Alex menekan bel dengan tidak sabaran, mengabaikan fakta kalau dia datang di malam hari dan orang-orang mungkin sudah mulai tidur.“Ayolah,” keluhnya tidak sabaran. Alex menyapu rambutnya gusar memandang pintu yang tertutup seolah semua penyebab kekacauan yang dialaminya diakibatkan oleh benda mati tersebut.Ketika Alex berniat menekan bel kembali pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang wanita muncul. Alex mengenalinya sebaga Flo, teman serumah Cahaya sebelum gadis itu menikah dengannya.“Apa Cahaya ada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.Kening Flo mengerut. “Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa dia ada di sini?” tanya Flo balik.Menilik dari penampilannya Alex tahu wanita itu sedang tidur dan mungkin terbangun karena kedatangannya. Jika Cahaya tidak ada di sini, di mana gadis itu berada? Ponselnya masih tetap mati.Alex memejamkan matanya, berusaha menekan amarah yang mengancam akan meledakkannya.“Apa terjadi sesuatu?” tanyanya Flo penuh selidik, ada kecemasan dalam suaranya.“To
Cahaya memandnag Alex dengan tatapan penuh curiga, yakin pria itu tidak menyadarinya karena ruangan yang gelap gulita. Apa yang dia pikirkan? Apa Alex pikir ia akan menyerah hanya karena pria itu datang menjemputnya?“Sebaiknya kau pulang, Alex, orang-orang pasti akan mencarimu.”“Kau mau pergi bersamaku?”“Dalam mimpimu.”Alex bergelung di ranjangnya yang kecil. Jasnya sudah di lepas dan sekarang digunakan sebagai selimut yang hanya bisa menutupi bagian depan tubuhnya. Cahaya melirik selimut miliknya. Ia tidak akan memberikannya tidak peduli jika pria itu kedinginan.“Kalau begitu kita akan di sini.”“Terserah, tapi aku tidak akan kembali.”“Jangan terlalu gegabah membuat keputusan. Siapa yang tahu kalau besok kau berubah pikiran?”Cahaya ikut menyampingkan tubuhnya. Dia berbairng membelakangi Alex. “Jangan terlalu berharap, kalau itu yang kau inginkan sebaiknya kau bersiap-siap kecewa.” Cahaya membalut tubuhnya dengan selimut sampai ujung kepala, tidak peduli jika panas dalam ruanga
“Lepaskan Alex, kau menginvasi ruang pribadiku.” Cahaya berusaha melepaskan diri dari suaminya dan untungnya Alex segera melepaskannya.“Jangan bercanda seperti itu lagi.”Cahaya mendengus. “Tidak masalah kalau kau bercanda seperti itu dan menjadi masalah ketika aku yang melakukannya? Kalian kaum pria memang seperti itu kan?”Cahaya mempercepat langkahnya karena tidak ingin berurusan lebih lama dengan Alex.“Cahaya tunggu!”Cahaya menulikan pendengaraannya. Ia masuk ke supermarket, mengabaikan kehadiran Alex yang terus mengekor di belakangnya. Beberapa pengunjung menatap mereka penuh minat, tapi Cahaya tahu mereka bukannya tertarik pada mereka, tapi pada Alex khususnya.“Aku bisa melakukan ini sendiri. sebaiknya kau pulang. Keluargamu pasti mencarimu.”“Aku bukan anak kecil lagi Cahaya dan keluargaku ada di sini.”Cahaya berhenti, ia menoleh pada Alex yang tersenyum menatapnya.“Aku tidak akan pulang.”“Aku akan membawamu meski harus menyeretmu Cahaya. Kau yang pilih jalannya.”Cahaya
"Idiot."Cahaya mengira kalau ia terbiasa mendengarnya rasa sakitnya akan semakin berkurang. Sejak kecil julukan 'bodoh, idiot, tolol' sudah menjadi makanan sehari-harinya. Kekurangannya menjadi bahan ejekan menyenangkan buat orang lain, tapi ternyata ia tetap merasakan tusukan kecil di sudut jantungnya."Jangan menyebutku, Idiot, Merlin, aku bukan idiot." Cahaya mulai membersihkan meja dan mengangkut gelas-gelas kotor. Jam kerjanya sebentar lagi habis, itu berarti ia bisa pulang secepatnya.Dan menjauh dari manager kafe bermulut pedas ini.Perempuan berambut sebahu dengan mata sebesar kelereng itu tersenyum mengejek. "Kalau bukan idiot kau mau disebut apa? bodoh? atau mungkin si Cacat?"Cahaya memejamkan mata, berusaha menekan amarah yang tiba-tiba menguasainya. Ia harus bisa bertahan, tidak banyak kafe yang mau mempekerjakan seseorang seperti dirinya. Cahaya mengangkut gelas dan membawanya ke belakang, memutuskan untuk mengabaikan Merlin, tapi ternyata wanita itu belum selesai denga
Jonathan Alexander Hardin, cucu kedua dari keluarga Hardin kini sedang berjalan melintasi ruang tamu keluarga dengan wajah sekeras batu dan kemarahan seperti granit. Langkahnya yang lebar membuat beberapa pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya otomatis mundur dan memilih menjauh.Tidak ada yang ingin berhadapan dengan Jonathan yang marah.“Di mana Granpa?” suaranya yang dingin dan terdengar kaku membuat pelayan yang ditanya menunduk takut-takut.“Beliau ada di ruang baca, Tuan.”Jonathan mengeluarkan sejumlah kata makian. Ia benci rumah ini, tapi sekarang ini ia tidak punya pilihan lain. Kakinya yang panjang berjalan menaiki 2 anak tangga sekaligus. Ia berbelok melewati lorong yang dindingnya dihiasi lukisan-lukisan mahal abad ke-16 dan langsung berhenti begitu melihat pintu ruangan yang Jonathan tuju.Dia menarik napas panjang dan dalam sebelum akhirnya menarik pintu terbuka.“Grandpa.”Suaranya berhasil menarik perhatian seorang pria tua yang tengah sibuk memandangi rak-rak buk
Terdengar suara ribut-ribut dan pekikan histeris saat Cahaya masuk kafe lewat pintu belakang. Para pelayan tampak sibuk berbisik satu sama lain. Wajah mereka terlihat sumringah dan juga penuh semangat. Jadi setidaknya bukan hal buruk yang sedang terjadi, pikirnya.Cahaya memandang Flo, teman sekamarnya yang hari ini satu sift dengannya.“Apa kita melewatkan sesuatu hari ini?”Flo mengangkat bahu. “Selama kita tidak terlibat dalam masalah, apa pun yang kita lewatkan bukan hal penting.”Cahaya tersenyum lebar. “Kau benar.”Mereka masuk ke ruang ganti dan mengganti pakaian dengan seragam kafe. Teriakan-teriakan yang mengikuti mereka mulai terdengar samar. Saat Cahaya bergerak ke depan untuk mengumpulkan gelas dan juga piring yang kotor, Merlin mencekal tangannya.“Dia lebih penting sejuta kali daripada dirimu. Jangan membuat kesalahan atau kau benar-benar akan dipecat kali ini.”Cahaya mengernyit tidak paham. “Apa maksudmu?”Merlin menunjuk gelas yang ada di meja konter.“Antarkan minuma
“Siapa kau, apa yang kau inginkan?” pria itu tersenyum sinis. “Bukankah seharusnya kita sudah melewatkan pertanyaan basa-basi itu?”“Ouh, Mister maksudku Tuan, aku tidak tahu tentang apa ini semua, tapi saat ini aku tidak tertarik mendengar basa-basi aku hanya ingin tahu apa maksudmu menjebakku di sini.”“Kau tidak tertarik?” Pria dengan setelan jas mewah buatan tangan itu kini menatap Cahaya seperti sebuah barang antik.“Tentu saja aku tidak tertarik. Aku tidak punya bakat menjadi aktris,” tukasnya jengkel.“Aktris?” Sekarang pria itu yang kelihatan bingung.“Ya, itu tujuan Anda da—““Alex, sudah kukatakan kau bisa memanggilku Alex.”Cahaya memindai Alex dengan tatapan penuh minat yang tidak disembunyikan. Pria itu jangkung, tingginya mungkin lebih dari 180cm, dan dari aksen dna juga garis wajahnya pria ini jelas tidak berasal dari negara yang sama dengannya atau mungkin blasteran?“Sudah?” Alex menyilangkan kedua lengannya. “Sekarang katakan apa kau punya minat untuk menikah?”Selam
Jonathan bersumpah kalau yang ia temui barusan adalah bocah yang menghibur hari-harinya yang menyedihkan dengan membaca novel-novel roman dan film romantis yang memberikan akhir bahagia penuh cinta dan juga kasih sayang. Sayang sekali, kedua hal itu jauh dari kehidupan Jonathan. Cinta dan kasih sayang mengabur dari dalam hidupnya seiring dengan pengkhianatan yang ia terima dan lihat.“Bagiamana? Sudah bertemu dengannya?”Jonathan menatap kakeknya lekat. Di antara semua orang di keluarga mereka kakeknya adalah satu-satunya orang yang ia hormati. Kakeknya banyak mengajarinya hal-hal yang membuatnya mampu bertahan di antara konflik keluarga yang terasa mencekik.“Dia benar-benar masih lugu. Ini tidak benar, Grandpa.”Alfred duduk di singgasananya. Mereka berada di ruang kerja Alfred sementara di lantai bawah ada keluarga yang sedang menunggu mereka. Semua keluarga malam ini berkumpul untuk mengumumkan pernikahan Jonathan dan ia tidak akan membiarkan keraguan atau ketidakyakinan tergambar