Richard terbengong melihat kepergian Kimberly, dia tidak menyangka jika wanita itu punya keberanian untuk menyentuhnya. Dengan kasar dia mengusap bibirnya bekas bibir Kimberly yang menyentuhnya di sana, sialnya rasa bibir wanita itu terasa melekat dan tak mau hilang, rasa manis dan lembabnya terus menempel meski dia sudah mengusapnya berulang kali.
“Ternyata dia punya keberanian menentangku,” gumam Richard dengan seringai sinis mengingat wajah Kimberly.
Di luar rumah, Kimberly memegang dada dan menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya karena sesak yang dirasakan. Ingatan akan tindakan gilanya pada Richard terasa sangat memalukan, tetapi dia tidak mungkin diam saja menerima perlakuan suaminya yang begitu keras kepala.
Jika terjadi sesuatu pada pria itu, dirinya dan keluarganya pasti akan mendapat masalah. Dia tidak ingin menyulitkan orang tua yang sudah membesarkannya. Oleh karena itu dia harus melakukan segala cara untuk bisa membuat Richard sehat kembali.
“Hai Kimberly, apa yang sedang kamu lakukan?” suara seorang pria membuat Kimberly menoleh dan mendapatkan Axton dengan wajah tampan dan senyum manis menyambutnya.
“Axton ...? apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Kimberly terkejut dengan kehadiran pria itu.
“Aku kebetulan lewat dan melihatmu di sini. Apakah kamu sedang sibuk?” Axton balik bertanya.
“Tidak juga, aku hanya sedang mencari udara segar agar paru-paru dan otakku menjadi sehat.”
Axton tersenyum mendengar pernyataan Kimberly yang sedikit berlebihan, tetapi masih bisa dia terima. “Udara disini memang sangat segar, berbeda dengan udara di kota yang penuh dengan polusi. Itulah alasan kenapa aku tidak ingin pergi dari sini.”
“Aku setuju denganmu tentang udara di sini yang terasa sangat segar, entah kenapa masih saja ada orang malah membenci tempat ini dan marah karena harus tinggal di sini,” gumam Kimberly yang tanpa sadar sedang mengingat respon Richard atas Woodstock.
“Aku rasa hanya orang bodoh yang membenci tempat ini,” balas Axton tanpa tahu siapa yang Kimberly maksud.
Kimberly terdiam dan menatap Axton penuh arti. Beberapa detik kemudian dia mengangguk setuju. “Benar sekali, hanya orang bodoh yang membenci tempat ini.”
“Apakah kamu mau ikut denganku ke suatu tempat? Udara disana jauh lebih segar dan pemandangannya sangat bagus. Aku yakin kamu pasti menyukainya,” ajak Axton.
Mendengar ajakan tersebut, Kimberly menengokkan kepala ke belakang menatap jendela kamar Richard, membuat Axton sadar jika wanita yang dia ajak tersebut adalah istri orang.
“Kamu bisa meminta izin terlebih dahulu pada suamimu,” ucap Axton membuat Kimberly yang tadinya ragu untuk ikut bersama pria itu, malah mengiyakan ajakannya.
“Tidak perlu, Richard sedang istirahat karena baru saja minum obat. Aku tidak ingin mengganggunya. Apakah tempatnya jauh dari sini?”
“Tidak terlalu jauh, mungkin 15 menit dengan jalan kaki.”
“Baiklah, kita pergi ke sana sekarang,” tandas Kimberly yang berhasil membuat senyum di bibir Axton terkembang lebar.
Mereka kemudian berjalan beriringan menuju tempat yang Axton katakan sambil bercerita ringan. “Bagaimana keadaan suaminya?”
“Sedikit memburuk, dia mengalami dehidrasi dan tidak mau meminum obatnya,” terang Kimberly.
“Aku bisa membayangkan betapa repot dirimu mengurus Richard, dia pria yang keras kepala, tidak mudah diatur dan melakukan apapun yang dia mau.” Apa yang Axton katakan membuat Kimberly tertegun, pria itu terlihat sangat mengetahui karakter Richard.
“Sepertinya kamu sangat mengenal suamiku. Apakah kalian berteman baik?” selidik Kimberly.
“Aku tidak pernah berteman baik dengan keluarga Jackson, terutama Richard. Bisa dikatakan jika keluarga Hogan dan keluarga Jackson sedikit bermusuhan.”
Pernyataan tersebut membuat langkah Kimberly seketika terhenti. “Lalu untuk apa kamu mengajakku pergi bersamamu jika keluargamu bermusuhan dengan keluarga Jackson?” Nada Kimberly berubah menjadi khawatir.
“Tenanglah! aku tidak akan melukaimu. Aku tidak pernah melukai siapapun, apalagi seorang wanita.”
“Apakah kamu lupa, aku juga seorang Jackson?”
“Kamu tidak memiliki darah Jackson dan kamu juga terlihat berbeda. Aku bisa melihat kelembutan dan kehangatan terpancar dari wajahmu. Bahkan aku sempat berpikir jika kamu lebih pantas menyandang nama Hogan dibanding menyandang nama Jackson.”
“Apakah kamu sedang berusaha merayuku?” Mata Kimbely menyipit semakin curiga dengan maksud dan tujuan Axton mendekatinya.
“Aku hanya berkata jujur, jika kamu menganggap kejujuranku adalah sebuah rayuan, silahkan saja.”
“Aku sangat menghormati pernikahanku, jadi aku tidak akan termakan oleh bujuk rayuanmu,”
“Hanya pernikahanmu sajakah yang kamu hormati? Bagaimana dengan Richard, apakah kamu juga menghormati pria itu? apa yang membuatmu jatuh cinta pada pria keras kepala itu? jujur, selama ini aku tidak pernah iri dengan Richard meski dia memiliki uang yang melimpah dan hidup di istana, sedangkan aku hidup di kandang, tetapi saat aku mengetahui jika kamu adalah istri Richard, untuk pertama kalinya aku iri pada pria itu.”
“Hentikan Axton! Aku rasa percakapan kita sudah melantur terlalu jauh.”
Axton tersenyum tipis menanggapi respon Kimberly atas pernyataannya. “Kita sudah sampai,” ucap Axton mengalihkan percakapan mereka.
Kimberly menegakkan wajahnya dan mengedarkan pandangan. “Woow ... indah sekali,” serunya ketika melihat hamparan bukit hijau dengan bunga warna-warni yang begitu indah.
“Saat aku datang ke tempat ini, aku mengingatmu dan aku yakin kamu pasti menyukai tempat ini. Bagaimana pendapatmu akan tempat ini? Apakah menurutmu tempat ini indah?”
“Ya, sangat indah. Aku menyukainya.”
“Aku selalu datang ke sini jika hatiku sedang gelisah atau saat aku mempunyai masalah. Tempat ini membuatku merasa lebih tenang sehingga aku bisa berpikir jernih. Aku juga merasa tempat ini sangat romantis, kapan-kapan kamu bisa mengajak Richard ke sini. Pemandangan matahari tenggelam di tempat ini adalah pemandangan yang luar biasa indah.”
“Terima kasih atas rekomendasimu,” jawab Kimberly singkat.
Dia tidak yakin bisa mengajak Richard ke tempat ini. Jangankan pergi bersama, berdekatan dengannya saja, pria itu sudah merasa muak dan terus menyalahkannya atas pernikahan yang mereka jalani saat ini.
“Apakah aku boleh di sini untuk beberapa saat?” tanya Kimberly kepada Axton seolah meminta izin pada pria itu.
“Kamu tidak perlu meminta izin padaku untuk berada di sini dan berapa lama kamu mau menghabiskan waktu di sini. Ini adalah tempat umum, kebetulan saja tempat ini berbatasan dengan tanah pertanianku dan tanah pertanian Jackson.”
“Apakah dulu Richard sering ke sini?”
Axton seketika terdiam dan senyum hangatnya berubah menjadi dingin. “Dia hanya perlu datang ke sini bersama wanita yang dia cintai,” balas Axton sarat akan makna, namun Kimberly tidak berani menanyakan arti perkataan itu ketika melihat ekspresi Axton yang berubah cepat.
*
Richard bangun dari tidurnya ketika matahari mulai tenggelam. Kamarnya terlihat gelap dan rumahnya begitu sepi. Biasanya dia akan mendengar Kimberly melakukan sesuatu di luar kamar, namun kini tidak ada suara apapun di rumah tersebut.
Dia berusaha bangun dan berpindah ke kursi roda. Richard mendorong kursinya ke luar dari kamar dan terkejut ketika lampu rumah masih padam dan keadaan ruangan remang-remang.
“Kimberly!” seru Richard memanggil istrinya, namun tidak ada jawaban.
Dia memeriksa semua ruangan di rumah tersebut dan tidak menemukan Kimberly dimanapun. Ketika dia menuju ruang depan, terdengar suara pria dan wanita yang sedang mengobrol, sesekali terdengar tawa di sela obrolan mereka.
Richard pun membuka pintu rumah dan mendorong kursi rodanya ke teras, rahangnya mengeras ketika melihat Kimberly sedang mengobrol akrab dengan Axton.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” seru Richard yang membuat kedua orang yang sedang bercakap itu menoleh dan terdiam menatapnya.
Kimberly membeku menatap manik mata suaminya, tatapan keduanya saling mengunci.
Richard memutuskan tatapannya dan masuk ke rumah tanpa menunggu jawaban istrinya.Kimberly yang sadar akan tatapan marah Richard langsung mengejar pria itu tanpa mempedulikan Axton. “Richard tunggu!” serunya.Tahu jika Kimberly mengejarnya, Richard memilih berpura-pura tidak mendengar dan terus mendorong kursi rodanya menjauh.Dengan langkah panjang, Kimberly berlari dan menutup jalan Richard sambil merentangkan kedua tangan di depan pria itu. “Kita harus bicara, aku tidak ingin kamu salah paham dengan apa yang kamu lihat.”“Untuk apa aku salah paham, bahkan aku tidak peduli jika kamu pergi dan bersenang-senang dengan pria itu. Paling tidak urus suamimu terlebih dahulu sebelum kamu pergi dengan pria lain,” sindir Richard.Terasa desiran dan rasa senang yang merayap di hati Kimberly, ketika untuk pertama kali Richard menyebut dirinya sebagai suaminya. “Su-suami ..?” gumam Kimberly lirih.Richard berdehem menormalkan suara, menyadari dirinya telah salah memilih kata. Dia pun kembali men
Tidak mungkin melarikan diri dari kewajibannya, Kimberly terpaksa pulang kembali ke rumah. Dia terkejut ketika Richard duduk di ruang depan dengan wajah yang terlihat kurang istirahat. Ingin sekali menegurnya dan menyuruh pria itu istirahat, namun energinya sudah habis untuk bertengkar.“Dari mana saja dirimu?” Richard menegur duluan.“Mencari udara segar,” jawab Kimberly singkat.“Lain kali, beritahu aku kemana kamu pergi sehingga aku tidak salah paham lagi padamu.”Kimberly menghela nafas panjang, berusaha untuk bersabar menghadapi sikap suaminya. Dia menatap Richard dan berkata, “aku sedang tidak ingin bertengkar karena aku lelah sekali. Lain kali aku akan memberitahuku jika aku akan pergi, sekarang bisakah aku ke kamar?”“Apakah kamu sudah makan? Kamu pergi tanpa sarapan terlebih dahulu,” tanya Richard yang membuat raut wajah Kimberly berubah keheranan. Sejak kapan suaminya itu peduli dengannya?“Aku belum makan,” jawab Kimberly dengan hati-hati dan penuh kecurigaan. Dia merasa ad
Kimberly berbaring di samping Richard dengan jantung berdetak kencang, hingga suara jantungnya bisa dia dengar dengan jelas. Dia mengira, tidur di ranjang yang empuk dan ruangan yang hangat akan membuat tidurnya nyenyak, namun sebaliknya. Dirinya malah terus merasa gelisah karena Richard berbaring di sampingnya. “Ada apa denganmu? Apakah ranjangnya kurang nyaman?” tanya Richard ketika melihat ekspresi tidur Kimberly terlihat tidak nyenyak. Kimberly yang belum tidur, seketika membuka mata dan menatap suaminya. “Aku merasa canggung tidur bersamamu,” ucapnya jujur. “Jangan bilang ini pertama kalinya kamu tidur dengan pria,” singgung Richard. Wajah Kimberly langsung memerah, dia langsung membantah karena malu jika dikatakan gadis culun dan polos, padahal apa yang Richard katakan memang benar, ini adalah kali pertama dia tidur seranjang dengan seorang pria. “Aku tidak sepolos yang kamu kira, ini bukan pertama kalinya aku tidur dengan seorang pria.” “Lalu kenapa kamu merasa canggung?”
Cerita Richard tentang gadis 10 tahun yang menjadi cinta pertamanya, begitu menyita hati dan pikiran Kimberly. Hal tersebut membuat Kimberly pada malam harinya bermimpi bertemu dengan seorang gadis kecil dengan rambut panjang kepang dua, yang tersampir di bahu kanan dan kiri. Gadis itu memakai rok putih tipis yang terkibar saat terkena tiupan angin, seperti sedang menari mengikuti kemana arah angin bertiup. Gadis itu muncul dari tengah hamparan bunga di bukit yang dirinya datangi bersama Richard. Situasinya menjadi menakutkan ketika gadis itu menatap dirinya dengan tatapan kosong, membuat bulu kuduk berdiri. Jantungnya berdetak kencang saat gadis itu bergerak mendekat ke arahnya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan sulit bernafas, ingin rasanya lari menghindari gadis itu, namun kakinya seolah tertanam di tanah di tempatnya berpijak. Dia berusaha menjerit minta tolong, namun suaranya hanya berhenti di tenggorokan tanpa bisa keluar dari mulut. Gadis kecil itu berhenti tepat di depan K
Seulas senyuman terus terkembang di bibir Kimberly saat wanita itu menyiram bunga di halaman rumah. Ingatan tentang Richard yang memeluknya semalaman, menari-nari di kepala. Hatinya semakin berbunga-bunga ketika paginya saat dia membuka mata, pria itu masih mendekapnya.Bukan hanya itu, hatinya semakin melambung tinggi ketika sebelum beranjak dari ranjang, Richard memberinya kecupan manis di kening dan bibir. Dirinya dibuat melayang oleh sikap suaminya yang sangat lembut dan manis, berbeda dengan Richard yang dia kenal sebelumnya.Kini aroma tubuh pria itu melekat kuat di indra pembaunya. Rasa mint bibir suaminya, membuatnya ingin merasakan dan melumatnya lagi.“Ternyata pernikahan ini tidak semenakutkan yang aku bayangkan,” kata Kimberly dalam hati.Kimberly mengungkapkan kebahagiaannya dengan mendendangkan sebuah lagu, pinggul dan tubuhnya ikut bergerak mengikuti nada lagunya. Tangannya yang memegang selang air, juga ikut bergerak hingga airnya ikut menari mengiringi kebahagiaannya.
Setelah kedatangan Jimmy, sikap Richard kembali seperti dulu lagi. Tidak ada kehangatan dan kelembutan, yang ada hanya sikap dingin yang tidak bersahabat.Kimberly sangat merasakan perubahan tersebut, bahkan ketika mereka tidur dalam satu ranjang, Richard sama sekali tak bicara padanya. Hal tersebut membuatnya merasa serba salah dan canggung.“Kalau boleh tahu, apa yang kamu bicarakan dengan Jimmy?” Kimberly mencoba membuka percakapan untuk mengurangi rasa canggungnya.“Aku sedang tidak ingin membicarakannya,” jawab Richard dengan tetap memejamkan mata, seolah tidak ingin diganggu.“Apakah ada masalah? Mungkin aku bisa membantumu,” tawar Kimberly.Richard akhirnya membuka mata dan menatap istrinya. “Aku butuh ruang dan waktu untuk sendiri.”Mendengar hal tersebut, Kimberly seketika menatap nanar ke arah suaminya. Dia kemudian menegakkan tubuhnya dan mengambil posisi duduk.“Jika kamu ingin sendiri, apakah itu artinya kamu ingin kita kembali dengan kamar terpisah seperti sebelumnya?” K
Kimberly melihat keterkejutan Richard ketika dirinya masuk ke ruang pertemuan. Dia tahu, Richard pasti sudah menyuruh Jimmy untuk melarangnya masuk. Namun dia tidak akan membiarkan dirinya seperti orang bodoh yang tidak tahu apa yang terjadi.Ada ekspresi kemarahan di wajah pria itu,tetapi Kimberly memilih untuk mengabaikannya dan tetap berada di ruang pertemuan tersebut.Tak lama setelah dirinya masuk, Jimmy muncul dan berusaha mengajaknya keluar dari ruang pertemuan, tetapi dia menolak dengan tegas.“Aku akan tetap di sini bersama suamiku,” tolaknya pada Jimmy.“Tuan Richard akan marah jika Anda tetap berada di sini,” Jimmy berusaha mengingatkan, tetapi dia tidak bergeming.Pria itu hampir saja menyentuhnya untuk membawanya keluar dari ruang pertemuan, namun tiba-tiba dia menjauh dan pergi dari ruangan tersebut, membuat Kimberly merasa bingung dengan sikap Jimmy yang berubah dengan cepat.Tanpa Kimberly tahu jika Richard menatap tajam ke arah Jimmy, membuat pria itu menyadari jika R
Rumah yang Richard maksud bukanlah rumah mereka di Woodstock. Pria itu mengajak Kimberly ke sebuah gedung mewah dan membawanya ke lantai tertinggi gedung tersebut. Kimberly terkejut ketika masuk ke sebuah penthouse luas dan megah dengan fasilitas modern dan mewah.Penthouse tersebut berdinding kaca sehingga dia bisa melihat pemandangan kota di bawah kakinya. Seperti terhipnotis, Kimberly pun berjalan mendekati dinding kaca tersebut dan menatap pemandangan indah di depannya, rasanya seperti tinggal di atas awan.Richard berdiri di belakang istrinya dan menatap punggung wanita itu dengan tatapan tak terbaca. Ingin sekali menyentuh wanita itu, namun saat ini dia tidak bisa percaya pada siapapun termasuk istrinya sendiri. Apalagi Kimberly adalah wanita yang dipilih Johana untuk menikah dengannya.Sambil melonggarkan dasinya, Richard berjalan di belakang Kimberly sambil berkata, “disini hanya ada satu kamar, jadi kita akan tidur bersama kembali.”Kimberly langsung menoleh menatap suaminya,