Lius tiba di negaranya, ia begitu tak sabar ingin menemui Lea yang sudah sangat di rindukannya itu. Ia tak perduli dengan semua yang dilakukan oleh kakaknya, ia tak ingin memperdulikan juga tentang keluarganya.
Tujuannya saat ini hanya, Lea.
“Antar aku ke jalan Mahligai no XII A, komplek Putih.”
Begitu tak sabarnya Lius ingin bertemu dengan Lea, agaknya ia juga melupakan alasan keduanya berpisah atau memang sengaja tak menghiraukannya.
Perjalanan dua jam dari bandara, kini Lius tiba di depan rumah milik kakaknya. Rumah yang penuh dengan penjagaan, bahkan di luar pagar rumah sekalipun.
“Cari siapa?”
“Aku adik pemilik rumah ini, biarkan aku masuk.”
Tak semudah itu ternyata, sama sekali tak seperti dugaannya awal. Lius kesulitan masuk karena penjagaan terlalu ketat.
“Berapa lama lagi aku harus menunggu, aku juga keluarganya kalian bisa tanyakan itu saat masuk bersamaku.” Amuknya.
Suasana begitu panas, tak ada satupun dari, Lio, maupun ,Lius, yang mau menurunkan tatapan mata. Lea yang menyadari situasi segera berlindung di belakang punggung sang suami, ia tak ingin lagi terlibat apapun dengan mantan suaminya itu.“Jadi dia, bayi haram kalian?”Semua orang terkejut mendengar apa yang baru saja di lontarkan, Lius, barusan. Terutama, Wilson, yang baru pertama kali bertemu dengan mantan menantunya itu.“Mulutmu begitu busuk anak muda.”“Sus, tolong bawa ke kamar.”Lea tak ingin putranya mendengar hal buruk dari mulut ayah kandungnya, terutama jika kata-kata itu di tujukan untuk dirinya. Sudah cukup bagi putranya menderita selama ini bahkan sebelum ia melihat dunia.Wilson tak terima, ia begitu marah namun masih menahan diri untuk tak begitu terbawa emosinya. Bagaimana pun, Lius, masih bagian dari keluarga Dharmendra. Ia tak ingin dipandanga buruk oleh besan juga menantunya.Rania
Lea yang begitu sakit hati segera mengunci diri di dalam kamar bersama putranya, tak satupun yang diijinkannya masuk termasuk ayah juga kakaknya.Hatinya masih begitu sakit, terutama saat dengan lantang mantan suaminya itu mengatai anak kandungnya sendiri dengan sebutan anak haram.Sebagai ibu ia merasa tak rela juga sakit, tak ada yang boleh menghina putranya siapapun itu bahkan termasuk dirinya sendiri.“Maafkan, Ibu.” Tangisnya.Ia yang lelah menangis pada akhirnya tertidur bersama sang putra. Saling berpelukan, penuh kehangatan juga rasa tenang.Sempat ia mempertanyakan keputusannya selama ini, mempertimbangkan kembali untuk kembali ke negaranya dan kembali di keluarga Dharmendra. Ada rasa ragu yang sempat menghantam dirinya.*Lio masih menunggu dengan begitu sabar istrinya, ia tahu saat ini, Lea, hanya butuh waktu dengan putranya. Itulah sebab ia tak ingin memaksanya.Lio hanya diam, duduk di depan pintu kamar
Lea masih tak ingin berinteraksi dengan semua orang yang ada di rumah, tanpa terkecuali.Ia masih mengurung diri di dalam kamar bersama putra berharganya, bermain serta menghabiskan waktu bersama.Lio mencoba memahaminya, namun semakin lama ia juga tak bisa menahan rasa rindu terhadap istri juga putranya. Walau bukan anak kandung, namun Lio jelas sangat mencintai Brian sebagai darah dagingnya.Sekar menasehati putranya, ia paham betul dengan apa yang menantunya rasakan kali ini. Ini memang kesalahannya sebagai ibu yang tak bisa mendidik anak hingga mampu berlaku sepicik dan sejahat ini.Kekhawatiran Lea juga adalah kekhawatiran Sekar yang coba ia sembunyikan. Bagaimanapun, Lius adalah putranya dan hanya dia yang mengenal baik bagaimana putra keduanya itu.“Aku juga merindukan putraku, Mom.”“Mommy tahu, tapi kau juga tidak bisa memaksa istrimu begitu. Beri dia waktu, biarkan dia menenangkan dirinya. Bukan hany
“Ton, bisa kau jemput aku dan Naila? Leo tidak bisa datang.”Begitu lah singkatnya bagaimana Toni bisa datang tepat pada waktunya.“Maaf saya terlambat.”Toni yang baru saja tiba sudah berdiri disebelah Naila, tepatnya memegang kursi roda Rania.“Nah ini, perkenalkan. Dia adalah calon suami Naila.”Tak hanya Naila juga Toni yang terkejut, Ikhsan yang mengenal siapa Toni pun juga ikut terkejut begitu juga dengan Ayu.“Nona_“Benar bukan, katanya kalian sedang melakukan ta’aruf?” selanya.Toni paham dengan apa yang kini tengah terjadi, sorot mata Naila yang tengah menatapnya seakan memberitahu semua yang tengah terjadi.Naila tahu betapa jailnya Rania, ia juga hanya menganggap itu adalah candaan yang dilempar Rania untuk membuatnya tak nampak menyedihkan.“Benar, kami memang tengah mendalami proses ta’aruf.”Walau mendengar se
Hari ini Lio pergi sejak pagi meninggalkan rumah, sebuah pekerjaan yang mengharuskan dirinya untuk ada di perusahaan sejak jam 6 pagi.Tak ada yang mencurigakan sejauh ini. Semua berjalan seperti biasa.Rania terlihat tengah bermain dengan keponakan satu-satunya, Brian. Ia bergitu bahagia hanya dengan bermain dengan bocah menggemaskan itu.Terkadang ingin rasanya ia berlari mengejar Brian yang berlarian kesana kemari, seperti Naila yang terus kelelahan berlari bersamanya.“Jangan jauh-jauh, kesini.” Teriak Rania melihat Brian terus berlari menghindari Naila.Walau belum sepenuhnya bisa berlari namun terlihat jika Brian juga menikmati acara bermainnya.Beruntung Lea sudah memasangkan pelindung di setiap sisi tubuh putranya.“Astaga, sudah-sudah larinya. Itu jatuh terus.” Seru Rania yang kasian melihat keponakannya.Naila pun segera membawa Brian dalam gendongannya.Namun tiba-tiba seseorang berlari
Lea terdiam di atas ranjangnya, matanya terus menyoroti rekaman cctv yang ada di rumahnya. Mendapati putranya hilang, Lea hanya merespon dengan diam.Namun dalam diamnya itu ia terus berpikir kemana putranya dibawa dan pada siapa ia dibawa. Dan satu-satunya jawaban di kepalanya hanya ada Lius, mantan suami sekaligus ayah biologis dari putranya itu.Lain Lea, lain lagi Lio yang kini tengah berada dalam perjalanan pulang. Yang ia tahu adalah putranya diculik oleh orang tak dikenal. Hanya itu saja.Sesampainya di rumah ia langsung berlari menuju kamarnya, ia takut jika sang istri kembali histeris dan menyalahkan keadaan lagi.Namun ketika pintu kamarnya dibuka, semua pikiran itu sirna.Lio menatap istrinya tak percaya. Istrinya nampak tenang dengan laptop di pangkuannya. Namun sorot matanya tak bisa menipu jika ada rasa khawatir disana.“Sayang?”“Ehm, sudah pulang?” terkejutnya.Lio segera memeluk istrinya
Lea duduk di tepi ranjang sambil menatap test-pack di kedua tangannya. Saat ini tidak ada yang bisa dipikirkannya, kehamilan ini bahkan tidak membuatnya bahagia. Brak! Lea terperanjat ketika pintu kamarnya dibuka kencang. Tanpa sadar Lea berdiri dari duduknya lalu melangkah mundur ketika Lius, suaminya, berjalan ke arahnya. "Lius, sakit, lepaskan aku." Kedua tangan Lea mencengkeram tangan Lius di lehernya. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi tenaga Lius di lehernya begitu kuat. Ia hampir kehabisan nafas di buatnya. "Bukankah ini impian mu?" ucap Lius dengan suara dan napas yang berat. Lalu Lius melempar tubuh Lea ke atas kasur di samping mereka. Lea terperangah sambil berusaha beranjak, menatap Lius yang berdiri tinggi menjulang di hadapannya. "Sudah puas kau menikahiku?" Lius memegang rahang Lea dan membuat Lea mendongak untuk menatap dirinya. "Dengan cara licik kau menghalalkan segala cara hingga tega menyakiti kakakmu sendiri. Menjijikan." Lius mendorong wajah Lea. "Lius, ka
"Kenapa masih diam di sini? Kau ingin mati?"Kata-kata itu terus terngiang di telinga Lea, air matanya bahkan tak bisa ia bendung hingga mengalir deras dengan sendirinya.Bagaimana bisa Adelius mengatakan hal sekejam itu padanya dan lebih memilih berdiri di samping perempuan lain dari pada istrinya sendiri?Kekesalan suaminya dan sikap penolakan orang tuanya membuat Lea merasa seorang diri hidup di dunia ini. Tidak ada lagi tempat untuknya berlindung.Namun, Lea harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka itu ia akan menunggu di taman rumah sakit hingga semua orang pergi dari kamar rawat Lisa dan menuntut penjelasan dari Lisa.Ia tak peduli jika masih ada ibunya di sana.Hingga siang hari Lea akhrinya menemukan waktu yang tepat untuk bertanya pada Lisa. Ketika Lea baru mencapai pintu rawat Lisa, Lea mendengar ibunya berbicara dengan Lisa.Lea terkejut mendengar percakapan antara ibunya dengan Lisa.Ternyata semua yang te