Share

Bab 3

"Ooh, heheheee. Mungkin kalian kecapekan ...." Sarah terkekeh pelan.

Nay juga hanya tertawa kecil mendengar ucapan mertuanya. Zack dan Mikael menertawakan kakaknya kembali.

"Ekheem!" deham Tasya sengaja dikeraskan, "aku ke kamar dulu, mau mandi. Di sini gerah!" sindir wanita itu sambil mendengkus. Lalu ia pun beranjak pergi dengan langkah lebar.

Digoda seperti itu, hati wanita itu merasa begitu panas. Apalagi setelah muncul Ardian di hadapannya, perut yang tadi terasa cukup lapar, automatis kenyang hanya dengan sepotong roti isi. Padahal biasanya wanita itu melahap minimal dua potong untuknya sendiri.

Ardian hanya bisa diam menatap punggung sang istri yang berlalu dengan wajah masam. Ia tahu hal itu karena ketidaksukaan akan keberadaan dirinya di rumah mereka.

"Kamu yang sabar aja ya dengan sikap Tasya, Ar ...," ucap Nay dengan raut yang prihatin. Dia sangat paham bagaimana sikap Tasya sejak kecil terhadap Ardian.

"In syaa Allah, Bu," jawab Ardian sembari mengangguk.

"Makan ... makan!" ajak Sarah mengalihkan bahasan.

Pria manis itu pun tersenyum tipis, lantas meraih potongan sandwich di hadapannya dan memulai ritual sarapan.

***

Hanya tiga hari Ardian libur. Selanjutnya ia mesti kembali bekerja. Ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan pekerjaan yang tengah menumpuk. Pria itu memang hanya seorang asisten dari CEO yang dijabat oleh Natasya sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya, justru tugas dan tanggungjawab CEO itu lebih sering dijalankan oleh dirinya sendiri daripada Tasya.

Sebulan pun berlalu dan selama satu bulanan ini, ia menjalani rutinitas seperti biasa. Tidak ada perubahan apa pun kecuali hanya pindah tempat tinggal saja. Bukan, bukan tempat tinggal tepatnya. Akan tetapi, pindah tempat menginap.

Ya, bagaimana tidak? Ia mesti pagi-pagi sekali berangkat kerja agar tidak terjebak macet. Bahkan apabila ada kegiatan rapat di pagi hari, maka ia tidak sempat sarapan di rumah. Pulang kerja dan sampai di rumah ketika hari sudah cukup malam sekitar pukul sembilan atau sepuluh. Setiap hari begitu.

Apa hendak dikata, kehidupan rumah tangga yang selayaknya diidam-idamkan banyak orang, ternyata tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Sama sekali jauh berbeda dengan kondisi kehidupan pernikahan pada umumnya.

Tidak ada kehangatan seorang istri yang mampu membuat ia merasa rindu untuk segera pulang. Tidak ada sambutan hangat dan mesra dari kekasih hati ketika langkahnya sampai di rumah. Bahkan sekarang, Ardian malah dengan sengaja memperlambat jalan menuju ke rumah, walaupun pekerjaan di kantor sudah selesai. Biar tidak cepat sampai.

"Huuuuft ...!" Ardian mengembuskan napas bosan di dalam perjalanannya menuju pulang. Kalau saja boleh memilih, lebih baik menjadi single seperti beberapa tahun belakangan ini dibandingkan punya istri, tetapi merasa single.

Sesampainya di halaman rumah, sang pria segera turun dari mobil masuk ke dalam rumah dan menuju ke arah kamarnya.

Ceklek!

Pintu pintu kamar pun terbuka. Tasya tampak masih terjaga dengan sebuah novel berada di telapak tangannya. Seperti biasa, tidak ada sambutan atas kedatangan sang suami dari kantor. Hanya lirikan singkat karena mendengar derit engsel pintu yang terbuka dan tertutup.

Setelah meletakkan tasnya di atas sebuah meja, Ardian membuka baju di hadapan wanita itu. Ia tidak peduli dengan reaksi Tasya yang seolah cuek, tetapi terkadang masih mencuri-curi pandang itu.

Tidak ada lagi omelan dari mulut wanita cantik tersebut. Mungkin dia sudah bosan, sebab Ardian tidak pernah mempedulikan ungkapan protesnya.

Ardian lalu masuk ke dalam kamar mandi tanpa menyapa ataupun melempar selarik senyum pun kepada sang istri. Tak lama kemudian, setelah selesai membersihkan diri, pria itu keluar dengan mengenakan sehelai handuk yang melingkar di bawah pusarnya.

Tasya hanya bisa menelan ludah dengan pemandangan di hadapannya itu. Meski tidak suka dengan sang suami, wanita itu tidak bisa memungkiri kalau Ardian memiliki tubuh yang bagus. Otot-otot dada dan perutnya tercetak dengan begitu indah. Menarik mata wanita mana saja untuk melihatnya.

"Mmm ... aku mau kita pindah aja ke apartemen kamu di kota," ujar Natasya ketika Ardian membuka almari dan mengambil celana boxer yang terlipat di sana.

Tubuh yang masih sedikit basah itu sebenarnya sungguh menggoda mata Tasya. Akan tetapi, ia pura-pura tak ambil peduli.

Alis tebal milik Ardian bertaut kencang, lantas ia menoleh ke arah wanita yang kini sudah sah berstatus sebagai istrinya itu. "Hmm? Pindah ke apartemenku?"

"Iya, pindah ke apartemen kamu." Tasya mengulang omongannya.

"Kenapa kok, tiba-tiba aja kamu mau pindah ke kota?" tanya Ardian heran sambil mengenakan celana boxernya.

Natasya menghela napas. "Sebenarnya aku udah lama mau pindah ke kota. Hanya saja Daddy dan Ibu nggak ngebolehin. Kata mereka rumah ini gede, kamarnya cukup. Daddy juga bilang, nggak bakal ngebiarin anak gadisnya tinggal sendirian. Ck! Padahal kan, aku bukan anak kecil lagi," jelasnya panjang lebar.

"Yakin kamu mau tinggal di apartemen aku? Itu kan, bekaas ...."

"Iya aku tahu. Aku nggak masalah kok," potong Tasya cepat.

Ardian mencebikkan bibirnya. Ia berpikir apa iya, Tasya bisa tinggal di apartemen kecil miliknya? Secara wanita itu sudah terbiasa apa-apa dilayani di rumah besar itu.

"Gimana? Nggak masalah, 'kan?" desak Natasya tidak sabar dengan keputusan Ardian.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status