Share

Namaku Marni

Penulis: Gleoriud
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-04 09:58:31

Pov Marni

Aku Marni, kakak dengen enam orang adik. Adikku tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ayah telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, saat dia tak mampu bertahan karena penyakit paru-parunya. Sedangkan ibu, menyusul lima tahun kemudian. Setelah kematian ayah, ibu seperti kehilangan semangat, mereka tak pernah berpisah, ke ladang sama ke ladang, di rumah pun seperti teman akrab.

Ibu yang awalnya sehat, mulai sakit-sakitan, badannya kurus dan susah makan. Hingga beberapa tahun kemudian ibu menyusul ayah.

Tak ada yang istimewa denganku, hari-hari kuhabiskan di rumah, berkutat dengan dapur, aku terbiasa memasak dalam porsi yang banyak, karena banyak mulut yang akan makan di rumah kami.

Kami punya ladang sawit, lumayan luas, hingga saat ayah ibu tiada pun, kami tak perlu memikirkan uang bulanan. Akan ada orang yang mengantar ke rumah uang hasil panen sawit kami.

Sejak kecil, ibu dan ayah tak pernah mengarahkan apa pun, semua terjadi secara alami. Beliau pergi pagi pulang petang. Yang jelas, kami diberi tanggung jawab masing-masing dan tak diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan yang bukan tanggung jawab kami.

Kami bahagia, walau pun banyak tetangga yang enggan ke rumah kami, atau saat kami menjadi gunjingan karena rumah yang berantakan. Kami biasa dijauhi orang, kami juga biasa melihat saat orang-orang menghindar ketika ibu membawa kami menghadiri pesta.

Kata ibu, jangan terlalu mendengarkan ucapan orang, yang penting kalian kakak beradik saling menyayangi. Jangan menyakiti satu sama lain, karena bagaimana pun, hanya saudara yang bisa diandalkan untuk masa depan.

Kami hampir tak pernah bertengkar, kami bertanggung jawab dengan tugas kami sendiri. Tanggung jawabku, memastikan ada nasi dan ada lauk untuk dimakan.

Ayah dan ibu lembut, tak pemarah, tak pernah memukul atau menghukum anaknya. Mungkin karena beliau merasa, kesempatan bersama anak-anaknya tidak lama, buktinya mereka meninggal di usia yang masih muda. Sebuah takdir yang tak terbayangkan sama sekali.

Umurku dua puluh enam tahun, tak punya teman, jarang keluar rumah. Bahan-bahan yang akan dimasak, akan diantar oleh langganan ibu dulu. Aku tak pernah ke pasar, bahkan dulu yang membelikan pakaian dalam kami adalah Ayah saat beliau ke pasar membeli beras berkarung-karung.

Katakan aku bodoh, iya. Aku terbiasa dikurung di rumah yang berukuran tiga belas kali dua puluh meter, temanku hanya adik-adikku. Kami akur dalam semua hal, sama kebiasaan dan sama selera.

Saat ibu pergi, saya itulah kami sangat terpukul. Bahkan adikku yang paling kecil, Usman, masih berumur sepuluh tahun. Dia sangat manja pada ibu, bahkan setiap malam menangis sambil memeluk baju ibu yang telah tiada. Dua bulan pertama kepergian ibu, adalah saat-saat yang sangat berat, kami saling memeluk untuk menguatkan. Berjanji akan selalu bersama di masa depan.

Ibu berpesan padaku, kehidupan tiada yang tahu. Saat ini kaya, besok bisa jadi miskin. Jika punya uang, bukan berarti harus berfoya-foya. Tetaplah menjadi dirimu seperti saat sebelum punya uang, karena bisa jadi, saat jatuh miskin, belum tentu ada orang yang akan meminjamkan beras.

Hidup kami sederhana, tidak kaya dan tidak miskin. Ibu dan Ayah mewariskan ladang sawit yang cukup luas. Namun, setelah Ibu dan Ayah tiada, hasilnya dibagi dengan pengelola. Sehingga uang yang sampai ke tangan kami, hanya cukup untuk biaya adik beradik, tak bisa lagi untuk ditabung. Leni lah yang memegang uang setelah aku menikah.

Ibu benar, takdir tak ada yang tau, termasuk menikahnya aku dengen anak Haji Mahmud, Mas Anto.

Aku hanya mengenal Mas Anto sekilas, saat masih kecil-kecil dulu. Haji Mahmud adalah toke sawit yang kaya, dia sering membeli hasil kebun Ayah, kadang-kadang kumelihat Mas Anto ikut mengantar ayahnya.

Sudah lama sekali, saat kami masih kecil-kecil.

Ah! Mas Anto, membayangkan dirinya aku tersipu. Terkadang masih bermimpi bisa menikah dengan orang yang selama ini menjadi idaman orang tua para gadis.

Dia laki-laki yang tampan, kulitnya bersih, pembawaannya tenang, yang paling mempesona adalah hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Tak ada kurangnya Mas Anto. Setiap berpapasan denganku, aku selalu menghirup wanginya yang berceceran.

Terkadang masih bermimpi, bisa menikah dengan Mas Anto, walaupun sampai saat ini, dia belum menunjukkan gelagat tertarik padaku. Mungkin benar ucapan Mas Anto, aku tak menarik, tak pantas mendapatkan laki-laki sepertinya

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Super Jorok   Akhir yang Indah

    POV MarniTepat setelah empat puluh hari, Ibu Mas Anto pamit ingin pulang. Dia tak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Padahal Mas Anto berharap, sang Ibu bisa tinggal bersama kami. Walaupun kami sering berseberangan pemikiran dengan Ibu, namun pada hakikatnya kami saling menyayangi."Ingat pesan-pesan Ibu, ya, Marni. Walaupun telah empat puluh hari, jangan sesekali meringan-ringankan badan. Jangan mengangkat beban berat.""Ya, Bu," sahutku. Travel yang akan mengantar Ibu ke bandara telah sampai di depan rumah kami.Ibu mencium Rayhan berkali-kali. Dia terlihat berat berpisah dengan Rayhan karena siang malam sering bersamanya."Ibu berangkat," kata Ibu setelah kami menyalami beliau."Hati-hati di jalan, Bu," sahut Mas Anto.Ibu mengangguk, mengusap kembali kepala botak Rayhan."Nenek ke kampung dulu, ya, Rayhan. Jadi anak yang baik ya, tidak boleh begadang malam."Rasanya ingin menangis melihat wajah Ibu yang tak rela berpisah dengan Rayhan.Kami menatap travel yang telah membawa I

  • Istri Super Jorok   Mertua Sempurna

    POV Anto "Dia menangis terus," kataku pada Marni yang juga kehilangan akal mendiamkan Rayhan. Seperti biasa, Rayhan akan menghabiskan waktunya di siang hari untuk tidur, dan malamnya untuk begadang."Dia tidak mau menyusu," sahut Marni tak kalah panik.Keributan di kamar kami, memancing Ibu untuk bangun. Ibu masuk ke kamar yang memang sedikit terbuka."Ada apa?""Dia menangis terus," keluh Marni.Ibu mengambilnya, Rayhan terus saja menendang-nendang sehingga bedongnya terlepas."Kenapa tak dipakai kaus kakinya? AC kalian terlalu dingin, dia terbiasa di tempat hangat, jangan samakan bayi yang baru lahir dengan kita. Ini saja kalian tak faham."Ibu menggendong Rayhan, berjalan menuju box bayi yang terletak di samping ranjang. Marni belum pulih betul, ASI tersumbat sudah mulai keluar walaupun saat ini payudaranya masih bengkak."Popoknya juga basa," keluh Ibu. Dengan cekatan Ibu mengganti popok, memakaikan kaus kaki dan bedong baru. Tak lama setelah itu,bRayhan mulai tenang."Matikan AC

  • Istri Super Jorok   Ibu Baru

    POV MarniTernyata, menjadi Ibu tidaklah mudah. Hamil yang melelahkan, melahirkan yang menyakitkan, ternyata tak hanya sampai di sana.Selain harus buang air dengan cara berdiri karena bekas jahitan yang masih basah, aku juga serasa mau menangis setiap menyusui Rayhan anak kami. Setiap dia menghisap, aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku, sakit yang hampir mirip dengan kontraksi melahirkan. Setelah itu, darah berbingkah akan keluar setiap kali sakit itu mereda. "Itu biasa, semakin sakit, semakin cepat rahimmu menyusut," kata Ibu dengan petuah seperti biasa. Aku hanya meringis, selain perut yang amat sakit, aku juga merasakan nyeri luar biasa di puting payudaraku. Belum lagi perih di bagian jalan lahir, setiap aku bergerak sedikit, rasanya luar biasa."Berarti kau pemalas membersihkannya saat hamil, harusnya saat hamil, puting itu dibersihkan setiap habis mandi dengan minyak zaitun, dipencet agar yang menyumbat pintu ASI-nya keluar."Aku diam saja, mungkin maksud ibu baik,

  • Istri Super Jorok   Melawan Rasa Jijik

    Pov AntoTak mudah ternyata menjadi Ayah. Di tengah rasa yang membuncah Karena kedatangan anggota baru, aku harus menguji nyaliku melawan rasa jijik.Setelah anak kami di mandikan dan diazankan, perawat berpesan padaku untuk membawa kain kotor bergelimang darah milik Marni. Belum lagi ari-ari yang harus dibersihkan sebelum di kubur. Aku berulang kali menelepon teman kantorku, menanyakan bagaimana cara memperlakukan benda yang sebelumnya ada di rahim Marni itu.Berulang kali juga aku menahan mual. Ya Tuhan, aku tak terbiasa dengan sesuatu yang aneh dan menjijikkan. Anggap saja aku norak, akan tetapi semua ini harus dilakukan, bukan? Hanya ada kami berdua di sini, siapa yang akan kuharapkan. Akhirnya, benda kenyal yang selebar piring dan berbentuk aneh itu, selesai kubersihkan.Bunyi HP-ku terdengar dari dalam kamar. Ari-ari itu sudah bersih dan sudah kubungkus dengan kain dan di masukkan ke dalam periuk yang terbuat dari tanah liat. Ya, perjuangan melelahkan itu berakhir juga, tinggal

  • Istri Super Jorok   Mbak Lastri

    Alangkah lucunya baju-baju kecil ini, aku tersenyum, membayangkan akan punya bayi sendiri itu, sangat membahagiakan.Sesaat kurasakan perutku agak mulas, hanya sebentar. Tak sampai dua menit. Setelah kurasa agak reda, aku kembali mengusap baju bayi yang dipilihkan Mas Anto. Kata Dokter, anak kami laki-laki, hal itu membuat Mas Anto amat senang. Kebanyakan warna pakaian yang dibelikan Mas Anto bewarna biru.Bagiku, laki-laki dan perempuan sama saja. Yang penting sehat jasmani dan rohani.Setelah puas memperhatikan baju-baju lucu itu, aku berencana ingin merapikan kembali rak-rak yang berisi pot bunga, menata mereka dengan cantik.Satu jam setelah itu, aku kembali merasakan perutku mulas, lebih lama dan lebih sakit dari sebelumnya. Kupegang tiang rumah untuk mencari kekuatan, apakah ini tanda akan melahirkan? Tapi kata dokter masih tiga Minggu lagi.Mungkin karena terlalu banyak bergerak, seperti pesan Mas Anto, aku tak boleh melakukan hal berat. Baiklah, mungkin dengan tidur siang akan

  • Istri Super Jorok   Ciuman Kecil

    POV MarniSeiring berjalannya waktu, kandunganku sudah genap memasuki usia sembilan bulan. Tak ada kendala berarti selama kehamilan, bahkan Mas Anto memujiku cantik. Ah, sejak kami mengungkapkan perasaan saling mencintai, aku dan Mas Anto lebih terbuka dari sebelumnya. Kami tak lagi canggung untuk menunjukkan kemesraan kami. Seperti pujian Mas Anto yang membuat hatiku berbunga-bunga.Kami baru saja selesai jalan pagi. Sebuah kegiatan rutin yang kami lakukan setiap hari. Dimulai setelah salat subuh, kami mengitari area kompleks lalu kembali ke rumah."Kakiku pegal," kataku sambil menaikkan kedua kakiku berselonjor di atas sofa. Tanpa diminta, Mas Anto dengan cekatan memijitnya. Rasanya nyaman sekali. Kebiasaan memijit ini juga dilakukannya tiap hari setiap kami selesai jalan pagi."Semalam, aku mendengar suara gaduh di sebelah. Padahal sudah tengah malam. Lama-lama, terganggu juga punya tetangga yang selalu ribut dengan suaminya.""Iya, mereka dari dulu memang begitu. Tapi, orang di se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status