Share

Istri Sumbangan
Istri Sumbangan
Author: Mustacis

1. Sumbangan

Setelah bertahun-tahun berlalu, ini adalah kali pertama Lukman kembali menghubunginya. Fathul tidak punya ekspektasi akan dipanggil oleh keluarga Malik, tapi lebih tidak terduga lagi lokasinya bukan di rumah Malik, melainkan di rumah sakit. 

Fathul tidak merepotkan diri untuk menerka siapa gerangan yang sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, ia lantas turun dan melewati koridor dengan langkah yang santai, tidak terburu-buru meski suara Lukman di dalam telepon tadi terdengar lemah dan putus-putus.

Lelaki dengan tinggi 182 cm itu memasuki ruangan VIP dan membuka pintu kamar nomor 6 yang terletak di ujung lorong. Tiga orang yang berada dalam ruangan langsung menoleh dengan tatapan yang berbeda. 

Ia melihat Lukman, sang kakak tiri yang berbaring pucat di ranjang rumah sakit, Ramlah–ibu tirinya, dan satu lagi perempuan berwajah pucat yang duduk di samping ranjang. 

Fathul masuk tanpa sedikit pun simpati di wajahnya. Apa yang harus dia katakan setelah ini? Haruskah dia menanyakan kenapa Lukman bisa terbaring lemah di sana?

“Ada apa?” Ia malah melontarkan pertanyaan dengan nada yang dingin. 

Lukman mengangguk sedangkan Ramlah membuang muka. Bahu perempuan paruh baya itu sedikit bergetar dan ia tampak lebih kurus sejak 13 tahun yang lalu. 

Tentu saja, pasti banyak yang berubah selama 13 tahun. 

“Kemarilah, Fathul.” Nada suara Lukman terdengar lebih lemas ketimbang di telepon. 

Wajah pria berusia 32 tahun itu sangat pucat dan tirus. Matanya yang dulu berpijar percaya diri kini menjadi kuyu, menatap Fathul dengan harapan yang besar. Kegagahan yang dulu melingkupinya seolah hilang, yang tersisa hanya badan panjang yang dibalut kulit dan tulang. 

Fathul mendekat ke sisi ranjang yang lain, sengaja menjaga jarak. Memandang tubuh kurus Fathul dan menghindari tatapan mata sang kakak. 

“Sudah lama sekali, Fathul. Kau tidak pernah datang ke rumah lagi.” 

Fathul tidak berniat membalas sapaan basa-basi itu. 

“Kau semakin tinggi dan gagah.” Nampak senyum tipis dari bibir kering dan pucat itu. 

Fathul menanggapinya dengan anggukan, sengaja memperlihatkan sorot mata tidak sabar. Sejujurnya, dia tidak ingin berlama-lama di sini. 

“Aku memanggilmu untuk berjumpa di kali yang terakhir.” Lukman menelan ludah, menatap langit-langit dan seolah ragu mengatakan sesuatu. 

Meski samar, Fathul sempat mengerutkan kening. Apa yang terjadi pada lelaki ini? 

“Tubuhku tidak bisa bertahan lagi dan menampung jiwa yang berdosa ini.” Lukman menatapnya dalam, seolah banyak sekali kata yang tak mampu pria itu ucapkan. 

Saat Fathul memberinya pandangan bertanya-tanya, Lukman pun memasang senyum dengan mata yang memancarkan kesedihan. 

“Aku menderita kanker darah kalau itu yang hendak kau tanyakan.” Kepala lelaki itu menoleh pada sisi ranjang yang lain. “Raihanah, Sayang, sapalah dia, adik Abang. Namanya Fathul.”

Wanita yang sejak tadi menunduk itu memberikan anggukan tanpa mengangkat wajahnya. Fathul tidak repot-repot membalasnya. 

“Dia istriku, bidadari yang selama ini menemaniku.”

Fathul hanya mengedipkan mata untuk merespons perkataan Lukman. Namun, sekejap kemudian, tangan Lukman bergerak lemah menyentuh lengan Fathul. Membuat Fathul hampir saja menaikkan sebelah alis, sebab selama hidupnya, tidak sekalipun Lukman sudi untuk menyentuhnya. 

“Ini permintaan terakhirku, Fathul. Bawalah dia dan berikan rumah yang nyaman untuknya.”

Wanita bernama Raihanah itu tersengat dan langsung mengangkat wajah menatap Lukman dengan mata membelalak. Ramlah yang sejak tadi terdiam ikut mendekati ranjang, rautnya panik. 

Sedang Fathul membeku. Jika dia dipanggil lagi seperti sebelumnya, maka pasti ada sesuatu yang hendak diberikan Lukman padanya, lebih tepatnya ada hal yang akan disumbangkan untuknya seperti perusahaan yang hampir bangkrut atau beasiswa pendidikan yang sudah kadaluwarsa. 

Namun, ini di luar ekspektasinya. Bukannya Fathul senang disumbangkan barang bekas ataupun perusahaan yang hampir bangkrut, tapi ia tidak pernah berpikir Lukman akan menyumbangkan seorang istri kepadanya. 

“A-apa maksud Abang?” 

Bibir yang sejak tadi tertutup rapat itu akhirnya terbuka dan mengeluarkan suara yang lembut, sedikit renyah, dan berkesan di telinga Fathul. 

Lukman menoleh, memberikan senyum untuk menenangkan wanita itu. “Maafkan Abang ya, Hanah Sayang. Sampai di sini kesanggupan Abang menjagamu. Badan Abang tidak sanggup lagi bertahan.”

“Apa yang Abang bicarakan?” 

Fathul melihat setetes air mata yang jatuh ke pipi pucat wanita bernama Raihanah itu. 

“Jangan bicara yang tidak-tidak, Lukman. Ayo kita pindah ke ruang ICU. Biar Ummi yang kasih tahu suster.”

“Ummi, aku malah pengen pulang ke rumah, tapi waktuku nggak banyak. Doakan perjalananku, ya.”

“Subhanallah, perjalanan apa?! Demi Allah, jangan katakan itu!” Kedua mata Ramlah berlarian panik dan memerah.

Barangkali hanya Fathul yang tidak dihinggapi kepanikan dan ketakutan. Hatinya terasa kosong, meski ia tahu Lukman tengah memberinya isyarat penting sebelum lelaki itu benar-benar pergi. 

Lukman menggenggam tangan Raihanah dengan sekuat tenaga. “Kalian berdua adalah tiang-tiang yang membuatku berdiri tegak selama ini. Terima kasih banyak.”

Raihanah menggigit bibir sampai sudutnya berdarah. Wanita itu terlihat sangat tersiksa, sama seperti ekspresi Ramlah saat Misan Malik, suaminya sekaligus pemimpin keluarga Malik meninggal dunia. 

Fathul tidak punya kesedihan dalam hatinya. Ia hanya menyayangkan, sebab keturunan satu-satunya Misan Malik sebentar lagi akan pergi dan meninggalkan nama Malik yang luhur serta mulia.

Andai penyakit dan kematian bisa disumbangkan, maka pasti Lukman akan menyumbangkan kedua hal itu padanya. 

Namun, Fathul tidak mengharapkan sumbangan dalam bentuk seorang istri. 

“Bismillah, atas nama Allah yang agung, Abang memberikan talak kepada Raihanah. Maafkan Abang.”

Raihanah menangis tersedu-sedu sampai napasnya terputus-putus. Mereka pasti saling mencintai. Wanita itu tentulah sangat dimuliakan di rumah Malik. 

“Kita berpisah bukan karena kematian Abang, tapi karena Abang melimpahkan tanggung jawab untuk menjaga Raihanah pada adik Abang.”

Fathul mengernyit. Ia belum memberikan persetujuan. Bagaimana jika Lukman bisa sembuh setelah ini? Apakah istri yang sudah dia sumbangkan akan diambil kembali? Seperti perusahaan sumbangan yang berhasil ia kembangkan dan majukan tiba-tiba diambil lagi oleh pria itu.

Fathul membenci permainan kekanakan semacam itu. Wanita ini bisa menjaga dirinya sendiri dan hidup bersama orang tuanya atau dengan Ramlah saja. Kenapa harus dijaga segala?

“Apa yang kamu lakukan, Lukman?! Kematian adalah rahasia Allah. Insya Allah, kamu bisa sembuh stelah ini!”

“Ummi, Lukman tahu diri, bahwa Allah sudah memanggil Lukman. Karena itu, saya tidak bisa meninggalkan kalian sendirian tanpa amanat yang jelas.”

Mata Lukman mulai meredup. Ia tampak sedang menahan rasa sakit. Meski begitu bibirnya tetap bergetar seperti tengah mengucapkan sesuatu secara berulang-ulang. Fathul mengenali gerak bibir yang tengah berzikir itu.

“Fathul, maukah kau menerima sesuatu dariku untuk yang terakhir kalinya?”

Fathul belum sempat memberikan respons ketika dengan tangan yang bergetar, Lukman membuka cincin di jari manisnya lalu mengulurkannya pada Fathul. 

“Nikahilah istriku. Bawa dia pulang ke rumahmu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status