Di kamar dengan nuansa serba putih dengan kemewahan yang terasa seorang wanita paruh baya tampak memegang sebuah benda.Cukup banyak benda tipis pada tangannya dan satu persatu menampakkan wajah anaknya bersama dengan Dinda."Dimas membatalkan pergi melihat proyek karena pergi bersama istrinya ke mall?"Laras awalnya terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Gilang.Namun, setelah melihat buktinya dia pun kini percaya."Iya, Bu, itu benar," kata Gilang membenarkan.Laras pun mengangguk sambil terus melihat gambar di tangannya sampai berulangkali.Mungkin masih merasa bingung.Namun, sesaat kemudian Laras pun tersenyum."Tidak masalah, kau boleh pergi!""Saya permisi, Bu."Laras merasa ini adalah hal yang sangat bagus untuk hubungan antara keduanya.Hingga saat itu matanya melihat ke arah luar dari jendela kamarnya.Dia meletakkan foto di tangannya pada meja kemudian berjalan lebih maju beberapa langkah.Di bawah sana tampak mobil Dimas sudah terparkir.Sesaat kemudian Dimas turun be
"Muka mu pucat sekali, kamu sakit?" tanya Dimas saat melihat wajah Dinda saat ini yang tampak pucat.Dinda meletakkan secangkir kopi yang barusan dia buat untuk Dimas.Sepertinya selesai mandi Dimas butuh minum kopi hangat dan dia hanya ingin kopi buatan Dinda saja.Namun, sesaat kembali ke kamar Dimas melihat wajah Dinda tampak pucat."Kayaknya masuk angin," jawab Dinda.Kemudian dia pun segera membaringkan tubuhnya pada ranjang.Sedangkan Dimas sibuk dengan tab di tangannya ditemani secangkir kopi hangat buatan Dinda.Satu jam kemudian Dimas pun melihat Dinda masih berbaring di atas ranjang.Sedangkan dia mulai menuju meja makan untuk makan malam."Dinda di mana?" tanya Laras yang melihat hanya Dimas saja yang tiba di ruang makan."Tidur, Bu," jawab Dimas."Tidur?" tanya Laras bingung.Karena tidak biasanya Dinda seperti ini kecuali ada hal tertentu."Emang pemalas!" kata Moza yang langsung saja menimpali pembicaraan.Ia pun segera duduk di kursinya dan berharap Dinda tidak perlu ik
Sedangkan Laras kini sudah masuk ke kamar Dinda.Ternyata Dinda tengah berbaring di atas ranjang."Dinda," panggil Laras.Dinda yang mendengar suara Laras pun seketika membuka matanya.Perlahan dia pun duduk."Kamu sakit?" tanya Laras sambil terus berjalan ke arah Dinda.Dia melihat wajah Dinda cukup pucat."Masuk angin kayaknya, Bu," jawab Dinda."Ya sudah istirahat saja," Laras pun merasa lega.Sebab Dinda berada di kamar untuk beristirahat.Setelah memastikan Dinda di sana dia pun segera pergi.*****Dimas masih memikirkan apa yang dikatakan oleh putrinya.Menceraikan Dinda dan kembali pada Megan.Tapi dia bingung harus seperti apa saat ini.Dimas juga ingin putrinya bahagia dengan merasakan keluarga yang utuh.Itu adalah keinginan Moza sejak kecil.Sampai tengah malam Dimas tak dapat mengambil keputusan seperti apa untuk membuat anaknya bahagia.Hingga dia pun memilih untuk segera kembali ke kamar.Dia melihat Dinda di bawah selimut yang cukup tebal.Bahkan wanita itu menggigil ke
Dimas kembali ke kamar.Dia melihat uang yang sebelumnya dia letakkan pada ranjang masih saja ada di sana.Dimas pun mengerutkan keningnya bingung karena merasa Dinda sangat menyukai uang.Namun, mengapa tidak mengambil uang-uang tersebut?Tidak ingin lebih lama larut dalam pikirannya Dimas pun mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Dinda.Karena tak menemukan di kamar dia pun mengelilingi rumah."Bu, apa Ibu melihat Dinda?" tanya Dimas."Tadi dia sempat sarapan di dapur, tapi dia buru-buru ke kampus," jawab Laras yang duduk di taman belakang sambil membaca majalah.Dimas pun sejenak mengingat saat Dinda sempat mengatakan akan pergi ke kampus.Tapi dia tidak menyangka jika Dinda pergi tanpa memberitahukan kepadanya sebelum berangkat."Lagian tumben sekali kamu menanyakan dia," Laras pun menatap wajah anaknya penuh selidik.Karena Dimas bukan orang yang peduli terhadap orang lain."Jangan sok cuek terus, giliran sedikit dia menghilang dari pandangan mata mu di cari," seloroh Laras
Ting!Satu pesan dari Moza.Dinda langsung membaca pesan tersebut dengan rasa penasaran.[Dinda aku minta maaf, aku kangen sama kamu, sama persahabatan kita yang dulu]Tangan Dinda bergetar hebat saat memegang ponselnya.Dengan mata yang berkaca-kaca dia pun kembali membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Moza.Akan tetapi, isinya masih saja sama.Dengan cepat dia pun mengusap air matanya.Rasanya ini seperti sebuah mimpi namun Dinda berharap ini adalah nyata.Meskipun beberapa kali berganti ponsel tapi dia tetap menggunakan SIM card yang sama.Sehingga Moza masih bisa menghubunginya."Dinda?" Kiara melihat wajah Dinda yang tampak bahagia.Meskipun beberapa kali sempat mengusap wajahnya karena air matanya terus saja menetes.Ting!Lagi-lagi sebuah pesan masuk dari orang yang sama.Dinda pun lagi-lagi membaca dengan perasaan tidak sabar.[Aku tunggu di tempat biasa, aku kangen banget sama kamu]Saat membaca pesan kedua Dinda langsung saja bangkit dari duduknya.Tempat biasa?Dinda tah
"Cepat pegang tangan ku!" Dimas terus berusaha untuk menggapai tangan Dinda.Akan tetapi Dinda memilih untuk tidak menggapai tangan Dimas.Sejenak Dinda pun melihat ke bawah sana pikirannya pun kini semakin rumit.Rasanya ini mungkin yang terbaik untuk dirinya.Tidak ada orang tua, tidak ada keluarga dan kini masuk di keluarga sahabatnya dan justru membuat Moza pun membencinya.Baiklah, jika begitu pilihan terbaiknya adalah pergi dari hidup orang-orang disekitarnya.Karena kenyataannya hanya menjadi beban saja untuk mereka semua.Tidak ada yang merasa diuntungkan dengan kehadiran seorang Dinda."Dinda, aku tahu kamu bisa!" seru Kiara yang kini juga mulai mengulurkan tangannya untuk Dinda.Semangat terus saja diberikan oleh Kiara agar Dinda bisa segera naik kembang.Dinda pun kembali melihat ke atas, dia tahu tanpa ditolong pun dia bisa naik ke atas sana.Namun, saat ini dia hanya ingin dalam ketenangan.Mungkin dengan pergi untuk selamanya jauh lebih baik.Baik bagi dirinya dan orang
Tapi Dinda menggelengkan kepalanya."Kiara," kata Dinda dengan raut wajah memohon agar Kiara tidak lagi memaksanya untuk melepas tangan Moza.Akhirnya Kiara pun menjauh dan saat itu Dinda pun menarik tangan Moza hingga akhirnya kembali naik ke atas.Tubuh Moza terasa lemas.Bahkan lututnya seperti tak lagi terasa membuatnya menjadi terduduk di lantai.Dimas langsung saja memeluk putrinya yang ketakutan setelah apa yang barusan dia alami."Pi, Moza takut," kata Moza yang terus saja memeluk Dimas dengan eratnya.Sedangkan Dinda memilih untuk segera pergi disusul oleh Kiara yang juga segera pergi dari sana."Tidak apa, kamu baik-baik saja," Dimas terus saja memeluk putrinya dengan erat.Dia tahu Moza memang bersalah.Akan tetapi rasa sayangnya terhadap Moza membuatnya tidak bisa marah.Apa lagi dia tahu bahwa keinginan untuk memiliki keluarga yang utuh adalah impian anaknya itu sejak kecil.Hingga membuat Moza seakan tak perduli bahwa dirinya hampir saja menjadi seorang pembunuh.Bahkan
"Bu, saya ijin pulang ke rumah Ayah. Saya, rindu pada keluarga saya," pinta pinta Dinda saat dia sampai di rumah.Laras terdiam sejenak sambil terus melihat Dinda.Dia tahu apa yang barusan dialami oleh Dinda.Dan Membuat Laras pun mengangguk setuju sebab dia tahu Dinda butuh ketenangan."Pergilah sampai kamu ingin kembali lagi ke rumah ini," kata Laras.Dinda pun mengangguk cepat dengan perasaan lega."Tapi Dinda, jangan pernah berpikir untuk bercerai dengan Dimas!" papar Laras.Dinda menutup matanya sejenak sambil membayangkan wajah Moza.Jika saja bisa Dinda ingin sekali mengakhiri pernikahannya dengan Dimas untuk bisa membuat Moza bahagia."Ini hanya sementara waktu, kamu tetap istri anak saya! Jaga batas mu dengan laki-laki manapun di luar sana!" tambah Laras.Setelah mengatakan itu Laras pun segera pergi.******Kamar tidur dengan ukuran 2×2 yang selalu menjadi tempat ternyaman nya kini tidak lagi bisa dia tempati.Dan untuk saat ini dia kembali masuk ke kamar itu.Ada rasa rind