Share

Bab 6 Suara Ketus

“Huek … huek ….” Ale memuntahkan isi perutnya. Kehamilannya ini benar-benar payah sekali. Padahal sudah masuk empat bulan, tetapi mualnya belum juga hilang. Belum lagi terkadang kepalanya pusing.

Setelah isi perutnya keluar barulah Ale merasa lega sekali. Akhirnya lega juga. Dengan segera Ale keluar dari toilet dan membersihkan bibirnya di wastafel di depan kaca toilet. Sebelum keluar dari toilet, Ale merapikan make up-nya terlebih dahulu.

Ale keluar dari toilet. Namun, dia dikagetkan dengan kehadiran Alca di dekat toilet wanita. Pria itu berdiri bersandar dengan tembok sambil melipat tangannya di dada. Melihat Alca di sana seketika nyali Ale ciut. Dia justru takut Alca marah. Karena baru saja klien datang Ale tiba-tiba pergi begitu saja. Rasa mualnya, membuatnya tidak sempat berpamitan.

“Kak Alca kenapa ke sini? Klien kita ditinggal?” Dengan wajah ragu, Ale bertanya.

“Dia sudah pergi.” Alca menjawab ketus.

“Kenapa pergi?” Ale menatap Alca dengan rasa penasaran.

Alca melepaskan tangannya yang dilipatnya di dada sambil menegakkan tubuhnya. “Jelas karena sikap tidak sopanmu. Apalagi?” Selesai bicara langkahnya diayunkan meninggalkan Ale.

Ale terpaku di tempatnya berpijak. Tidak menyangka jika sikapnya yang asal pergi membuat klien pergi juga.

“Apa kamu akan berdiri di sana terus?” Alca bicara tanpa menoleh sama sekali.

Ale mengembuskan napasnya. Ketakutannya semakin bertambah ketika dia baru saja merusak pertemuan dengan klien. Dia tahu di mata Alca apa yang dilakukannya terus saja salah. Jadi ini seperti nilai buruk yang tersemat di rapor miliknya.

“Cepat.” Kali ini Alca menoleh. Karena melihat tidak ada pergerakan sama sekali dari Ale.

Ale segera mengayunkan langkahnya mengejar Alca. Mereka segera ke mobil yang berada di tempat parkir. Alca memutuskan untuk mengantarkan Ale pulang. Mengingat kondisi Ale pucat,

“Lain kali jangan makan dulu sebelum bertemu klien.” Sambil menyetir Alca berbicara. Pria itu tidak menoleh sama sekali pada Ale. Pandangannya tetap fokus pada jalanan.

Ale menelan salivanya. Larangan itu pastinya ada hubungannya dengan dirinya yang muntah dulu. Tadi memang sebelum bertemu klien, mereka makan lebih dulu. Tidak menyangka ketika klien datang, Ale justru mual dan memilih ke toilet.

“Iya, Kak.” Ale mengiyakan apa yang dikatakan oleh Alca.

Alca hanya melirik istri sepupunya yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.

Mobil terus melaju. Ale melihat jika arah mobil yang melaju adalah ke rumahnya. Tentu saja itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati, ‘kenapa Kak Alca membawa aku ke rumah?’

Mobil sampai di rumah kediaman milik Dima yang ditempati oleh Ale. Alca memarkirkan mobilnya di tempat parkir, tetapi tanpa mematikan mesin mobilnya.

“Istirahatlah, agar besok kamu bisa bekerja.” Alca sengaja mengantarkan Ale ke rumah. Jika dipaksakan ke kantor, yang ada wanita itu bisa pingsan.

Akhirnya Ale tahu alasan Alca mengantarkannya pulang. “Terima kasih, Kak. Aku akan berusaha kejadian kemarin tidak akan terulang kembali.” Ale sadar jika kesalahan hari ini terlampau keterlaluan.

“Memang seharusnya kamu tidak ulang lagi.” Alca menjawab dengan nada penuh sindiran.

Sindiran semacam ini memang sudah biasa diterima Ale. Jadi makin lama, dia makin kuat. Dia seolah sudah kehilangan sosok Alca yang ramah sewaktu suaminya masih ada.

“Aku masuk dulu, Kak.” Ale turun dari mobil.

Tak ada jawaban dari Alca. Pria itu memilih diam saja. Saat Ale keluar, dia langsung melajukan kembali mobilnya.

Ale masih berdiri sambil melihat mobil Alca hilang dari pandangan. Helaan napas terasa berat ketika melihat Alca dengan sikapnya.

“Sabar, Sayang. Uncle Alca hanya sedang kesal saja.” Ale membelai lembut perutnya. Menenangkan anaknya di dalam kandungan.

***

Ale mengayunkan langkahnya kembali ke kamar. Merebahkan kembali tubuhnya di atas tempat tidur. Ale merasa begitu lelah sekali. Karena sudah sejak dinyatakan hamil, dia selalu tersiksa dengan mual. Tak ada teman di rumah, yang membuat Ale harus berjuang sendiri. Terkadang Ale rindu pada Dima di saat-saat seperti ini. Andai ada suaminya itu, tentu saja akan ada yang membantunya.

Merasa begitu lemas, Ale memutuskan untuk memejamkan matanya sebentar. Setelah ini nanti dia akan segera bersiap untuk berangkat bekerja.

Ale tidur begitu nyenyak. Hingga tidak menyadari jika waktu bergulir dengan cepatnya. Suara ketukan pintu, membuat Ale yang masih tidur, segera membuka matanya. Dilihatnya jam dinding yang berada di dinding kamarnya. Alangkah terkejutnya ketika melihat waktu menunjukan jam sembilan pagi.

“Non Ale.” Suara Bi Jani terdengar dari balik pintu.

Ale seketika panik. Harusnya dia tidur tiga puluh menit saja, bukan tiga jam. Dengan segera Ale bangun. Hal pertama yang dilakukan Ale adalah membuka pintu dulu. Ada hal yang ingin ditanyakannya pada asisten rumah tangganya.

“Bi, apa tadi Kak Alca sudah datang?” Saat pintu terbuka, Ale segera melemparkan pertanyaan itu.

“Den Alca tadi ke sini. Lalu saat Non Ale tidak kunjung keluar dari kamar, akhirnya dia pergi.”

Mendengar cerita dari asisten rumah tangga tersebut, Ale merasa kesal. Dia merutuki kesalahannya yang ketiduran dan alhasil dia tidak bisa ke kantor. Namun, nasi sudah jadi bubur. Percuma untuk disesali. Karena Alca pasti sudah kesal.

“Bibi kenapa ketuk pintu?” Ale menatap asisten rumah tangganya itu.

“Non Ale belum sarapan. Bibi mau membangunkan agar bisa sarapan. Kasihan si kecil di perut pasti lapar.”

Ale mengalihkan pandangan para perutnya yang mulai membuncit itu. Ada perasaan menghangat ketika masih ada orang-orang yang memerhatikannya. Salah satunya adalah asisten rumah tangganya. Sejak suaminya meninggal, dia memang tinggal dengan asisten rumah tangganya itu.

“Aku akan makan, Bi.” Ale tersenyum.

“Baiklah, saya permisi dulu.”

Setelah asisten rumah tangga pergi, akhirnya Ale menutup pintu. Ada hal penting yang ingin dilakukannya. Apalagi jika bukan menghubungi Alca. Dia harus memberitahu jika tadi dia ketiduran. Jadi dia tidak bisa ke kantor.

Ale mencoba menghubungi Alca. Sayangnya, sambungan telepon tersebut tidak direspon. Ale pun memilih untuk menghubungi Alca lewat sambungan telepon kantor. Berharap Alca mau menerima sambungan telepon tersebut.

“Halo, selamat siang dengan Janitra Grup.” Suara resepsionis di seberang sana terdengar.

“Saya Alegra Cecilia, sekretaris CEO. Bisa minta sambungkan ke ruang CEO langsung?” Ale memberitahu resepsionis di kantornya.

“Baik, Bu Ale, saya akan sambungkan.”

Ale menunggu sesaat. Sesaat kemudian barulah sambungan telepon tersebut tersambung.

“Halo.” Suara dingin terdengar di seberang sana.

“Selamat pagi, Pak. Saya Alegra.” Ale mulai bicara.

“Ada apa?” tanya Alca ketus.

Mendengar suara ketus dari Alca tentu saja membuat nyali Ale ciut. “Maaf, Pak, hari ini saya tidak bisa masuk kerja.” Ale memberanikan diri memberitahu atasan sekaligus calon suaminya.

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Fatimah Chairan Chairani
jangan takut ale kamu kan punya dr suami yg dah meninggal...
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
kok kesel sama alca yg kasar sama ale gk ngerti apa gimana yg dirasa sama ale
goodnovel comment avatar
siti yulianti
duh s uncle galak banget yakin nih bakal ketus terus sama Ale awas aja nanti klo bucin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status