Share

7. Gejolak Rasa Tak Terungkap

Richard memutuskan tatapannya dan masuk ke rumah tanpa menunggu jawaban istrinya.

Kimberly yang sadar akan tatapan marah Richard langsung mengejar pria itu tanpa mempedulikan Axton. “Richard tunggu!” serunya.

Tahu jika Kimberly mengejarnya, Richard memilih berpura-pura tidak mendengar dan terus mendorong kursi rodanya menjauh.

Dengan langkah panjang, Kimberly berlari dan menutup jalan Richard sambil merentangkan kedua tangan di depan pria itu. “Kita harus bicara, aku tidak ingin kamu salah paham dengan apa yang kamu lihat.”

“Untuk apa aku salah paham, bahkan aku tidak peduli jika kamu pergi dan bersenang-senang dengan pria itu. Paling tidak urus suamimu terlebih dahulu sebelum kamu pergi dengan pria lain,” sindir Richard.

Terasa desiran dan rasa senang yang merayap di hati Kimberly, ketika untuk pertama kali Richard menyebut dirinya sebagai suaminya. “Su-suami ..?” gumam Kimberly lirih.

Richard berdehem menormalkan suara, menyadari dirinya telah salah memilih kata. Dia pun kembali mengeraskan rahang, mempertahankan raut wajah dingin.

“Yang aku benci adalah kenapa kamu harus memilih Axton padahal masih banyak pria lain di sini? apakah kamu sengaja melakukannya karena ingin membuatku marah?” tuduh Richard.

“Aku tidak tahu jika kalian saling bermusuhan, aku baru mengetahuinya setelah Axton menceritakan hubungan kalian yang kurang baik. Aku dan Axton hanya berteman karena dia adalah orang pertama yang menyambutku di Woodstock.”

“Seberapa dekat dirimu dengan Axton sehingga pria itu langsung menceritakan permusuhan kami, padahal dia tahu jika kamu seorang Jackson? Seharusnya dia menjauh darimu bukan malah menyambutmu.”

“Kami tidak sedekat yang kamu pikirkan. Aku tidak tahu kenapa dia bersikap ramah padaku, dia hanya bilang jika aku berbeda dengan anggota keluarga Jackson yang lain. Dia juga bilang jika aku lebih cocok menyandang nama Hogan dari pada nama Jackson, tetapi aku tidak menanggapi perkataannya.”

Seringai sinis terkembang di bibir Richard. “Seorang Hogan? Pergilah jika kamu ingin menjadi seorang Hogan.”

“Bukan itu yang aku maksud, aku hanya berkata jujur padamu.”

“Kamu tidak harus berkata jujur padaku karena aku tidak peduli dengan kalian.”

Richard kemudian memaksa untuk terus maju meski Kimberly ada di depannya. Kimberly yang merasa mereka belum selesai bicara, menahan kursi roda Richard dengan menunduk dan mencengkram sandaran tangan kursi roda itu.

Perlawanan Kimberly membuat Richard menatap nyalang wanita itu. “Minggir! Jangan menghalangi jalanku. Kamu pikir karena aku lumpuh aku tidak bisa melawanmu. Aku masih punya kekuatan untuk melawan kalian semua.”

“Aku tidak sedang ingin melawanmu, kita belum selesai bicara dan kamu tidak boleh pergi sebelum kita menyelesaikan kesalahpahaman ini.”

“Minggir!” seru Richard marah sambil mendorong tubuh Kimberly dengan kuat.

Kimberly yang tidak siap dengan gerakan Richard, jatuh ke belakang dan menabrak vas bunga besar yang berada tepat di belakangnya hingga keduanya jatuh bersamaan. Vas bunga itu pecah dan pecahannya menggores tangan Kimberly yang belum sembuh sepenuhnya dari masakan panas yang menyiram tangannya.

Darah pun langsung keluar dari lukanya dan mengalir ke telapak tangan. Kimberly terpekik kesakitan sambil menekan lukanya yang penuh darah.

Richard terkejut dengan hal yang tak terduga tersebut, dia ingin berlari menolong Kimberly namun dia sadar tidak bisa melakukannya sehingga dia hanya bisa membeku di kursi roda merasa seperti pria tak berguna.

Dia tidak bermaksud melukai Kimberly, namun itu yang selalu dia lakukan terhadap wanita itu. Merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan, Richard mendekati Kimberly dan berusaha menolongnya dengan mengulurkan tangan, namun wanita itu menyingkirkan tangan Richard yang terulur.

“Sampai berapa kali kamu akan melukaiku? Apakah sampai aku harus memotong tanganku dan ku serahkan padamu?” ucap Kimberly dingin sambil berusaha berdiri.

“Aku tidak sengaja melakukannya. Lain kali jangan pernah melakukan sesuatu yang membuatku marah.” Perkataan Richard semakin membuat Kimberly bertambah kesal.

“Jika kamu marah lagi, apa yang akan kamu lakukan padaku? Membunuhku? Bahkan dari hari pertama aku sampai ke tempat ini, aku harus tidur dengan menahan rasa dingin karena kemarahanmu. Belum lagi kamu mengguyur tanganku dengan masakanku sendiri yang masih panas dan sekarang kembali melukai tanganku.”

“Aku tidak pernah dengan sengaja melakukannya.”

“Sengaja atau tidak, rasa sakitnya tidak ada bedanya.” Saking marahnya pada suaminya, Kimberly kemudian menjauh pergi dari hadapan pria itu.

“Kamu mau kemana?” tanya Richard sebelum wanita itu menghilang.

“Mempersiapkan diriku untuk menghadapi kemarahanmu selanjutnya,” sindir Kimberly yang kemudian berlalu dari hadapan Richard.

Richard mengumpat keras dengan apa yang telah dia perbuat. Seharusnya dia melimpahkan semua kemarahannya kepada Johana, bukan pada Kimberly. Kini wanita itu yang selalu terluka karena dirinya.

Malam itu dia terus terjaga menunggu kepulangan Kimberly, menurunkan egonya untuk meminta maaf atas perbuatannya. Tetapi Kimberly ternyata tidak pulang ke rumah hingga keesokan paginya.

Richard yang sama sekali tidak tidur, segera menuju pintu rumah ketika melihat Kimberly pulang keesokan paginya. Melihat luka istrinya yang telah diperban dengan rapi, membuat Richard penasaran siapa yang mengobati tangan wanita itu.

“Dari mana saja kamu semalaman?” tanya Richard yang terdengar seperti sedang mengintrogasi pelaku kriminal, membuat Kimberly memasang wajah dingin merespon pertanyaan Richard.

“Itu bukan urusanmu,” jawab Kimberly sambil berjalan melewati Richard begitu saja.

“Aku suamimu, seharusnya kamu menghormatiku.”

“Suami? Sejak kapan kamu menganggapku sebagai istrimu? Apakah pantas seorang suami menyuruh istrinya pergi dengan pria lain dan melukainya.”

Pernyataan Kimberly yang membuat ambigu membuat Richard salah menyimpulkan apa yang ingin wanita itu sampaikan. “Jadi kamu menemui Axton dan pria itu yang memperban lukamu?”

Kening Kimberly berkerut dalam dan tidak percaya dengan tuduhan yang suaminya lemparkan padanya. Darahnya mendidih karena kemarahan yang menghentakkan dada. Tahu jika Richard tidak menyukai Axton, maka dengan sengaja Kimberly mengiyakan apa yang Richard tuduhkan.

“Ya, aku menemuinya. Aku tidur di rumahnya semalam, dia yang menjaga dan membalut lukaku. Dia menggantikan tugas yang seharusnya kamu lakukan. Apakah sekarang kamu puas?”

Tangan Richard seketika mencengkeram sandaran tangan kursi roda dengan kuat. Nafasnya menderu kasar karena kemarahan yang ingin meledak dari dalam dirinya. Richard membayangkan Kimberly tidur dan menghabiskan malam bersama dengan Axton.

“Dasar wanita jalang!” umpat Richard dengan keras.

Mata Kimberly memerah mendengar umpatan tersebut. Dia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, menahan air mata yang ingin keluar. Mulutnya bungkam karena jika satu saja kata keluar dari mulutnya akan membuat emosinya meledak.

Dia menghirup udara banyak-banyak dan mengisi paru-parunya dengan oksigen, berusaha menenangkan diri. “Timmy akan datang membuatkanmu sarapan, dia juga yang akan menyiapkan keperluan mandimu. Wanita jalang ini butuh waktu untuk menenangkan diri,” ujar Kimberly yang kemudian berbalik pergi, mengurungkan niatnya untuk pulang.

Rumah yang dia tuju sudah tidak seperti rumah lagi baginya. Dadanya terasa sesak setiap kali masuk ke rumah itu, perkataan kasar Richard menghancurkan dirinya dan kini dia juga harus mendapatkan luka fisik karena kemarahan pria itu.

Kimberly berlari menuju tempat yang dia datangi bersama Axton, berharap tempat itu bisa membuat hatinya tenang kembali dan bisa menghadapi Richard dengan kekuatan baru.

*

Richard meremas dan mengacak rambutnya setelah kepergian Kimberly, sia-sia saja dia menunggu wanita itu pulang sedangkan wanita yang dia tunggu ternyata bersenang-senang dengan pria lain yang tidak lain adalah musuhnya.

Kepalanya mulai berdenyut sakit dengan kantung mata yang menggelap karena dia harus terjaga semalaman. Dia pun mendorong kursi rodanya untuk kembali ke kamar.

“Selamat pagi Tuan Richard,” suara Timmy menghentikan gerakan Richard mendorong kursi rodanya.

“Aku tidak akan sarapan, aku ingin tidur jadi pergilah!” usir Richard.

“Saya datang untuk mengantarkan bahan makanan yang masih segar yang baru saja saya petik dari kebun, semalam Nona Kimberly ingin memasak sop sehingga menyuruh saya mengambil semua bahan makanan ini. Nona Kimberly sendiri yang ingin memasak untuk sarapan Anda.”

Perkataan Timmy membuat Richard menajamkan pendengarannya. “Apakah semalam dia mendatangimu?” selidik Richard berharap dia tidak salah dengar.

“Benar Tuan, Nona Kimberly menginap di rumah saya karena saya harus membersihkan dan mengobati lukanya. Apakah Anda tidak tahu jika Nona Kimberly terluka? Dia tidak sengaja memecahkan vas bunga dan melukai tangannya, beruntung pecahan itu tidak merobek pembuluh darahnya. Dia bahkan harus mendapat beberapa jahitan dari dokter.”

Richard tidak menyangka jika luka Kimberly ternyata serius. “Apakah semalam dia benar tidur di rumahmu? Apakah kamu yakin?” Richard memastikan keterangan Timmy dengan perasaan bersalah yang menekan dadanya.

Setelah melukainya cukup serius, dia malah menuduh Kimberly bermalam dengan Axton dan menyebutnya wanita jalang.

“Saya tidak pernah berbohong pada Anda, Tuan Richard.”

Tubuh Richard pun terkulai lemas di kursi rodanya, sekali lagi dia menggoreskan luka pada Kimberly. Semakin lama Kimberly bersamanya, semakin banyak luka yang wanita itu terima.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status