Share

02

"Ide kamu bagus juga," ucap Sarah sembari menyeringai.

"Tunggu apa lagi ma? Cepat hubungi kak Andra!" seru Viona yang terlihat tidak sabar lagi.

"Iya mama akan hubungi dia."

Sarah segera mengambil ponselnya yang berada di atas meja tepat di hadapannya, lalu dia bergegas membukanya dan langsung menghubungi sang keponakan yang bernama Andra.

Tuttt... Tuttt... Tuttt...

Tak membutuhkan waktu lama lagi, Andra langsung mengangkat panggilan yang masuk dari tantenya itu.

"Halo tan, ada apa? Tumben banget telepon aku," lontar Andra dari seberang telepon.

"An, gimana kalo mulai saat ini kamu tinggal di sini saja? Daripada kamu tinggal di sana sendirian kan?" tawar Sarah yang tidak mau menyampaikan tujuannya yang sesungguhnya.

"Nggak ah tan, nanti Bima marah lagi sama aku. Aku kan hanya pengangguran saja,"

"Udah kamu tenang aja, nanti biar tante yang urus dia,"

"Beneran nih tan? Nggak masalah kalo aku tinggal di sana?" tanya Andra yang masih ragu.

"Iya beneran. Lebih baik sekarang kamu siap-siap, dan langsung pindah ke sini, nggak ada penolakan!" Sarah menegaskan kata-kata terakhirnya.

Terdengar helaan napas dari seberang sana, "Oke lah kalo tante maksa, aku siap-siap dulu,"

"Oke, tante tunggu kamu di rumah,"

"Iya tan."

Tuttt...

Sarah langsung mengakhiri panggilan telepon, lalu meletakkan ponselnya kembali ke atas meja.

"Gimana ma?" tanya Viona yang penasaran.

Sarah tersenyum sembari menganggukkan kepalanya, "Dia akan ke sini hari ini,"

"Baguslah, lebih cepat lebih baik." Jawab Viona yang merasa lega.

Setelah berhasil membuat rencana itu, mereka berdua kembali menonton televisi. Tidak seperti tadi yang terlihat cukup tegang, kini mereka berdua lebih terlihat santai dengan bersandar pada sandaran sofa.

"Gimana kalo kita lenyapin aja tuh kucing sialan? Mama nggak suka ada hewan peliharaan di rumah ini!" baru juga terdiam, Sarah malah berulah lagi dengan idenya.

Viona yang mendengarnya pun dengan sangat antusias langsung menatap sang mama, "Ayo ma! Aku juga benci banget sama tuh kucing!"

"Yaudah, kalo gitu ayo kita cari dia."

Sarah dan Viona bangkit dari duduk mereka, lalu bergegas keluar dari sana untuk mencari keberadaan Lucy.

Tak pandang bulu memang, sampai hewan yang tidak bersalah pun kena imbasnya.

.

Kembali lagi kepada Sena dan Bima. Kini mobil mereka berdua sudah sampai di depan butik milik Sena yang bernama Butik Alfee.

"Nanti gue jemput jam berapa?" tanya Bima kepada sang istri, dengan pandangan lurus ke depan.

"Nanti kalo aku udah pulang, pasti aku akan telepon kamu," jawab Sena sembari melepaskan sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya.

"Hmm..." Bima hanya berdeham saja sebagai jawaban.

"Yaudah, aku turun dulu ya?"

Bima yang malas berinteraksi dengan Sena pun hanya diam saja. Bahkan sedikitpun dia tidak melirik ke arah wanita yang saat ini sudah berstatus sebagai istrinya itu.

Karena tidak mendapat jawaban dari sang suami, Sena langsung turun dan segera menutup pintu mobil tersebut. Lalu Bima pun segera melajukan mobilnya meninggalkanmu butik milik sang istri.

"Aku tau kalo kamu terpaksa melakukan pernikahan ini, karena aku pun juga sama. Tapi semoga saja suatu saat kamu bisa menerima kehadiranku Bim, seperti aku yang sudah bisa menerima takdir ini." Batin Sena yang menatap mobil sang suami yang sudah menjauh dari hadapannya.

Setelah mobil Bima sudah tidak terlihat lagi, Sena segera masuk ke dalam butik miliknya. Toko butik tersebut memang tidak terlalu besar, karena di sana hanya khusus menjual pakaian saja dan tidak ada aksesoris lainnya.

"Selamat pagi bu Sena," sapa seorang pegawai di sana yang bernama Alin ketika melihat Sena masuk.

"Pagi Alin," jawab Sena dengan tersenyum ramah, "Keisha di mana?"

"Hadir bu!" seru seorang pegawai lain yang berada di pojok belakang, sembari mengangkat tangannya.

"Ku kirim kamu telat Kei," ujar Sena sembari membenarkan tas yang ia bawa.

"Nggak mungkin dong bu! Orang saya datang yang paling awal!" seru Keisha sembari berjalan mendekat ke arah Sena dan Alin.

"Eh apaan! Orang tadi gue yang datang duluan!" protes Alin yang tidak terima.

"Jangan ngaku-ngaku lo! Udah jelas tadi gue yang sampe sini duluan!" bantah Keisha.

"Nggak! Pkoknya gue yang duluan!" seru Alin.

"Gue!"

"Gue!"

"Gue!"

"Udah stop!" Sena sedikit meninggikan suaranya untuk melerai pertengkaran yang tidak penting itu.

"Cuma masalah sepele gitu jangan dijadiin masalah besar. Yang penting kalian berdua nggak datang terlambat," sambung Sena lagi.

"Iya bu." Jawab Alin dan Keisha dengan menundukkan kepalanya.

Mereka benar-benar takut sang bos akan marah, karena sikap mereka yang sudah keterlaluan. Sedangkan Sena hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat kelakuan dari keduanya.

Maklum saja, usia Alin dan Keisha baru sembilan belas tahun, jadinya mereka masih suka bercanda yang sedikit keterlaluan. Namun jika sudah ramai pengunjung, pasti mereka akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan tidak ada kata bercanda lagi.

"Dara di mana?" tanya Sena setelah melihat keduanya diam.

"Bu Dara belum datang bu," jawab Alin.

Sena yang mendengarkan pun mengernyitkan dahinya, "Tumben banget jam segini belum datang, biasanya aja dia datang yang paling awal,"

"Nggak tau juga bu, mungkin aja bu Dara bangun kesiangan, jadinya terlambat datang," jelas Keisha.

Sena mengangguk-anggukkan kepalanya, "Yaudah, kalian lanjutkan pekerjaan kalian. Nanti kalo dia sudah datang suruh ke ruangan saya,"

"Baik bu." Jawab keduanya secara bersamaan.

Sena bergegas pergi ke dalam ruangannya yang berada di belakang tempat kasih. Sengaja membuatnya di sana, karena itu akan mempermudah dirinya untuk mengawasi seluruh kejadian yang ada di butik.

Dara sendiri adalah teman baik saat Sena masih bersekolah dulu. Sena mempercayainya untuk memegang seluruh keuangan di sana, dan juga mempercayakan butiknya ketika dia tidak bisa hadir untuk mengelola butik tersebut.

.

Beralih kepada Bima yang sudah sampai di kantornya. Dia buru-buru menuju ke ruangannya, karena masih banyak berkas yang harus ia cek dan tandatangani.

Ketika Bima baru saja terduduk di kursi kebesarannya, tiba-tiba saja sang sekretaris sudah masuk ke dalam ruangannya dan langsung menghampirinya sembari membawa map di tangannya.

"Selamat pagi pak Bima." Sapa seorang wanita berkulit putih, rambut pendek berwarna hitam, mata coklat dan make-up yang terlihat natural.

Ya dialah Hena Natalie, sekretaris dari Bima. Dia mulai bekerja di Alister Group semenjak Bima yang menjadi CEO. Karena sering bersama, dirinya memiliki perasaan terhadap Bima. Namun ia tak berani mengungkapkannya dan lebih memilih untuk memendam perasaannya seorang diri.

"Pagi," jawab Bima dingin.

"Pak Bima, jadwal kita hari ini sangat padat. Banyak pertemuan di luar kota yang harus kita datangi," ungkap Hena.

"Apa?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status