"Apa itu tadi? Rambut di dalam sop." Aku mengusap wajah kasar. Mungkin aku bisa memahami Marni, tapi ibu, ibu bukan orang yang pemaaf. Dia bisa jera, bahkan takkan lagi memakan masakan Marni seumur hidup.
"Maaf, aku ... Aku ... Aku hanya menggunakan panci yang ada di bawah kolong ... Itu ... Itu ...." Marni tergagap, dia hampir menangis."Kau sudah memastikan benda itu bersih?""Dulu, dulu sudah dicuci, pasti bersih.""Dulu? Kapan? Jadi kau gunakan panci yang sudah lama tidak dipakai tanpa mencucinya, aku tak tau kau seceroboh itu, Marni.""Maaf," katanya menangis."Kau selalu mengatakan maaf, tapi tak pernah berubah. Haruskah semua pekerjaan itu diarahkan dulu? Apa kau tak punya inisiatif? Keran yang rusak, bukankah kau punya kaki dan punya uang untuk mencari tukang service, kenapa menungguku yang jelas-jelas tak di rumah? Apalagi yang kurang, Marni. Aku tak menuntutmu bekerja, aku memberikan uang yang cukup, apakah aku juga yang harus mengarahkan ke mana uang itu harus digunakan? Bukankah kau seorang istri, yang harus pintar mengatur keuangan?"Kutumpahkan semua kekesalan di dalam hatiku, rasanya, lelah di perjalanan selama empat jam dari luar kota belum selesai, sampai di rumah, aku bekerja ini itu, pekerjaan yang harusnya dilakukan Marni. Setelah itu, ibu datang, lalu ibu menemukan rambut di dalam sop, letihku sempurna sudah.Marni masih menangis."Apa yang kau lakukan dia Minggu ini di rumah? Sampai-sampai panci dijadikan sebagai pengganti piring untuk makan?""Aku ... Aku ... Tidur, Mas.""Kau sakit?"Marni menggeleng."Ada apa sebenarnya? Kenapa kau begini?""Tugas bersih-bersih bukan tugasku.""Apa maksudmu?" Aku tersinggung, apakah secara tidak langsung dia mengatakan bahwa selain mencari uang, bersih-bersih adalah tugasku juga? Keterlaluan."Dulu, di keluargaku, tugasku cuma memasak, bersih-bersih tugas Fatimah, mencuci piring tugas Leni, mencuci pakaian tugas Irma." Dia membalas tak kalah panjang.Aku menggeleng tak percaya. "Apa? Lalu tugas itu saat ini, aku yang menggantikan, begitu? Ya, ampun, kenapa ada istri sepertimu, Marni?""Aku tau aku salah. Tapi ....""Tapi, kau tak mau berubah." Aku mendengkus, meninggalkan Marni sendiri. Aku butuh udara untuk mendinginkan kepalaku sendiri.Kata ayah, dia baik. Kuulang kalimat motivasi itu di dalam hatiku, bagiku, baik dari segi Tutur kata saja tidak cukup. Aku tak berharap banyak pada Marni, tak pernah menuntut apa-apa. Selayaknya manusia normal, tentu suka istrinya dalam keadaan rapi, cantik, rumah bersih, masakannya terjaga kebersihannya. Sayangnya, semua itu tak asa pada Marni.***Malam datang, sejak tadi sore kami belum bertegur sapa. Kukira Marni sudah sadar dengan apa yang tidak aku sukai. Kenyataannya, dia memakai kembali daster kumal itu untuk tidur.Aku hanya mendapatkan kesempatan sekali dalam dua Minggu untuk tidur dengannya. Tapi yang dilakukan Marni, sama sekali tak menggugah seleraku."Kau sudah gosok gigi?"Dia menggeleng."Astagfirullah." Aku lelah."Gosok gigimu, jadikan daster kumal itu sebagai kain lap, jika besok aku masih melihatnya, aku akan membakarnya."Marni bangkit, masuk ke kamar mandi. Karena terlalu lelah, aku tertidur. Untuk kesekian kalinya, segel perjaka belum juga tanggal dari diriku, karena joroknya wanita yang bernama Marni.***Banyak hal yang tak kumengerti tentang Marni, dia tak pernah terbuka dalam berbagi hal. Padahal, awal pertama aku memberikan gajiku padanya, aku sudah mengatakan, silahkan atur keuangan di rumah ini.Aku takkan mencampuri uang yang telah kukasih ke Marni, dia bisa gunakan uang itu untuk apa saja. Membeli baju, membeli bedak, ke salon, terserah. Akan tetapi, sekali lagi, Marni tak punya inisiatif."Jumlahnya lima puluh lima juta," kataku memperlihatkan uang yang ada di dalam kotak plastik yang sempat tersenggol kemaren. Kurapikan kembali, setelah sempat berserakan."Aku telah memberimu nafkah selama tiga bulan, total semuanya enam puluh juta. Bersisa lima puluh lima juta, artinya dalam tiga bulan, hanya lima juta yang kau pakai. Padahal kau bisa saja membeli baju bagus, peralatan rumah, atau merawat dirimu ke salon. Kenapa?"Setelah sarapan pagi, aku mengajak Marni duduk berdua. Tentu saja setelah menyaksikan dia memasak secara langsung, walau sempat ku-omeli beberapa kali, tapi aku bisa memastikan yang kumakan bersih."Itu, aku ingin menabung, Mas.""Menabung? Bagus, tapi bukan dengan cara menyiksa diri. Rumah ini sudah milik kita, kendaraan ada, buat apa kau memaksakan diri berhemat sebanyak itu.""Aku ingin, adik-adikku punya rumah bagus."Aku terdiam.***Sebelum berangkat ke luar kota untuk bekerja kembali, kusempatkan untuk datang ke rumah keluarga Marni. Leni menyambutku santun."Silahkan masuk, Mas!" katanya.Aku masuk. Bau aneh tercium di hidungku, entah apa. Aku merasakan lantai semen yang kupijak lengket bercampur pasir.Leni buru-buru menyingkirkan toples yang terletak di atas Sofanya yang warnanya tak bisa kupastikan apa. Krem? Bukan, coklat, juga bukan, kelabu? Entahlah, banyak warna, atau malah karena kotor.Aku duduk di tempat yang lumayan bersih dari satu sofa yang berisi toples tadi.Kuamati rumah itu, pakaian bergantung di sana sini, plastik bekas makanan berserakan, ada juga gelas kotor yang dibiarkan menumpuk di sudut ruang tamu.Aku tau bau apa ini, bekas makanan yang lalat mulai berkerumun di sana."Tunggu, ya, Mas! Leni bikinkan minum.""Tidak usah," cegahku, melihat Leni, aku seperti melihat Marni, dia berantakan, bahkan aku melihat kukunya yang panjang dan ... Hitam. Perutku bergejolak lagi. Sepertinya, dari sinilah sifat jorok itu berasal."Mana adik-adikmu?""Belum pulang sekolah, Mas."Aku mengangguk, aku pernah mendengar, bahwa Leni tak lagi melanjutkan sekolahnya setelah tamat SMP beberapa tahun yang lalu."Aku ke sini, mau melihat apa yang perlu direnovasi di rumah ini."Leni tersenyum tak enak. "Eh, Leni nggak enak, merepotkan Mas.""Tidak, kok. Kalau begitu, boleh aku melihat-lihat?"Leni mengangguk semangat.Pengamatan dimulai dari ruang tamu yang seperti kapal pecah. Kulihat ke atas, plafonnya memang harus diganti, ada bekas bocor yang sudah membuat plafon menjadi lapuk."Boleh kulihat kamar kalian?"Wajah Leni memerah, tapi dia tetap saja membuka pintu kamarnya walaupun ragu.Aku sampai beristighfar di dalam hati. Bagaimana kamar seorang gadis bisa seperti ini? Bahkan piring kotor berada di atas kasur, bercampur dengan pakaian, selimut dan ... Pembalut.Niat hati ingin melihat apa yang perlu direnovasi, malah membuat mood-ku terbang jauh. Aku berusaha menyebarkan hati, bersiap untuk melihat yang paling rentan joroknya. Dapur.Dugaanku tidak salah. Tumpukan piring, kain kotor berserakan di atas lantai, bahkan mataku menangkap, sebuah celana dalam yang dikotori darah.Leni buru-buru mengambil benda itu. Lalu menyembunyikannya ke bawah tumpukan kain kotor."Baik, tunggu saja orang yang akan merenovasi beberapa hari lagi.""Baik, Mas. Terimakasih."Aku pergi, aku butuh udara segar. Bayangan joroknya rumah Marni, terbayang-bayang di kepalaku.Sepertinya, jorok adalah kebiasaan keluarga Marni. Sehingga dia nyaman dengan keadaan seperti itu. Tak merasa bersalah, tak merasa terganggu karena itu pemandangan sehari-harinya.Pov MarniAku Marni, kakak dengen enam orang adik. Adikku tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ayah telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, saat dia tak mampu bertahan karena penyakit paru-parunya. Sedangkan ibu, menyusul lima tahun kemudian. Setelah kematian ayah, ibu seperti kehilangan semangat, mereka tak pernah berpisah, ke ladang sama ke ladang, di rumah pun seperti teman akrab.Ibu yang awalnya sehat, mulai sakit-sakitan, badannya kurus dan susah makan. Hingga beberapa tahun kemudian ibu menyusul ayah.Tak ada yang istimewa denganku, hari-hari kuhabiskan di rumah, berkutat dengan dapur, aku terbiasa memasak dalam porsi yang banyak, karena banyak mulut yang akan makan di rumah kami. Kami punya ladang sawit, lumayan luas, hingga saat ayah ibu tiada pun, kami tak perlu memikirkan uang bulanan. Akan ada orang yang mengantar ke rumah uang hasil panen sawit kami.Sejak kecil, ibu dan ayah tak pernah mengarahkan apa pun, semua terjadi secara alami. Beliau pergi pagi pulang petang. Yang
Pov Marni***Mas Anto telah pergi dua jam yang lalu, meninggalkan aku sendiri yang mulai merasa mengantuk. Bagiku, tempat tidur adalah tempat paling nyaman, bahkan jika diajak untuk jalan-jalan, aku lebih memilih tidur seharian.Sebelum pergi, Mas Anto menyetrika bajunya sendiri, dia tak mempercayakan pekerjaan itu padaku. Bahkan setelah aku mencuci bajunya, dia mengulang lagi mencucinya.Mas Anto yang aneh. Walau bagaimana pun dia adalah suamiku. Aku menutup pintu dengan semangat, lalu masuk ke dalam kamar, apa lagi kalau bukan kegiatan yang paling menyenangkan. Tidur.***Tiga hari sudah Mas Anto pergi, kami tak pernah saling telpon, karena lokasi penambangan minyak bumi dan gas Mas Anto tak memiliki sinyal. Aku tak masalah, asalkan dia pulang dua kali sebulan.Tiba-tiba pintu diketuk, seiring dengan berhentinya deru mobil.Kusibakkan gorden jendela. Mataku membulat sempurna. Ibu mertua. Kenapa beliau datang?Biasanya beliau datang jika Mas Anto pulang.Ibu mertuaku sudah sampai d
Pov MarniKukira, ibu mertua akan datang di hari itu saja, nyatanya tidak. Ia datang lagi ke esokan harinya. Padahal aku berharap, dia tidak usah terlalu sering ke rumah, aku takut padanya.Aku menyiapkan hati dan telinga. Ibu mertua yang suka bicara apa adanya, walaupun ucapannya keluar menyakitkan. Aku tak biasa diperlakukan kasar. Bagiku, kesopanan berbicara adalah nomor satu.Aku ingin, setelah ibu tiada, jika mendapatkan mertua, bisa dijadikan sebagai ibu layaknya ibu kandung. Akan tetapi, ibu Mas Anto dan ibuku bagaikan bumi dan langit.Ibuku selalu tersenyum, suaranya pelan dan ramah, dia tak pernah mencaci atau pun memaki, dia selalu bertutur kata sopan dan santun. Bagaimana caranya aku bisa menganggap ibu Mas Anto bagaikan ibuku sendiri? Saat ini, bahkan ketika baru saja aku membukakan pintu rumah, wajah sinisnya kembali menyapa."Kau sudah menyapu rumah?" tanya dia tanpa basa-basi."Sudah, Bu.""Tapi tidak bersih, pasir masih terasa di telapak kakiku. Apa kau sudah memegang
Pov AntoMeninggalkan Marni untuk sesaat, mungkin adalah pilihan yang tepat bagiku. Kejengkelan yang kurasakan karena Marni tak bisa mengerti dengan apa yang kusampaikan, jangan sampai menjadi amarah yang akan semakin menyakitinya.Aku tak tau, pernikahan apa yang tengah kami jalani, seharusnya di usia pernikahan kami, setidaknya kami telah mendapatkan kejutan, contoh punya anak misalnya. Bukankah kesempurnaan seorang laki-laki adalah melihat seorang anak yang mewarisi darahnya? Meneruskan nasabnya?Aku memang tak mencintai Marni, tapi berhubungan badan tak butuh cinta, perasaan naluriah itu adalah sebuah kebutuhan. Akan tetapi, seorang Marni berhasil mematahkan selera dan semangatku dengan badannya yang bau.Mobil sampai di pekarangan rumah ibu. Wanita yang berstatus ibuku itu, masih cantik bahkan di usianya yang hampir mendekati angka enam puluh lima. Dia tengah menggunting bunga, merapikan tanaman kesayangannya itu agar enak dipandang mata."Anto, ayo masuk! Ayah ada di dalam.""Ba
POV AntoAku memutuskan pulang setelah bicara panjang lebar dengan ibu. Apa yang dikatakan ibu ada benarnya juga, memberi Marni waktu tiga bulan untuk berubah adalah solusi dari semua masalah yang ada pada dirinya.Orang yang normal, tak ingin pernikahannya berakhir dengan perceraian. Pasti setiap orang menginginkan pernikahan yang sempurna, istri yang baik dan pintar mengurus dirinya, pintar mengurus rumah dan hebat mendidik anak. Jangankan mendidik anak, Marni saja tak bisa mengurus dirinya, bagaimana aku bisa berharap dia akan hebat mengurus anak?Anak dengan Marni? Apakah dia layak melahirkan anak-anakku? Setelah semua kejelekannya terasa begitu menganggu. Aku sangsi, dia bisa menjadi ibu yang baik.Sebelum masuk ke dalam rumah, kuhela nafas untuk melapangkan hati. Marni adalah wanita yang penuh kejutan. Setiap masuk rumah, pasti dia memberikan kejutan yang berbeda-beda. Sayangnya, kejutannya tak ada yang baik.Pintu terbuka sedikit, kudorong pelan. Marni terlihat asik duduk bers
POV AntoBagaimana aku bisa mengenal Marni? Kami tak sempat berkenalan, bahkan kami hanya bertemu di prosesi akad nikah, aku mempercayakan semuanya pada Ayah saat itu. Dalam pemikiranku saat itu, Marni seperti manusia normal pada umumnya, layaknya wanita biasa. Bukankah dia kakak dari enam orang adik dan yatim piatu pula, artinya dia bisa jadi teladan bagi adik-adiknya sendiri.Masih ingat waktu itu, saat pulang dari luar kota, Ayah memanggilku secara khusus. Ibu mendampingi Ayah dengan wajah kusut, dari awal pembicaraan sampai akhir, Ibu lebih memilih menutup mulutnya. Aku tau betul, wajah ibu menunjukkan dia tengah marah."Sudah berapa umurmu, Anto?" tanya Ayah, pertanyaan yang sering kudengar dari Ibu tapi kuabaikan. Kali ini tampaknya Ayah langsung turun tangan. Artinya ini sudah sangat serius dan mendesak."Beberapa bulan lagi tiga puluh enam." Aku berkata jujur, bahkan tak lama lagi sudah empat puluh. Sudah cukup tua untuk ukuran laki-laki yang masih melajang."Rudi itu temanmu,
POV Marni"Eh, Marni, tumben keluar dari sarang," sapa seorang wanita muda yang kutak tahu namanya, teman-temannya yang lain menatap ka arahku, dengan pandangan yang sama. Pandangan mengejek. Aku hanya bisa menunduk menghindari tatapan mereka.Memang, selama tinggal di sini, aku tak pernah keluar rumah. Segala kebutuhan rumah tangga, sudah ada yang mengantar. Entah dengan alasan apa, Mas Anto sengaja memberhentikan dia yang biasa ke pasar dan membantu membelikan kebutuhan rumah tangga.Saat ini, aku kehabisan sabun cuci. Warung sebenarnya dekat, hanya dipisahkan tiga rumah dari rumah kami. Terpaksa kupergi ke sini.Entah mengapa, mereka kenal dengan namaku, sedangkan aku sama sekali tak mengenal mereka."Kirain, lagi teler karena hamil muda, makanya takut kena cahaya matahari," tambah seorang wanita muda berdaster ungu."Bukan hanya takut melihat matahari, dia juga takut melihat orang," timpal ibu-ibu berbaju blus putih."Ah, berarti sama seperti vampir. Hahahaha." Mereka tertawa. Ra
POV MarniAku menghela nafas lega saat Mas Anto kembali ke rumah. Wajahnya masih setegang tadi, dia masuk tanpa melihatku sama sekali. Pasti terjadi sesuatu yang menjengkelkan hatinya. Mas Anto persis ibunya, saat emosi tak bisa menyembunyikan raut wajahnya.Aku penasaran apa yang telah terjadi, apa tujuan Mas Anto menemui ibu-ibu itu. Tak terbayangkan, Mas Anto menghadapi beberapa wanita yang bermulut tajam.Tanpa meminta persetujuannya, aku mengekor di belakang Mas Anto, mengikuti langkah kakinya ke kamar. Kuhirup aroma wanginya yang sudah kuhafal, dalam keadaan apa pun dia selalu segar."Mas," sapaku. Aku berdiri di ambang pintu kamar, tak berani ikut masuk. Kondisi Mas Anto sedang tak baik, dia bisa saja mengomel seperti ibu mertua.Mas Anto melihatku sekilas, lalu kembali dengan cermin di depannya. Dia menyisir rambutnya yang masih terlihat rapi itu.Aku hanya bisa menduga-duga, apa yang telah terjadi pada Mas Anto."Ada apa? Kau mau menanyakan sesuatu?"Aku menimbang, mencari ka