POV MarniAhmad, tak menyangka bisa bertemu dengannya setelah bertahun lamanya tak berjumpa. Kami satu kampung, satu sekolah juga, akan tetapi karena otaknya yang cerdas, dia melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.Dia berbeda dengan Ahmad yang kukenal dulu, dulu kulitnya hitam dan tubuhnya kurus, dia juga pendek. Hanya saja dia memang selalu juara satu. Karena kecerdasannya itu dulu, aku mengaguminya. Rasa kagum gadis kecil yang baru mengenal lawan jenis dengan arti yang berbeda. Bukan perasaan serius layaknya wanita dewasa."Jadi namanya Ahmad?"Kukira Mas Anto sudah lupa. Karena sepanjang perjalanan ke rumah dia diam seribu bahasa. Dia malah meninggalkanmu di belakang dan berjalan lebih dulu. Akan tetapi tampaknya dia ingin membahas ini lagi."Iya," sahutku santai. Kami tengah berada di ruang tamu. Kuberikan dia segelas air putih dingin."Dia tinggal di mana?""Sekampung sama kami.""Oh, jadi dia merantau ke Jakarta?""Dulu dia kuliah di Jakarta, mungkin dapat pekerjaan di sana
Pov MarniAku merasa pandanganku berputar, berulangkali kuusap mataku agar pandangan kembali jernih, tapi gagal. Bahkan wanita yang berada tak jauh dariku malah berubah menjadi dua.Kucoba berjalan walaupun sempoyongan, seakan tengah berjalan di atas sampan yang tengah berlayar di ombak pasang, hasilnya malah semakin pusing. Tak sengaja kumenabrak seseorang yang berpapasan denganku secara kebetulan, minuman yang berada di tangannya tumpah ke bajuku dan bajunya. Baju kami berubah bewarna cokelat. Dia menatapku nyalang, walaupun dia juga berubah jadi dua, aku tetap bisa melihat matanya yang membulat sempurna karena marah."Punya mata nggak sih?" umpatnya sangat kesal. Aku mencoba memfokuskan pandanganku yang kian kabur. Dia menghapus bajunya dengan sapu tangan, hasilnya noda itu kian melebar."Maaf," kataku, aku tak menunggu balasannya, aku harus mencari tempat untuk bisa duduk dan menenangkan diri atau mencari sesuatu untuk berpegangan, rasanya amat mual, seperti mabuk kendaraan yang
POV MarniAku membuka mata perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar bewarna putih, kemudian dinding kamar bewarna biru muda.Baru beberapa detik membuka mata, rasa sakit yang amat sangat menyerang kepalaku. Seperti tengah dipukul dengan benda keras. Aku bahkan belum sempat melihat lebih banyak tempat asing ini, karena rasa sakit, kupejamkan mataku sambil memijit kepalaku pelan."Nona sudah sadar?"Aku kaget, saat menyadari ternyata aku tak sendiri. Seorang wanita baya dengan rambut ditaburi uban, berdiri di sudut kamar yang asing bagiku, dan wanita itu juga asing. Dia memegang segelas air di tangan kirinya."Di mana saya?" tanyaku."Di rumah Tuan Bagus." "Tuan bagus?""Iya Tuan bagus pemilik rumah ini, maaf Nona, kata Mas Doni, kalau Nona sadar, Nona harus meminum ini, obat penghilang rasa sakit."Wanita itu meletakkan satu buah obat dan segelas air putih di atas meja kecil yang ada di sampingku. Padahal aku masih ingin bertanya banyak padanya."Saya permisi." Wa
"Duduk di sini, Marni!" Doni menyambutku amat ramah, sedangkan penghuni meja makan yang lain menatapku datar. Sempat menoleh sebentar, mereka kembali mengoleskan selai ke roti tawar mereka masing-masing.Ada empat orang di sana, wanita yang sudah berumur tapi masih cantik yang wajahnya mirip Mas Doni, yang kuyakini adalah ibunya. Sedangkan pria berkumis yang duduk di kursi paling ujung kemungkinan ayah Mas Doni, dan gadis berambut pirang yang terkesan acuh tapi mirip Mas Doni itu, kemungkinan saudaranya.Aku melangkah ragu, duduk di kursi kosong di sebelah Mas Doni."Jadi namamu, Marni?" Suara wanita berumur itu memecah kesunyian."Iya, Bu," sahutku canggung. Mas Doni menyerahkan roti tawar beserta sekaleng selai coklat. Sarapan orang kaya yang tak cocok di lidahku. Setiap pagi, aku terbiasa makan nasi, bukan makan roti."Bukannya kau ke pesta dengan suamimu? Bagaimana bisa kau pulang dengan anakku? Bahkan dalam keadaan mabuk."Senyumku surut, bertepatan dengan seluruh mata yang meman
POV AntoSabar ... Mungkin memiliki batas. Aku telah bersabar atas semua takdir yang menimpaku, menerima Marni menjadi istriku dan memberikan nafkah selayaknya suami pada istrinya. Aku juga telah berusaha mendidiknya semampuku, memikirkan kemajuan untuknya agar dia terlihat sama seperti orang kebanyakan. Agar dia tak terlihat aneh, agar dia terlihat terhormat. Agar dia bisa hidup normal dan tak diolok-olok orang lain.Sekeras apa pun kuberusaha, terkadang Marni kembali pada dirinya sendiri. Contohnya tadi malam. Bagiku apa yang dilakukan Marni sangat fatal, tak pernah aku merasa sangat malu melebihi rasa malu dengan perbuatan Marni kali ini.Dia bahkan mabuk di awal pesta, menumpahkan makanan yang tertata sehingga berserakan di rumput taman. Yang lebih memalukan lagi, dia mengotori baju anak pemilik pesta yang malam itu telah berdandan sangat cantik. Diakhiri dengan muntah di sembarang tempat. Selain membuat onar, dia juga menjadi tontonan gratis yang kelakuannya diabadikan beberapa t
POV Anto "Apa?" Ini sebuah informasi besar, anak Pak Gunawan adalah mantannya Dodi, aku tak tau dia sebegitu mempesona bagi perempuan, pantas saja anak gadis Pak Gunawan tadi malam tak lagi berkutik."Sayangnya, kami hanya berhasil menjalani hubungan selama satu bulan, seperti yang pernah kukatakan pada Abang, aku bosan dengan selera orang kebanyakan." Doni melirikku dengan pandangan yang sulit kuartikan."Aku tak percaya kau menyukai Marni.""Dan aku lebih tak percaya lagi, saat Abang membiarkannya tanpa berniat menolong.""Kekacauan itu karena dirinya.""Bukan, tapi karena Abang. Abang yang paling bertanggung jawab karena membawanya.""Don, kau tak mengerti.""Aku mengerti, kalau pun yang sial tadi malam itu bukanlah Marni, aku tetap akan menolongnya. Aku hanya berpikir sederhana, manusia berhak diperlakukan sama, walaupun dia hanya wanita yang aneh, tapi dia juga punya hati dan perasaan. Yang kutahu, sepanjang perjalanan dari rumahku ke rumahmu, dia menangis. Dia terluka dan kecew
POV AntoSebelum berangkat ke kampung Marni, kubeli Paracetamol dan vitamin di toko obat terlebih dahulu. Kerena di sana akses untuk ke dokter dan puskesmas cukup jauh. Aku lebih memilih cara instan dari pada membawanya ke rumah sakit.Kadang heran dengan diriku yang ini, bukankah aku sudah bertekad tak usah saja pedulikan Marni, akan tetapi ada kecemasan saat mengetahui wanita pembuat kekacauan itu tak baik-baik saja.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, sebisa mungkin sebelum Maghrib aku sudah sampai di sana.Perhitungan waktu yang amat tepat, tepat saat azan Maghrib berkumandang dari Mushala yang dekat dengan rumah Marni, aku sampai di halaman rumah yang memiliki cat bewarna cokelat itu.Kulihat adik Marni yang laki-laki sedang bekerja membelah kelapa di pekarangan, airnya ditampung di sebuah wadah."Bang Anto," sapanya hormat, aku tak ingat siapa nama adik Marni yang ini, kalau tak salah dia adik ke empat Marni."Apa kabar?""Saya baik, ayo, masuk, Bang!" katanya ramah. Leni
Sebenarnya aku belum makan dari tadi siang, akan tetapi di rumah Marni, aku tak bisa makan sembarangan. Jika Marni yang memasak, baru bisa kupercaya, jika Leni dan yang lain, belum.Rumah ini masih dalam kategori berantakan walaupun tidak separah sewaktu aku berkunjung dulu. Bahkan di kamar mandi tadi, kulihat sampah bekas bungkus sampo dibiarkan tergeletak begitu saja di atas lantai. Bermalam di rumah Marni, juga menjadi trauma tersendiri.Mataku menangkap sekeranjang buah beraneka jenis dan masih utuh di atas meja. Timbul rasa ingin tau, siapa yang membawanya? Karena kutahu betul, bahwa kemasan seperti itu hanya ada di toko buah modren."Ada yang datang sebelum aku ke sini?" tanyaku pada Leni, adik Marni itu tengah duduk lesehan di samping adik laki-lakinya yang mengerjakan PR."Iya, ada.""Siapa?" Aku sangat penasaran. "Bang Ahmad, teman Kak Marni dulu."Kurasakan rasa tak nyaman di hatiku. Ahmad, aku ingat betul siapa dia. Walaupun sekali berjumpa, aku tak melupakan anak itu sedi