Share

Gulungan Rambut di Dalam Sop

"Mar, nanti sore ibu datang," kataku pada Marni. Dia terlihat kelelahan, padahal tugasnya hanya mencuci piring.

Aku baru saja beristirahat setelah tiga jam membersihkan rumah tanpa henti. Banyak benda ajaib yang kutemukan, salah satunya celana dalam bekas pakai milik istriku yang bernama Marni. Rasanya ingin marah, tapi aku ingat nasehat ayah, sabar.

Marni panik. Dia memang agak takut dengan ibuku, ibuku bukan pemarah, tapi tegas. Dia akan mengatakan sesuatu sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. Satu lagi, ibuku memiliki kebiasaan yang bertentangan dengan Marni, ibu pecinta kebersihan, untung saja kami tinggal terpisah, kalau tidak, entah apa yang terjadi.

"Ibu? Wah, kita masak apa?" Dia langsung bangkit. Sedikit panik, terlihat dari gesture tubuhnya yang meremas jarinya satu sama lain.

"Sebelum masak, kamu mandi dulu, aku tak mau kamu pakai baju yang ini lagi, rambut kamu yang panjang, kalau cuma bikin ribet, dipotong saja, dari pada digulung-gulung begitu." Aku berharap, tak ada kutu di sana. Membayangkannya saja, kepalaku gatal.

"Baik, Mas." Marni mengangguk. Dia masuk ke kamar mandi. Meninggalkan aku yang menghela nafas panjang. Lihat itu, baru saja rumah kurapikan, Marni sudah meletakkan gelas bekas pakainya di atas meja makan yang tadinya sudah kosong dan bersih. Apa salahnya dia letakkan ke westafel kembali.

Dengan terpaksa, kubawa gelas bekas Marni ke westafel, langsung mencucinya dan meletakkannya ke rak piring.

Marni pintar memasak, masakannya enak, dia juga suka membuat makanan seperti cemilan. Saat memasak, aku melepaskannya bekerja sendiri, karena aku tak berbakat dalam memasak, tapi berbakat bersih-bersih seperti ibu.

Satu jam kemudian, ibu dan ayah datang. Aku cukup puas karena mencium aroma sedap dari dapur.

"Silakan masuk, Bu!" sapa Marni sambil menyalami ayah dan ibuku. Mata ibu mengamati sekeliling lalu mengangguk puas.

"Gimana kabarmu?" tanya Ibu pada Marni.

"Alhamdulillah, saya sehat."

"Sudah isi?" Ibu bertanya tanpa basa-basi. Aku dan Marni saling tatap.

"Eh, itu, belum," sahut Marni kikuk.

"Namanya belum rejeki, nggak apa, berusaha aja terus. Kamu juga, Anto. Pulang sesekali, pandai-pandai memanfaatkan waktu."

Nah, begitulah ibu, aku sampai segan dengan Ayah. Mau menjawab, bagaimana mau mencari waktu, baru sampai setelah bekerja di luar kota selama dua Minggu, setiba di rumah, malah mengepel lantai. Akan tetapi, semua itu takkan kukatakan pada ibu, kasihan Marni.

"Masak apa, Mar? Baunya harum."

Senyum Marni merekah. Dia tersanjung. Ibu dan ayah langsung duduk di meja makan.

"Masak sop, Bu. Sebentar, saya ambilkan." Marni bergegas ke dapur, membawa sejumlah piring dan semangkok besar sop daging. Ibu tak berlebihan memuji aroma masakan Marni. Aromanya membuat perut lapar.

Ibu menyodorkan piring pada Ayah dan padaku. Ayah diberi kesempatan mengambil nasi lebih dulu, lalu menuangkan sop ke piringnya.

Benar, rasanya enak.

"Enak," kata Ayah. Senyum Marni makin merekah.

Kami makan dalam diam. Tiba-tiba.

"Apa ini?" Ibu mengangkat sendoknya. Di sana, rambut dengan gulungan kecil sudah menyatu dengan kuah sop.

Aku memandang Marni yang memucat. Sementara Ayah langsung menelungkupkan sendoknya.

Ibu mendorong piringnya menjauh, suasana sunyi langsung melingkupi kami.

"Kenapa ada rambut? Apa pancinya tidak dicuci? Apa air yang digunakan memasak, dipastikan air bersih?" tanya Ibu.

"Untung aku yang menemukan rambut di masakanmu, kalau sempat orang lain, kau akan menjadi gunjingan, Marni."

Marni tergagap, matanya berkaca-kaca. Aku lebih memilih diam, tak ada gunanya membela Marni yang lalai dan ceroboh.

Setelah itu, keceriaan berubah hening, setengah jam kemudian, Ayah dan Ibu pamit untuk pulang. Dengan masih memandang dingin pada Marni.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status