah lift. Kalau dari pengalaman novel-novel yang kubaca, jika aku menjadi pemeran utama di salah satu kisah di novel-novel itu, mungkin sekarang aku sudah berakhir diseret Satpam ke luar. Namun, ini the real life sampe aku ketemu sama Resepsionis yang baiknya sampe bela-belain anterin segala ke ruangan atasannya, mana senyumnya ramah banget lagi.
Btw, panggilannya lebih memuliakan. Lega saja tidak dipanggil 'ibu' lagi.
“Ini ruangannya, Mbak.”
Aku sedikit mengangguk sambil tersenyum canggung melihat seorang wanita dengan rok hitam span sebetis berdiri di depan pintu menyambut dengan senyum ramahnya.
“Fitra, tolong, ya.” Wanita yang dipanggil itu mengangguk tersenyum. Kok, mereka pada ramah-tamah, ya? Karyawan Pak Zaid the best memang. “Mbak, saya tinggal, ya. Ini, sekretarisnya, pak Zaidan.”
Setelah mendapatkan anggukan dan ucapan terima kasih, wanita bernama Syafira itu pergi meninggalkanku bersama wanita bernama Fitra.
“Mari, Bu, saya antar.” Ya, ampun, ibu lagi!
Haaaa, ya, sudahlah!
Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, Fitra membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk.
“Makasih ya, Bu Fitra!” Senyumku yang jelas menekan kata 'ibu' yang membuatnya tampak meringis balas tersenyum.
“Iya, Mbak. Sama-sama, mari.”
Hilang juga dia di balik pintu. Peka juga, kan, pas dipanggil 'ibu' balik.
Deheman dari arah belakang membuatku sontak berbalik. Menyunggingkan senyum pada pria yang duduk di balik meja kekuasaannya.
“Aku bawain bekal. Pak Zaid, belum makan siang, 'kan?”
Pastikan dulu, kalo sampe dia bilang sudah ... ya, terpaksa ini bekal aku kasih ke orang yang lebih membutuhkan di jalan.
“Kenapa ke sini?—”
“Saya bakal langsung pulang kok, cuman mau anter ini doang. Maaf kalo, Tuan terganggu!”
Langsung saja paperbag aku letakkan ke meja, sedikit menimbulkan bunyi mungkin tidak sengaja ke bentur atau entahlah. Bodo amat juga.
Kaki sudah melangkah menuju pintu. Pulang membawa serta serantang rasa kecewa dan kesal.
“Bentar!” Cekalan di pergelangan tangan membuatku menoleh, jengkel banget gitu lihat mukanya yang datar sok kegantengan. Namun, sayangnya memang ganteng. “Siapa yang suruh kamu pergi?”
Alis tebalnya terangkat dan itu menjengkelkan!
“Ayo, duduk!”
Seenak jidat memang main tarik tangan orang. Namun, lagi, aku bisa apa?
“Lagi?” Satu alisnya terangka menatap isi taperware sebelum pria itu terkekeh menatapku.
“Apa?!” Ya Allah, Zareen kontrol dikit emosimu. Jangan sampai bablas galakin majikan sendiri, terlepas dari status yang tengah disandang diam-diam. Tahu diri, Zareen!
Dia menggeleng masih dengan wajah menahan geli. “Enggak apa-apa. Ini pasti enak.”
Hangat. Jarang-jarang kami seperti ini, apalagi bisa ngobrol sesantai ini. Tidak ada bahasa baku yang dia lontarkan, aku suka. Walau agak terdengar aneh.
Kenapa nanti sekarang baru dia bersikap agak hangat? Kenapa baru dua Minggu ini? Apa karena setelah kami saling mengungkapkan kekesalan malam itu, setelah dia mendengar bagaimana aku kecewa dan cemburu padanya? Namun, kenapa baru sekarang setelah besok dia akan ijab qobul untuk nama yang berbeda.
“Melamun?”
“Hah? Enggak! Anu–itu ... makanannya enak enggak, Pak?”
“Mas!”
“Kenapa?”
“Mas! Coba panggil saya dengan itu. Kamu pernah manggil saya begitu.”
Iya, tapi itu kalo lagi kesel banget sih, ya, bisa aku ucapin. Namun, dalam keadaan sadar walafiat begini, mana bisa. Bisa-bisa aku malu biar dikata dia suami sendiri.
Jangan lupa ya, status utamaku adalah pembantunya. Bukan istri.
Ck, semiris itu memang.
“Enggah, ah! Tuan, cepet makannya, aku mau balik.”
“Umur kita hanya beda delapan bulan, ya, Ai.” Dia mendengkus.
Kesal mungkin?
“Enggak pantes aja, Pak. Udah, makan aja, Pak keburu dingin.”
Dia menggeleng, lalu menghabiskan bekalnya. Setelahnya, pria itu meminum air dari tumblr yang juga aku masukkan ke paperbag.
“Gimana?” Mata sampai berbinar lihat tidak satu pun dari isi bekal tersisa. Bahkan butiran nasi pun tidak tampak sedikit pun.
“Enak.” Dia mengangguk sambil membersihkan mulut dengan tisu. “Mau ikut les memasak?”
Alisku mengernyit. Buat apa? Aku malah sudah bisa masak sendiri, ini buktinya buatin dia makan siang.
“Sewaktu-waktu kalau kamu jenuh, bisa buka usaha kuliner. Resto, mungkin.”
Enteng bener ya, dia bilangnya. Sultan, iya, aku paham. Namun, apalah daya dompet jelataku mau buka Resto.
“Enggak, ah! Mahal. Gajiku mana cukup.” Itu bukan kode biar Tuan Zaid menaikkan upah gaji, ya. Namun, kalo dia mau, aku sih, tidak keberatan.
Lagi-lagi satu alisnya terangkat. Pria itu merogoh saku bagian dalam jas hitam mahalnya yang nyaris setiap hari jadi kerjaanku buat setrika benda itu.
“Mau yang ini atau ini? Atau ini?”
Masya Allah!
Mataku sampai melotot, napas macam tertahan di tenggorokan sanksi bisa keterus sampai paru-paru.
“Mas?”
Dia terkekeh pelan. “Giliran dikasih jatah, manggilnya manis, ya, Ai.”
Dia menarik tangan kananku dan meletakkan kartu warna hitam mengkilap di sana. “Ini aja, unlimited.”
Apanya yang unlimited? Aku sampai merinding menatap kartu itu.
“Enggak, Pak! Jangan begini, aku itu pembantu, Bapak!”
Kartu yang kusodorkan justru hanya diliriknya begitu saja. “Kali ini ambil, kalau kamu tolak lagi, saya masih punya waktu buat hukum kamu dua jam ke depan!”
Sontak aku bergidik. Kali ini ucapan ambigunya yang selalu tidak pernah selesai bisa langsung konek dengan nalarku.
“Tap—”
“Zaid–oh, maaf!”
Derit pintu seolah membentuk kepalaku kala mendengar suara lembut seseorang. Sosok tinggi semampai dengan kemeja putih bergaris biru, di lengan kanannya tersampir jas putih. Wanita dengan celana kulot warna krem dan jilbab krem itu tampak anggun dengan outfit yang tentu tidak sebanding dengan pakaian seharga puluhan ribu milikku.
Jangan kira Pak Zaid pelit, lelaki itu menawarkan banyak barang berkelas. Namun, demi keamanannya aku memilih menolak semua barang-barang itu. Pakaian yang dibelinya pun hanya sesekali aku pakai.
Bayangkan kalau sampai Bu Mareta melihatku berpenampilan seharga jutaan rupiah. Logisnya di mana saat seorang pembantu berjalan dengan harga barang segitu.
“Kenapa, Dine?” Pak Zaid berdiri meninggalkanku di sofa, mungkin sebentar lagi juga akan meninggalkan kisah kami.
Ck, mendadak mataku memanas. Buru-buru menunduk sambil merapal. Jangan sampai nangis! Jangan sampai!
Dan akhirnya aku tetap kepo, melirik diam-diam dua orang yang berdiri depan pintu saling berhadapan. Sudah tahu bikin sakit hati, masih saja ini mata nekat!
Andine tampak melirikku sebentar, bibirnya bergerak gamang. Dia ragu mau bicara dengan suamiku? Em, maksudnya calon suaminya?
Karena ada aku?
Oke!
Tahu diri aja, Reen.
Aku berdeham sebentar seraya bangkit dari duduk. “Kalau gitu saya permisi, Pak ... Bu.”
Andine terseyum, manis sekali. Namun, senyum itu malah memercik api di dadaku.
Astaghfirullah.
Sempat melirik Pak Zaid yang hanya diam dengan satu tangan di saku celana membuatku kehilangan harapan. Memangnya apa yang kamu harapkan, Reen?
“Oh, ya, kata orang sih, calon pengantin enggak bole ketemuan dulu. Harusnya dipingit dulu.”
Kontan aku menggigit lidah sampai meringis. Ini mulut kenapa, sih?
Ya, kok, seyot, Reen? Mau mereka ketemu H-1 sekalian juga bukan urusanmu. Lama-lama aku berasa jadi ibu-ibu tetangga yang suka cosplay jadi penyiar komplek!
Gadis dengan hidung bangir itu mengulum senyum, mimiknya kayak menahan geli. Sementara Pak Zaid berdeham dengan tampang datarnya yang seolah isyarat, “Pergi atau saya potong gajimu!”
Amit-amit kalau sampai terjadi. Sontak aku bergidik. Sudah mau dimadu, gaji mau dipotong pula. Kurang nelangsa apa nasib ini coba?
“Saya pamit, Bu, Pak. Assalamu'alaikum!”
Berbalik, kututup pintu setelah keluar dari ruangan sempit itu. Perasaan ruangan CEO Malik Company luas saat aku masuk tadi, nyaris seluas lapangan volly malah. Entah sejak kapan jadi sesempit itu hingga saat aku berdiri di balik pintu belum selesai juga acara menghidu oksigen dalam-dalam.
Kalau bisa kuhirup udara untuk persediaan hingga Lusa. Sebelum melihat sendiri bagaimana Pak Zaid berdandan ala calon pengantin pria.
“Hiii, apaan sih, Reen!” Aku berdecak, jengkel dengan pikiran yang suka melayang sana sini.
Mending aku pergi meninggalkan kantor ini. Kalau perlu dengan semua memori tentang mereka juga aku tinggalkan di sini.
Bersambung
“Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!
“Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.
“Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“
“Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi
Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi
Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna