Timmy mendatangi Kimberly dengan raut wajah cemas. Dia semakin tidak mengerti dengan pernikahan yang majikannya jalani, namun dia tidak mempunyai hak untuk mencampuri urusan mereka.
“Ada apa dengan wajahmu? Apakah kamu sakit?” tanya Kimberly ketika melihat Timmy mendekat dengan wajah pucat.
“Tuan Richard sama sekali tidak mau makan, saya khawatir dengan kesehatannya,” jawab Timmy.
“Sampai sekarang Richard belum mau makan juga? Sudah hampir seminggu aku memberinya waktu untuk merenung karena dia harus tinggal di Woodstock. Aku kira kemarahannya akan redam dengan sendirinya, namun tetap saja dia bersikap keras kepala. Ini tidak bisa dibiarkan, aku akan bicara dengannya,” ujar Kimberly yang kemudian pergi ke kamar pria itu untuk bicara dengan suaminya.
Dia tidak peduli Richard akan semakin marah dengan kedatangannya, yang penting pria itu mau makan demi kesehatannya.
Ketika Kimberly membuka pintu kamar, suasana di dalamnya diliputi kegelapan karena tirai jendela kamar yang masih tertutup rapat sehingga cahaya matahari sulit untuk masuk. Sebelum membangunkan Richard, Kimberly berjalan ke arah tirai tersebut dan membukanya, membiarkan matahari pagi yang hangat masuk ke kamar.
“Richard, bangunlah! Kamu harus makan,” ucap Kimberly membalikkan tubuhnya dan berjalan ke ranjang suaminya.
Kening Kimberly berkerut heran ketika melihat wajah Richard yang tampak lebih merah dari biasanya, tidur Richard juga terlihat terlalu tenang tanpa terusik dengan kedatangannya. Sadar ada yang tidak beres, Kimberly langsung berlari dan naik ke ranjang.
“Richard, bangun!” serunya sambil menepuk-nepuk pipi suaminya, tetapi tidak ada respon.
“Astaga, kenapa tubuhmu panas sekali? Bangun Richard! jangan membuatku takut.”
Kimberly masih berusaha membangunkan suaminya dan berharap jika pria itu hanya pura-pura tidak sadarkan diri. Namun hatinya tetap merasa jika Richard tidak sedang baik-baik saja.
“Timmy!” teriak Kimberly meminta bantuan.
Tak lama kemudian, Timmy masuk ke kamar sambil lari tergopoh-gopoh karena tidak biasanya Kimberly berteriak keras memanggil namanya.
Saat Timmy masuk ke kamar dan melihat keadaan Richard yang sedang berusaha dibangunkan Kimberly, wajah wanita tua itu langsung memucat. “Ada apa dengan Tuan Richard?”
“Cepat panggilkan dokter! Richard harus segera mendapat pertolongan,” perintah Kimberly tanpa menjawab pertanyaan Timmy.
“Baik Nyonya,” ucap Timmy yang langsung keluar dari kamar dan memanggil dokter terdekat di daerah tersebut.
Beruntung dokter yang Timmy panggil segera datang. Dia langsung memeriksa keadaan Richard dan menanganinya dengan baik, membuat kepanikan Kimberly berangsur turun.
“Bagaimana dengan keadaannya suamiku, Dok?” tanya Kimberly ketika dokter itu selesai memeriksa Richard.
“Tuan Richard mengalami dehidrasi sehingga tubuhnya sangat lemah dan tekanan darahnya rendah. Dia mengalami hilang kesadaran, beruntung kita tidak terlambat menolongnya. Jika sedikit saja terlambat, maka nyawa Tuan Richard bisa saja tidak tertolong,” jawab dokter itu yang membuat tubuh Kimberly gemetar ngeri.
Dia tidak bisa membayangkan jika tadi menemukan Richard dalam keadaan tak bernyawa di atas ranjang. Jika hal itu terjadi, maka itu akan menjadi akhir dari hidupnya juga karena keluarga Jackson pasti akan menyalahkan dan menuntutnya atas kematian Richard.
“Apakah kita harus membawanya ke rumah sakit?” nada Kimberly terdengar bergetar ketika mengatakannya.
“Akses ke rumah sakit agak sulit dan beresiko, saya sudah memasang infus sebagai nutrisi agar cairan tubuh yang dibutuhkan Tuan Richard bisa terpenuhi dan saya juga telah memberinya obat untuk menurunkan demamnya. Pastikan saja Anda sering-sering memberi minum kepada Tuan Richard,” jelas dokter tersebut.
“Kapan aku harus memberinya cairan rehidrasi yang Dokter resepkan?”
“Sebelum dia sadar, Anda bisa meneteskan secara periodik ke mulut Tuan Richard untuk menghindari terjadinya dehidrasi yang lebih parah. Jika sudah bangun, Anda bisa memintanya meminumnya. Jika resep yang saya berikan sudah habis dan saya belum bisa datang untuk memeriksa keadaan Tuan Richard kembali, Anda bisa menyiapkan minuman dengan menambahkan garam dan gula.”
Kimberly mengangguk mendengarkan dan memahami semua petunjuk yang dokter berikan. Dia tidak ingin kecolongan lagi hingga tidak tahu jika Richard sakit parah.
“Hubungi saya jika sampai nanti malam Tuan Richard belum sadar.”
“Baik Dok, terima kasih atas bantuannya.”
Setelah dokter itu pergi, Kimberly mengambil air hangat dan handuk bersih. Sebelum hilang kesadaran, Richard pasti mengalami demam sehingga pakaiannya basah karena keringat. Dia pun membuka pakaian Richard dan membersihkan tubuh pria itu.
“Kenapa kamu begitu keras kepala? Tidak ada untungnya kamu sakit seperti ini. Kenapa tidak kamu terima saja tempat ini? kita bisa hidup dengan baik di sini,” gumam Kimberly sambil mengusap tubuh suaminya dengan handuk yang dibasahi dengan air hangat tersebut. Dia tidak peduli jika omelannya tidak didengar oleh Richard.
Hari itu, Kimberly sama sekali tidak meninggalkan Richard. Dia selalu memeriksa keadaan suaminya dan bisa bernafas lega saat suhu tubuh Richard berangsur normal. Kimberly membuat cairan yang dokter resepkan untuk Richard dan secara berkala meneteskannya di permukaan mulut Richard.
Menjelang sore, Kimberly merasa sangat lelah dan kelopak mata pun terasa berat, tanpa sadar dia tertidur di kursi yang ada di kamar itu.
Richard membuka mata dengan merasa sangat haus. Matanya berkunang-kunang dan dia butuh beberapa menit untuk bisa melihat dengan jelas. Dirinya terkejut ketika melihat selang infus yang terpasang di tangannya dan melihat Kimberly yang tertidur pulas di kursi.
Richard berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir kali dia melakukan olahraga ekstrim untuk melatih kakinya. Dia tidak bisa terus berada di kursi roda dan Johana dengan mudah mempengaruhi papanya.
Keinginan untuk bisa berjalan kembali membuat Richard terus berlatih setiap hari dan terus menambah jam latihannya. Hari itu saat dirinya melatih kakinya untuk berjalan selama beberapa jam, tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing.
Dia menghentikan latihannya dan berniat untuk berbaring sebentar sebelum mandi dan membersihkan dirinya. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi.
Matanya menelusuri sudut kamar, untuk mengamati sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri. Matanya terhenti ketika melihat wajah polos Kimberly yang tertidur. Wajah itu seperti magnet yang membuat Richard terus menatapnya. Untuk beberapa saat, dirinya seakan tenggelam dalam keteduhan wajah itu.
Richard menggelengkan kepala saat menyadari dia baru saja terpesona dengan kecantikan Kimberly. “Saat ini bukan waktunya untuk memikirkan wanita. Fokusku tidak boleh teralihkan, aku harus bisa kembali ke kota dan merebut kendali Johana atas papa dan kekayaan Jackson,” batinnya.
Lamunan Richard buyar ketika melihat Kimberly mulai terbangun dari tidurnya. Dengan cepat Richard kembali menutup mata dan pura-pura tidur.
Tatapan Kimberly langsung tertuju pada suaminya. Dia beranjak dari kursi dan mendekati ranjang. “Richard, apakah kamu belum bangun? Bangunlah! Jika kamu tidak bangun, aku khawatir harus membawamu ke rumah sakit.”
Tangan Kimberly mengusap pipi Richard untuk membangunkannya. Dia tidak menyangka jika tiba-tiba Richard membuka mata sehingga mata mereka bertabrakan dan saling menatap. Tubuh keduanya membeku karena sama-sama terkejut atas kondisi yang tak terduga tersebut..
“Menyingkirlah dariku!” ucap Richard dingin setelah dia mendapatkan kesadarannya kembali.
Kimberly dengan cepat menjauhkan tubuhnya karena perkataan Richard. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Kimberly menyembunyikan rasa gugupnya karena kedekatannya dengan Richard.
“Itu bukan urusanmu, pergilah dari kamarku!” usir Richard.
Pria itu berusaha duduk dengan susah payah karena tubuhnya terlalu lemah. Kimberly yang mengetahui kesulitan Richard, berusaha untuk menolongnya, tetapi Richard menyingkirkan tangan Kimberly.
“Kamu adalah suamiku, jadi apapun yang terjadi padamu akan menjadi urusanku,” tegas Kimberly berusaha untuk tidak sakit hati atas penolakan Richard.
“Suami ...? bahkan pernikahan kita hanyalah sandiwara. Jangan mengada-ngada dan melebih-lebihkan. Pergilah! aku ingin tidur dan istirahat.”
“Kamu harus minum obatmu dulu sebelum tidur,” ucap Kimberly berusaha untuk tetap pada pendiriannya.
“Aku tidak butuh obat, untuk apa aku meminumnya.”
Kening Kimberly berkerut kesal dengan sifat keras kepala Richard. “Kamu hampir mati Richard dan kini kamu bilang tidak butuh obat? Bersikaplah waras untuk sebentar saja, hentikan rasa marahmu itu yang malah merugikan dirimu sendiri.”
“Aku tidak butuh saran dan nasehatmu,” ucap Richard dingin.
Kimberly menghela nafas panjang, berusaha bersabar menghadapi suaminya. Dia kemudian mengambil obat, menaruhnya di sebuah sendok dan mengulurkannya pada Richard, tetapi pria itu memalingkan wajah menghindari obat yang Kimberly berikan.
“Aku tidak sakit, minum saja sendiri jika kamu memaksa.”
Geram dengan sikap Richard, Kimberly mengambil keputusan gila. “Baiklah, aku akan meminumnya,” ucap Kimberly yang membuat Richard terkejut.
Mata pria itu terbelalak ketika Kimberly benar-benar meminum obatnya. Yang tidak Richard sangka ketika Kimberly meraih dan menahan kepalanya.
Bibir wanita itu menempel di bibirnya dan dengan paksa Kimberly memasukkan obat ke dalam mulutnya melalui mulut wanita itu, Kimberly memastikan jika suaminya telah menelan obatnya.
Richard secara spontan mendorong tubuh Kimberly hingga wanita itu jatuh dengan keras ke lantai kamar, dia terbatuk karena obat yang masuk ke dalam tenggorokannya.
“Kamu gila!” teriak Richard mengumpat dengan keras.
“Hanya orang gila yang bisa bertahan dengan pria pemarah sepertimu,” ucap Kimberly yang kemudian berdiri dan keluar dari kamar Richard.
Sebuah rumah klasik elegan dengan halaman yang luas disulap menjadi taman yang indah penuh dengan bunga segar dilengkapi kelambu putih sehingga menciptakan suasana romantis.Karpet putih dengan rangkaian bunga harum tergelar menuju sebuah altar dengan dekorasi yang mengagumkan. Kanan kiri karpet tersebut berjajar rapi kursi kayu yang siap menampung para tamu undangan dalam pesta pernikahan Jackson.Saat matahari merangkak meninggi, satu persatu kursi tersebut mulai terisi yang didominasi oleh keluarga besar Jackson.Pernikahan Allie dan Arlo digelar dua minggu setelah lamaran mereka. Meski dengan persiapan yang singkat namun pesta yang digelar tidak mengecewakan. Keduanya sepakat hanya mengundang tamu terbatas demi menjaga kesakralan upacara pernikahan.Acara tersebut digelar di rumah yang akan menjadi tempat tinggal Arlo dan keluarga kecilnya bersama Allie, rumah yang didesain oleh Arlo sendiri sesuai dengan impian yang pernah Allie ceritakan padanya.Tak lama setelah kursi penuh par
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Arlo berlari mendapatkan Allie ketika wanita itu keluar bersama Britne untuk menemui keluarga Jackson yang masih berkumpul di ruang makan. Ketegangan masih tampak jelas di raut wajah mereka.Allie menatap Arlo dengan tatapan bersalah membuat jantung pria itu berdetak kencang dan rasa gelisah mencengkram hatinya, mengira jika Allie menolak lamarannya.“Apakah kamu ingin bicara berdua saja denganku sebelum kita bertemu keluargaku? Aku tidak ingin kamu terbeban dengan lamaran yang aku ajukan,” lanjut Arlo ingin menenangkan wanita yang dia cintai.“Maafkan aku karena merusak lamaranmu,” balas Allie dengan nada tercekat.“Aku yang seharusnya meminta maaf karena terlalu terburu-buru melamarmu dan membuatmu syok. Aku bisa mengerti jika kamu belum bisa memberikan jawaban, sekarang yang terpenting kamu baik-baik saja.”Britne yang mencuri dengar perkataan Arlo, menepuk pundak sepupunya itu. “Jangan terlalu cepat menyimpulkan, beri Allie waktu untuk bicara!”
“Apakah kamu merasa gugup?” tanya Arlo menggenggam tangan Allie yang terkait dan terlihat gemetar.Keduanya berada di dalam mobil yang berhenti di depan teras kediaman Jackson, sedangkan Barnes tidur di bahu Arlo.“Sedikit,” jawab Allie pelan. “Ada siapa saja di sana?” lanjutnya sambil menatap rumah besar dan megah milik keluarga Jackson.“Semuanya ada di sana, Britne pun ada di sana.”“Bisakah kamu memberi waktu sebentar, aku masih terlalu gugup,” pinta Allie.“Aku akan menemanimu di sini,” balas Arlo tak ingin meninggalkan wanita yang dicintainya, tanpa ragu memeluk dan mengusap punggung Allie.Setelah keberanian Allie terkumpul, dia mengajak Arlo untuk masuk. “Aku sudah siap,” ujarnya.Arlo menggandeng tangan wanita yang dicintainya dengan posesif dan membawanya ke ruang tengah rumah itu, dimana keluarga besarnya sering berkumpul di sana.“Selamat malam,” sapa Arlo membuat semua orang di ruangan itu menoleh dan menatap kedatangan mereka.Keadaan seketika menjadi sunyi, semua mata t
“Tidak perlu khawatir, aku bisa mengajarimu bagaimana menjadi wanita Jackson,” suara Kimberly mengagetkan Allie.Dia menoleh dan mendapatkan wanita itu berjalan mendekatinya dengan Barnes ada di gendongannya.“Apakah Barnes merepotkanmu, Nyonya Kimberly?” ucap Allie sambil mengambil putranya dari gendongan Kimberly.“Dia anak yang cerdas dan menggemaskan, wajahnya sangat mirip dengan Arlo saat masih seumurannya, Barnes sama sekali tidak merepotkanku,” kata Kimberly.“Terima kasih telah menjaganya.”“Kamu tidak perlu berterima kasih karena dia juga cucuku. Aku berharap malam ini kamu dan Barnes akan menginap di kediaman Jackson sehingga aku punya banyak waktu untuk mengenal cucuku,” balas Kimberly tersenyum mendengar ocehan Barnes.Tubuh Allie menegang mendengar harapan Kimberly akan dirinya dan Barnes. Rasanya terlalu cepat untuk masuk ke dalam keluarga billionaire tersebut.“Aku akan bicara dengan Arlo terlebih dahulu,” Allie mencari alasan untuk menghindar dan berniat untuk melarang
Allie membuka mata dengan senyum cerah mengingat percintaan panasnya bersama Arlo semalam serta hubungan mereka yang membaik. Dia mencari keberadaan pria itu dan menemukannya sedang duduk di pinggir ranjang membelakanginya.Pria itu masih belum berpakaian hingga memperlihatkan punggungnya yang menawan membuat matanya tak berkedip dan tatapannya tak bisa lepas dari sana.Sadar jika Arlo sedang menerima panggilan dari ponselnya, membuat Allie sengaja tidak mengganggunya. Dia menggeser tubuhnya mendekati Arlo lalu mengusap punggung pria itu.“Siapa yang menelepon sepagi ini?” tanyanya saat melihat Arlo mengakhiri panggilan.Pria itu menoleh dan memperlihatkan wajah tegang yang tidak bisa disembunyikan membuat Allie merasa cemas. “Apakah semua baik-baik saja?”“Mamamu masuk rumah sakit,” ujarnya.“Ada apa dengan mamaku? terakhir kali aku bicara dengannya, dia baik-baik saja.”“Dia mengalami kekerasan dari papa tirimu, aku meminta bantuan papa untuk menangani kasus mamamu.”“Aku harus kemb
Allie merasa senang telah mengizinkan Arlo menghabiskan waktu bersama putranya. Wajah pria itu terus berbinar penuh kebahagiaan, hal itu membuat Allie bertekad bulat untuk menjadi wanita yang pantas untuk Arlo, wanita dewasa dan elegan yang tidak gegabah menyimpulkan sesuatu yang dia lihat dan dengar.Malam harinya Allie mengunci diri di kamar mandi cukup lama, menatap dirinya di cermin dengan pakaian menantang. Lingerie transparan dipakainya, hingga tubuhnya terlihat sangat menggoda dengan aset-aset yang tak bisa disembunyikan.“Apakah aku terlihat seperti wanita jalang?” gumamnya pada diri sendiri.“Persetan dengan hal itu, aku ingin menyenangkan Arlo malam ini,” Allie berusaha menghapus keraguan yang menyelimuti.“Sayang, apakah kamu baik-baik saja?” suara Arlo dari luar mengagetkan.“Aku baik-baik saja,” jawab Allie cepat.“Kamu sudah terlalu lama di kamar mandi, itu bisa membuatmu sakit,” Arlo mengingatkan.“Sebentar lagi aku akan keluar.”“Apakah kamu tidak nyaman aku berada di
Allie menghentikan kegiatan memasak ketika ada yang mengetuk pintu rumah. Dia membersihkan tangan dengan serbet lalu pergi untuk membuka pintu bagi tamunya.Keningnya berkerut heran ketika melihat seorang wanita cantik setengah baya dengan kacamata hitam dan pakaian elegan berdiri di depannya.“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Allie sopan.Wanita itu membuka kacamata dan tersenyum ramah. “Apakah kamu bernama Allie?” wanita itu ganti bertanya.“Benar Nyonya, apakah aku mengenalmu?” Allie semakin heran dengan identitas tamunya.Wanita itu kemudian mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. “Namaku Kimberly Jackson, istri dari Richard Jackson, mama Arlo. Senang bertemu denganmu, Allie. Sudah lama aku ingin melihat wajahmu.”Wajah Allie seketika memucat mengetahui siapa yang berdiri di depannya, tubuhnya menegang merasa terancam oleh kedatangan wanita itu. Dia teringat bagaimana papa Arlo mengusir dan menyuruhnya pergi menjauh dari putranya.“Arlo sedang berada di rumah Britne, kamu bis
“Aku mengambil resiko besar dengan kembali membiarkanmu menyentuhku lagi,” ujar Allie sambil mengusap dagu Arlo yang ditumbuhi rambut-rambut kecil kasar, menelusuri dengan jari lentiknya.Mata Arlo terpejam menikmati sentuhan yang mengalirkan sengatan listrik kecil, lalu mengerang merespon. Saat pria itu membuka mata, Allie bisa melihat tatapan yang menggelap penuh gairah.“Fokuslah padaku saja! Abaikan semua hal yang menjadi penghalang hubungan kita,” pinta Arlo dengan tatapan penuh komitmen akan hubungan kita.“Berjanjilah kamu tidak akan mengambil Barnes dariku!”“Aku berjanji. Tak sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk memisahkanmu dengan putra kita. Dia akan tetap bersamamu, bersama kita.”“Kita …?” gumam Allie lirih.Arlo merendahkan kepala lalu mendekatkan bibir di telinga Allie. “Ya, kita. Kita akan menjadi keluarga yang utuh. Jangan sampai karena keegoisan, Barnes kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan.”Bisikan Arlo seperti mantra yang meluluhkan hati. Desah
Saat matahari sudah tinggi, Allie terbangun dari tidurnya dan terkejut karena dia bangun terlalu siang. Hal ini karena dirinya baru saja tidur beberapa menit sebelum matahari terbit.Dia segera membersihkan diri dan pergi ke kamar Barnes untuk memeriksa keadaan putranya. Lagi-lagi dia dikejutkan dengan keberadaan Arlo yang ada disana. Ada warna gelap di kantung mata pria itu, membuatnya sadar jika Arlo tidak tidur semalaman.“Apakah kamu tidak tidur?” tanya Allie.“Aku tidak bisa tidur, hujan dan petirnya baru berhenti dini hari dan mungkin juga karena aku terlalu senang bisa menghabiskan malam bersama putraku. Tapi jangan khawatir, semalam Barnes bisa tidur dengan nyenyak dan aku tidak mengganggunya,” jawab Arlo tidak ingin Allie salah paham padanya.“Bersihkan dirimu! aku akan membuat sarapan. Setelah kamu makan, kamu bisa tidur lalu pulang ke New City,” tegas Allie masih memasang dinding tebal terhadap Arlo.Selesai sarapan, Allie mengizinkan Arlo untuk tidur di kamarnya. Dia tidak