Kepalaku terasa begitu pening. Mengerjap perlahan, entah ini ada dimana. Tiba-tiba saja aku berada disebuah ruangan kosong dengan kondisi tangan dan kaki terikat. Serta mulut yang tertutup lakban.
Astaghfirullah hal'adzim. Apa aku sedang disekap? Tapi kenapa? Apa salahku? Bahkan aku gak punya barang berharga.
Perutku terasa begitu perih. Ini sudah jam berapa? Berapa lama aku tertidur? Bagaimana dengan Mas Azzam?
Ya Allah, tolong selamatkan hamba.
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegak dari luar bangunan. Seketika pintu ruangan terbuka. Tiga orang preman masuk, mereka tertawa dengan riang.
"Udah sadar dia bos! Bisa digarap!"
"Tunggu-tunggu. Gak perlu digarap. Kita bawa aja ke tempat itu. Wajahnya sangat menjual!"
"Maksud bos tempat penjualan wanita?"
"Iyalah kita serahkan aja ke Mami Merry, dia pasti mau menampungnya."
"Apa bos gak mau mencicipi dulu?"
"Aaah gak perlu! Dia bukan seleraku. Jual aja, kita d
Sejak tadi siang perasaanku khawatir tak karuan, tetiba kepikiran Lili di rumah. Apa dia baik-baik saja?"Mas," sapa Icha menghampiriku.Aku malas sekali menanggapinya, apalagi tempo hari dia mengirimkan pesan yang membuatku naik darah.Aku merasa heran dibuatnya, sampai malam kenapa dia masih disini? Kulirik jam persegi yang ada di dinding, waktu menunjukkan pukul delapan malam. Tidak terasa, saking banyaknya pekerjaan yang menumpuk, aku sampai lembur berjam-jam.Kuregangkan tubuh yang mulai terasa pegal. Pikiranku melayang ke rumah, Lili pasti khawatir menungguku."Kenapa kamu belum pulang, Cha?" tanyaku.Suasana kantor sudah sangat sepi, para staff kantor sudah pulang sejak tadi. Tapi gadis ini justru masih disini? Apa dia menungguiku?"Aku nungguin kamu, Mas.""Kenapa tak pulang saja? Kayak gak ada kerjaan lain aja!""Aku sengaja nungguin kamu, Mas. Aku pengin sama kamu. Kenapa kamu blokir nomorku?
"Sayang, coba nih lihat, mas beli apa?" tutur Azzam. Ia menutup kedua mata Lili dengan tangannya, lalu menuntun istrinya ke depan rumah."Apaan sih, Mas? Kejutan ya?""Hmmm"Lili tersenyum begitu pula dengan Azzam. Hubungan mereka semakin dekat sejak keduanya tinggal bersama di rumah Bang Panji. Kakaknya itupun ikut tersenyum melihat mereka akur. Tak ada perselisihan yang terjadi. Semoga damai selalu."Taraaaa ..." ucap Azzam.Lili mulai membukakan mata, ia tersenyum melihat sebuah motor baru bertengger di halaman."Wow, Mas beli motor baru?" tanya Lili.Azzam mengangguk lalu mencium kening Lili dengan lembut. "Berkat doamu, pekerjaan mas jadi lancar, mas juga dapat bonus. Jadi uang bonusnya mas belikan saja motor buat transportasi berangkat kerja. Gak apa-apa kan, sayang?""Iya, Mas.""Maaf ya belum bisa beli mobil, uangnya dikumpulkan dulu buat beli rumah baru.""Tidak apa-apa mas."
Drrrttt drrrttt ...Ponselku terus saja bergetar. Aku mengerjap pelan, memandang jam di kamar hotel yang menunjukkan angka 03.00 dini hari.Kuraih ponsel yang ada diatas nakas, tengah malam begini, siapa yang telepon? Keningku mengernyit saat melihat nama Raffa di layar ponsel.Raffa? Ada apa ya?[Hallo assalamualaikum, ada apa Mas Raffa malam-malam telepon][Waalaikum salam. Zam, kamu pulanglah sekarang. Istri dan kakak iparmu ada di rumah sakit][Kenapa dengan mereka?][Rumahnya kebakaran][Apaa??][Cepatlah datang, mereka dirawat di rumah sakit. Kondisinya sangat kritis]Aku shock mendengar kabar yang terjadi. Rumah kebakaran? Lili dan Bang Panji kritis?Dadaku bergemuruh hebat, dengan debaran jantung seperti gendang yang bertalu. Seketika rasa panik menyerangku tanpa sisa.Kenapa bisa terjadi kebakaran di tengah malam begini? Apa mereka baik-baik saja?Dengan meminjam m
"Abang banguuun ....!"Aku merangkul pundaknya untuk menenangkan."Sabarlah sayang, Bang Panji pasti akan segera bangun. Tenangkan hatimu ya. Pihak rumah sakit juga sedang mengupayakan yang terbaik agar Bang Panji segera melewati masa kritisnya. Ayo kita kembali ke kamarmu, biarkan Bang Panji istirahat."Lili mengangguk. Jelas sekali wajahnya begitu mendung dan dirundung duka. Berkali-kali ia menyeka air mata yang sudah tumpah ruah sedari tadi Aku memapahnya untuk tidur kembali di bed pasien. Lili termenung, pandangannya begitu kosong."Sayang, makan dulu ya. Ini ada bubur, yuk mas suapin ...""Mas, Bang Panji pasti sembuh kan? Bang Panji pasti sembuh kan, Mas?" tanyanya nadanya terdengar begitu pilu."Mas, Bang Panji yang sudah menyelamatkanku. Bang Panji pasti sembuh kan?""Iya sayang, kita doakan yang terbaik buat Bang Panji ya."Lili mengangguk."Yuk sekarang dimakan dulu."Aku
"Sayang, sudah jangan sedih terus. Abang Panji sudah tenang di alam sana. Kamu harus ikhlas ya."Lili mengangguk, ia mengusap butiran bening yang lagi-lagi menitik dari sudut matanya.Kami sudah pulang ke kontrakan lagi, setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Lili diperbolehkan pulang. Meskipun harus tetap berobat jalan.Teringat kembali kata-kata Raffa, mungkin Lili akan menjadi target musuh lagi. Aku harus berhati-hati. Siapa sebenarnya dia, kenapa jahat sekali pada kami?Apa yang harus kulakukan? Mungkin lebih baik, kami pergi dari kota ini. Aku akan mengajukan mutasi ke kantor cabang saja. Kasihan Lili kalau terus menerus menjadi teror orang tak berperikemanusiaan itu!"Dek, gimana kalau kita pindah keluar kota? Mas akan mengajukan mutasi ke kantor cabang.""Disini kamu bahaya, dek. Aku tak ingin kejadian yang sama terulang lagi. Sudah cukup kita kehilangan Bang Panji, tidak boleh ada yang
"Yang membakar rumahmu adalah orang suruhan Icha. Maafin mas, Dek. Maafin mas. Mas malu, mas tak pernah menyangka kalau dia bisa bertindak nekat dan jahat seperti itu. Maaf." Bagaikan disambar petir mendengar pengakuan Mas Azzam. Icha, bocah itu ternyata yang sudah menyebabkan kebakaran di rumah? Aku benar-benar tak percaya, dia begitu tega padaku. Dada ini terasa sesak sekali mengetahui kenyataannya. Ya, rasanya seperti disayat oleh sembilu. Ada ya orang yang bersikap tega, padaku dan keluargaku. Sebenarnya aku salah apa? "Maafin mas, Dek. Maaf!" Lagi-lagi Mas Azzam minta maaf. Tubuhnya terguncang saat memelukku. Dia menangis? Entahlah. Mendadak hatiku kosong, seolah mati rasa. *** "Dek, nanti siap-siap ya. Mas udah di-acc untuk pindah ke kantor cabang. Mas juga udah dapat rumah sewa disana." Aku hanya memandangnya sekilas, kubalas ucapannya hanya diam, tanpa kata. "Kenapa mas perhatiin akhir-akh
Aku langsung memeluknya. Kenapa sih Lili punya pikiran berpisah denganku. Ya Allah, aku harus bagaimana agar istriku tidak goyah. Aku paham dengan perasaannya, dia pasti sangat kehilangan. Dan semuanya gara-gara keluargaku. Tapi, aku benar-benar tak ingin kehilangan Lili lagi."Jangan begini sayang, kumohon. Jangan katakan ini lagi. Terserah kamu mau menghukumku seperti apa. Tapi tolong jangan minta pisah dariku, Li. Maafkan semua kesalahanku. Aku mohon."Kudengar ia pun ikut terisak."Aku mencintaimu, sayang. Aku juga sudah berjanji pada abangmu untuk terus bersamamu. Aku mohon Li, kita jangan bicara seperti itu padaku. Sampai kapanpun kau tetap istriku. Aku tidak akan pernah menceraikanmu."Kuusap butiran bening yang menetes di wajah ayunya, lalu mengecup wajah yang ayu itu berkali-kali. Kalau sampai kehilangan Lili lebih baik aku mati saja. Aku tak rela dia pergi dariku.Aku tahu selama menikah denganku dia selalu terluka. Allah, tolong be
"Kali ini ibu tidak akan berdusta 'kan? Lebih baik ibu anggap aku tiada saja. Hubungan kekeluargaan kita, cukup sampai disini saja."Ibu dan Icha saling berpandangan kala melihat Azzam berlalu begitu saja meninggalkan mereka. Icha, gadis itu masih bertanya-tanya kenapa Azzam bersikap ketus bahkan pada ibunya sendiri."Budhe, apa yang terjadi? Kenapa Mas Azzam bersikap seperti tadi?"Ibu hanya mengelus punggung gadis itu, hatinya pun tampak kalut. Sebelumnya Azzam tak pernah bersikap begitu dingin dan ketus terhadap ibunya. Tapi sekarang ia bahkan tega mengusir ibunya sendiri dari rumah."Ayo kita cepat pulang. Ada banyak hal yang harus kita lakukan."Icha mengangguk menanggapi budhenya. Orang yang sangat menyayangi dirinya melebihi orang tua kandungnya sendiri.***"Cepat beresin barang-barangmu ya, Cha.""Memangnya kita mau kemana, budhe?""Pulang kampung.""Hah? Pulang? Kenapa? Icha kan masih ada p