Semalaman, Laureta tidak bisa tidur nyenyak. Tubuhnya terasa pegal-pegal karena ia baru saja mengalami kecelakaan. Belum lagi, ia masih terus menangisi Erwin yang tega mencampakkannya demi Valentina si wanita gatal.
Jika mengingat lagi akan hal itu, Laureta bisa menangis lagi. Matanya sudah bengkak dan perih. Menangis lagi hanya akan membuatnya dehidrasi.
Ponselnya berbunyi, Laureta mengangkatnya.
“Halo, Reks,” ucapnya parau.
“Ta, kamu ada di mana? Ini sudah kesiangan. Apa kamu tidak akan ke studio sekarang?” cecar Reksiana, sahabatnya.
“Aku masih di rumah. Maaf ya, Reks. Hari ini aku tidak akan mengajar zumba dulu. Kamu tolong gantikan aku ya. Kali ini saja.”
“Eh, apa yang terjadi? Kamu langsung pergi begitu saja waktu aku memberitahumu soal Erwin. Apa kamu sudah menemuinya?”
Hening sejenak. Laureta tak sanggup menceritakannya pada Reksi. Namun, tak ada lagi yang lebih paham akan kehidupannya selain Reksi. Jadi, Laureta pun menceritakan segalanya. Syukurlah, air matanya bisa tertahan.
Reksi mengumpat terus menerus dalam setiap kalimat yang Laureta sampaikan padanya.
“Gila ya! Dia berani sekali selingkuh! Seharusnya kamu mematahkan tulangnya supaya dia tidak bisa bergerak lagi! Dasar pria berengsek!”
Laureta tersenyum mendengar sahabatnya membelanya. “Selesai dari sana, lalu aku tertabrak mobil, Reks,” lanjut Laureta.
Kisah tentang tabrakan pun berlanjut lebih seru daripada membahas tentang Erwin. Sayangnya, Laureta tidak bisa mengobrol lebih lama lagi karena Reksi harus menggantikannya sebagai instruktur zumba. Sebagai gantinya, Laureta berjanji akan menemui Reksi nanti siang untuk menceritakan segalanya lebih detail lagi.
Laureta keluar dari kamarnya, lalu mandi. Selesai mandi, ia mengernyit saat melihat meja makannya tidak ada apa-apa. Perutnya sudah kelaparan.
Ayahnya sedang duduk di sofa dengan wajah pucat, seperti orang sakit. Tidak biasanya ayahnya tidak bekerja.
“Papa sedang sakit ya? Tumben Papa tidak bekerja hari ini,” ucap Laureta yang tidak disambut oleh ayahnya.
Wajah ayahnya semakin pucat, seperti tidak ada darah. Laureta jadi khawatir melihatnya.
“Papa baik-baik saja?”
Ayahnya mendongak dan menatap Laureta dengan matanya yang kemerahan. “Papa takut, Ta. Bagaimana jika Papa masuk penjara?”
“Papa bicara apa?” Laureta terperangah mendengar ayahnya bicara seperti itu.
Ibunya keluar dari kamar, lalu berkata, “Ta, tolong belikan mie instan di mini market! Persediaan mie di rumah sudah habis! Ah, kamu ini kenapa tidak belanja dari kemarin-kemarin? Dasar pemalas!”
Laureta mengangguk. “Ya, Ma. Sebentar, aku ke depan dulu.”
Mendengar suara ibunya yang memerintah dengan seenaknya, membuat Laureta jadi kesal. Ia pun terpaksa ke mini market yang letaknya berada di depan kompleks rumahnya.
Selesai berbelanja, Laureta pulang dan terkejut ketika melihat ada beberapa mobil yang diparkir di depan rumahnya. Jantungnya berdegup kencang. Dua mobil di antaranya terdapat sirine yang menempel di bagian atapnya.
“Polisi,” gumam Laureta dengan napas yang tercekat.
Saat ia hendak memasukkan motornya, ia melihat dengan sangat jelas mobil SUV hitam mewah yang semalam baru saja menabraknya. Laureta yakin betul, itu adalah mobil yang sama. Ia telah menghafal plat nomor kendaraannya.
“Apa yang pria itu inginkan di sini? Masih belum cukup puas menabrakku semalam?” ujar Laureta.
Ia pun masuk ke dalam rumahnya dan kakinya langsung lemas begitu melihat ayahnya sedang berlutut di lantai sambil tangannya diborgol. Ibunya menangis histeris sambil memeluk bantal sofa.
Keresek mie instan jatuh begitu saja di lantai. Laureta melangkah perlahan, masuk ke dalam rumahnya dengan degup jantung yang bertalu-talu di dadanya.
Lalu para polisi itu menarik ayahnya secara paksa dan mendorongnya masuk ke dalam mobil polisi.
“Papa!” teriak Laureta. “Papaku mau dibawa ke mana? Pak, tolong jangan bawa Papa saya!”
Percuma saja Laureta berteriak, tak ada yang mendengarnya sedikit pun. Tak ada yang menjelaskan apa pun padanya. Ibunya berteriak semakin nyaring. Ia menarik-narik tangan polisi, menahan semampunya agar ayahnya tidak sampai dibawa polisi.
Tidak ada yang bisa melawan jika hukum sudah bertindak. Laureta tidak berbuat apa-apa. Ia hanya diam sambil melihat ke sekelilingnya yang terasa aneh dan asing.
Tiba-tiba, Lauretta mnelihat sosok pria tampan yang begitu ia kenal.
Kenapa aku bertemu dengan pria sialan itu lagi?!
Aura dinginnya semakin terasa mencekam, lebih dari semalam.
“Kamu lagi,” ujar pria itu.
Air mata Laureta meleleh begitu saja begitu menatap pria itu. “Kenapa polisi membawa ayahku?”
“Reno sudah menggelapkan uang perusahaan sebesar satu setengah milyar,” jawab Kian dengan suaranya yang dalam dan tenang.
“Apa? Satu setengah milyar?” Laureta terperangah hingga mulutnya terbuka lebar.
Seketika kepala Laureta berdenyut-denyut hebat. Satu setengah milyar? Apa ia tidak salah dengar? Seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat yang sebanyak itu.
“Tolong, Pak. Jangan bawa ayahku ke penjara. Aku mohon! Mungkin semua ini hanya kesalahpahaman. Ayahku tidak mungkin menggelapkan uang sebanyak itu.”
“Terserah apa katamu,” ucap pria itu dingin.
Otak Laureta berpikir cepat. Dulu, ia sempat hidup dalam kemewahan. Ayahnya sering membeli barang-barang mahal untuk ibunya dan untuk segala keperluan di rumah. Laureta bahkan sempat berlibur ke Bali bersama orang tuanya, menginap di villa mahal selama satu minggu.
Mereka makan makanan mewah, membeli segala keperluan dengan kartu kredit. Hingga suatu hari, ayahnya menghentikan kartu kreditnya. Mereka pun hidup pas-pasan lagi seperti sedia kala.
Namun, tetap saja hal itu tidak bisa dicegah karena ibunya masih senang berbelanja barang-barang mahal yang tidak ayahnya ketahui. Apakah karena ayahnya berniat untuk menutupi utang kartu kredit itu, jadi ayahnya berani menggelapkan uang perusahaan?
“Pak, tapi … tapi ….”
“Sampai bertemu di pengadilan,” ucap pria itu yang hendak melangkah keluar, tapi Laureta menghalanginya.
“Aku mohon, Pak! Apa ada solusi lain selain penjara?” tanya Laureta polos.
“Tidak ada solusi lain selain memasukkan ayahmu ke penjara, kecuali kamu bisa membayar utangnya. Kamu ada uang sebesar itu?” tanya pria itu santai.
“Mana ada aku uang sebanyak itu?!” seru Laureta sambil meremas tangannya yang gemetaran. Air matanya terus meleleh.
Pria itu mengedikkan bahunya, lalu berjalan keluar rumah sambil menabrak bahu Laureta yang masih terasa nyeri setelah tabrakan semalam.
“Aku mohon! Jangan masukkan ayahku ke penjara!” teriak Laureta sambil menarik tangan pria itu. “Aku akan melakukan apa saja untuk membayar utang ayahku!”
Pria itu menoleh sedikit sambil tersenyum miring. “Memangnya apa yang akan kamu lakukan untuk membayar utang ayahmu?”
“A-aku tidak tahu! Apa saja! Yang penting aku bisa membayarnya! Tolong, izinkan aku untuk mencicilnya!”
Pria itu menghela napas. “Lebih baik kamu simpan saja uangmu untuk hidup.”
“Aku mohon!” teriak Laureta.
Pria itu melepaskan tangan Laureta. Matanya menatap Laureta dari atas ke bawah. Ia mengangguk perlahan, lalu berkata, “Ada satu cara untuk membayar utang ayahmu.”
“Apa itu? Aku akan melakukan apa saja!”
“Menikahlah denganku,” jawab pria itu.
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h