POV MarniTepat setelah empat puluh hari, Ibu Mas Anto pamit ingin pulang. Dia tak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Padahal Mas Anto berharap, sang Ibu bisa tinggal bersama kami. Walaupun kami sering berseberangan pemikiran dengan Ibu, namun pada hakikatnya kami saling menyayangi."Ingat pesan-pesan Ibu, ya, Marni. Walaupun telah empat puluh hari, jangan sesekali meringan-ringankan badan. Jangan mengangkat beban berat.""Ya, Bu," sahutku. Travel yang akan mengantar Ibu ke bandara telah sampai di depan rumah kami.Ibu mencium Rayhan berkali-kali. Dia terlihat berat berpisah dengan Rayhan karena siang malam sering bersamanya."Ibu berangkat," kata Ibu setelah kami menyalami beliau."Hati-hati di jalan, Bu," sahut Mas Anto.Ibu mengangguk, mengusap kembali kepala botak Rayhan."Nenek ke kampung dulu, ya, Rayhan. Jadi anak yang baik ya, tidak boleh begadang malam."Rasanya ingin menangis melihat wajah Ibu yang tak rela berpisah dengan Rayhan.Kami menatap travel yang telah membawa I
"Mar, aku mau makan, satu pun tak ada piring bersih.""Iya, belum dicuci," sahutnya, dia muncul dari arah dapur, dengan daster bergelimang tepung. Ya, ampun, apa di rumah ini tidak ada lap tangan? Sampai-sampai dia menjadikan dasternya sebagai lap?Aku mendecakkan lidah, dua Minggu kerja di luar kota, pas pulang, mendapatkan kejutan, rumah seperti kapal pecah, panci sudah berada di ruang tamu, kain berserakan di sana sini, dan ... Aku langsung mual. Saat kulihat, westafel dengan piring kotor, dikerumuni binatang menjijikkan. Belatung."Huweeek."Aku berlari ke kamar mandi, perut kosong, tapi masih memuntahkan air."Mas, kamu kenapa? Sakit?" tanya dia tak bersalah. Aku memandangnya kesal."Itu, piring sudah berapa lama tak dicuci?""Hehehe." Dia tersenyum bodoh, memuakkan. "Kerannya rusak.""Kan, bisa diangkat ke kamar mandi, bisa cuci di sana. Ya ampun." Aku berlalu, berusaha menahan mataku agar tak melihat ke westafel.Entah apa saja kerjanya di rumah, kami masih terhitung sebagai pe
"Mar, nanti sore ibu datang," kataku pada Marni. Dia terlihat kelelahan, padahal tugasnya hanya mencuci piring. Aku baru saja beristirahat setelah tiga jam membersihkan rumah tanpa henti. Banyak benda ajaib yang kutemukan, salah satunya celana dalam bekas pakai milik istriku yang bernama Marni. Rasanya ingin marah, tapi aku ingat nasehat ayah, sabar.Marni panik. Dia memang agak takut dengan ibuku, ibuku bukan pemarah, tapi tegas. Dia akan mengatakan sesuatu sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. Satu lagi, ibuku memiliki kebiasaan yang bertentangan dengan Marni, ibu pecinta kebersihan, untung saja kami tinggal terpisah, kalau tidak, entah apa yang terjadi."Ibu? Wah, kita masak apa?" Dia langsung bangkit. Sedikit panik, terlihat dari gesture tubuhnya yang meremas jarinya satu sama lain."Sebelum masak, kamu mandi dulu, aku tak mau kamu pakai baju yang ini lagi, rambut kamu yang panjang, kalau cuma bikin ribet, dipotong saja, dari pada digulung-gulung begitu." Aku berharap, tak ad
"Apa itu tadi? Rambut di dalam sop." Aku mengusap wajah kasar. Mungkin aku bisa memahami Marni, tapi ibu, ibu bukan orang yang pemaaf. Dia bisa jera, bahkan takkan lagi memakan masakan Marni seumur hidup."Maaf, aku ... Aku ... Aku hanya menggunakan panci yang ada di bawah kolong ... Itu ... Itu ...." Marni tergagap, dia hampir menangis."Kau sudah memastikan benda itu bersih?""Dulu, dulu sudah dicuci, pasti bersih.""Dulu? Kapan? Jadi kau gunakan panci yang sudah lama tidak dipakai tanpa mencucinya, aku tak tau kau seceroboh itu, Marni.""Maaf," katanya menangis."Kau selalu mengatakan maaf, tapi tak pernah berubah. Haruskah semua pekerjaan itu diarahkan dulu? Apa kau tak punya inisiatif? Keran yang rusak, bukankah kau punya kaki dan punya uang untuk mencari tukang service, kenapa menungguku yang jelas-jelas tak di rumah? Apalagi yang kurang, Marni. Aku tak menuntutmu bekerja, aku memberikan uang yang cukup, apakah aku juga yang harus mengarahkan ke mana uang itu harus digunakan? Bu
Pov MarniAku Marni, kakak dengen enam orang adik. Adikku tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ayah telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, saat dia tak mampu bertahan karena penyakit paru-parunya. Sedangkan ibu, menyusul lima tahun kemudian. Setelah kematian ayah, ibu seperti kehilangan semangat, mereka tak pernah berpisah, ke ladang sama ke ladang, di rumah pun seperti teman akrab.Ibu yang awalnya sehat, mulai sakit-sakitan, badannya kurus dan susah makan. Hingga beberapa tahun kemudian ibu menyusul ayah.Tak ada yang istimewa denganku, hari-hari kuhabiskan di rumah, berkutat dengan dapur, aku terbiasa memasak dalam porsi yang banyak, karena banyak mulut yang akan makan di rumah kami. Kami punya ladang sawit, lumayan luas, hingga saat ayah ibu tiada pun, kami tak perlu memikirkan uang bulanan. Akan ada orang yang mengantar ke rumah uang hasil panen sawit kami.Sejak kecil, ibu dan ayah tak pernah mengarahkan apa pun, semua terjadi secara alami. Beliau pergi pagi pulang petang. Yang
Pov Marni***Mas Anto telah pergi dua jam yang lalu, meninggalkan aku sendiri yang mulai merasa mengantuk. Bagiku, tempat tidur adalah tempat paling nyaman, bahkan jika diajak untuk jalan-jalan, aku lebih memilih tidur seharian.Sebelum pergi, Mas Anto menyetrika bajunya sendiri, dia tak mempercayakan pekerjaan itu padaku. Bahkan setelah aku mencuci bajunya, dia mengulang lagi mencucinya.Mas Anto yang aneh. Walau bagaimana pun dia adalah suamiku. Aku menutup pintu dengan semangat, lalu masuk ke dalam kamar, apa lagi kalau bukan kegiatan yang paling menyenangkan. Tidur.***Tiga hari sudah Mas Anto pergi, kami tak pernah saling telpon, karena lokasi penambangan minyak bumi dan gas Mas Anto tak memiliki sinyal. Aku tak masalah, asalkan dia pulang dua kali sebulan.Tiba-tiba pintu diketuk, seiring dengan berhentinya deru mobil.Kusibakkan gorden jendela. Mataku membulat sempurna. Ibu mertua. Kenapa beliau datang?Biasanya beliau datang jika Mas Anto pulang.Ibu mertuaku sudah sampai d
Pov MarniKukira, ibu mertua akan datang di hari itu saja, nyatanya tidak. Ia datang lagi ke esokan harinya. Padahal aku berharap, dia tidak usah terlalu sering ke rumah, aku takut padanya.Aku menyiapkan hati dan telinga. Ibu mertua yang suka bicara apa adanya, walaupun ucapannya keluar menyakitkan. Aku tak biasa diperlakukan kasar. Bagiku, kesopanan berbicara adalah nomor satu.Aku ingin, setelah ibu tiada, jika mendapatkan mertua, bisa dijadikan sebagai ibu layaknya ibu kandung. Akan tetapi, ibu Mas Anto dan ibuku bagaikan bumi dan langit.Ibuku selalu tersenyum, suaranya pelan dan ramah, dia tak pernah mencaci atau pun memaki, dia selalu bertutur kata sopan dan santun. Bagaimana caranya aku bisa menganggap ibu Mas Anto bagaikan ibuku sendiri? Saat ini, bahkan ketika baru saja aku membukakan pintu rumah, wajah sinisnya kembali menyapa."Kau sudah menyapu rumah?" tanya dia tanpa basa-basi."Sudah, Bu.""Tapi tidak bersih, pasir masih terasa di telapak kakiku. Apa kau sudah memegang
Pov AntoMeninggalkan Marni untuk sesaat, mungkin adalah pilihan yang tepat bagiku. Kejengkelan yang kurasakan karena Marni tak bisa mengerti dengan apa yang kusampaikan, jangan sampai menjadi amarah yang akan semakin menyakitinya.Aku tak tau, pernikahan apa yang tengah kami jalani, seharusnya di usia pernikahan kami, setidaknya kami telah mendapatkan kejutan, contoh punya anak misalnya. Bukankah kesempurnaan seorang laki-laki adalah melihat seorang anak yang mewarisi darahnya? Meneruskan nasabnya?Aku memang tak mencintai Marni, tapi berhubungan badan tak butuh cinta, perasaan naluriah itu adalah sebuah kebutuhan. Akan tetapi, seorang Marni berhasil mematahkan selera dan semangatku dengan badannya yang bau.Mobil sampai di pekarangan rumah ibu. Wanita yang berstatus ibuku itu, masih cantik bahkan di usianya yang hampir mendekati angka enam puluh lima. Dia tengah menggunting bunga, merapikan tanaman kesayangannya itu agar enak dipandang mata."Anto, ayo masuk! Ayah ada di dalam.""Ba