Pernikahan Icha dan Raka sudah ditentukan. Mau tidak mau Bu Yanti harus menghubungi anak lelakinya, Azzam. Ia tidak tahu anaknya akan pulang ataupun tidak, tapi yang terpenting ia akan memberitahukan hal ini padanya.
Berkali-kali panggilan telepon itu tidak diangkat. Akhirnya ia mengirimkan pesan singkat.
[Zam, Icha akan menikah hari Minggu besok. Kalau bisa kamu dan Lili hadir disini ya]
Azzam terkejut saat membaca pesan ibunya. Kok tiba-tiba Icha menikah? Apa yang terjadi? Apakah ibu bersandiwara lagi?
"Dek, ini ibu kirim pesan, katanya Icha mau menikah," ucap pria itu kepada istrinya.
"Apa, Mas? Icha menikah? Sama siapa? Kok mendadak?"
"Entahlah, mas juga gak tahu."
"Ya sudah kita kesana, Mas."
"Jangan dek, takutnya ini hanya sandiwara ibu. Aku gak mau terjebak tipuan ibu lagi."
"Masa sih Mas, hal sepenting ini ibu tega menipu?"
"Ya kita kan sudah berkali-kali dibohongi sama ibu, aku gak bis
Icha masih berada dikamarnya dengan balutan kebaya brokat berwarna putih. Riasan wajahnya terkesan natural justru membuatnya semakin ayu. Wajahnya yang putih bersih tak perlu mendapat banyak polesan. Ya, dia memang secantik itu, hidungnya juga mancung. Rambutnya yang panjang sepunggung membuatnya mudah untuk disanggul dan diberi hiasan hairpiece."Kamu cantik sekali..." puji Bu Yanti. Dia menemaninya sedari tadi.Icha termenung, pikirannya berkelana jauh. Kalau menikah sekarang berarti aku tak punya harapan lagi bersama Mas Azzam, batinnya bersedih."Sudah jangan bersedih lagi, jalani saja, dan tetap berdoa semoga kedepannya baik-baik saja."Icha mengangguk, Budhenya seolah tahu apa yang dirasakannya sekarang."Budhe, memangnya Mas Azzam gak datang?" tanya Icha, dia ingin sekali bertemu dengan kakak sepupunya itu."Sepertinya dia takkan datang.""Kenapa budhe? Sebenci itukah Mas Azzam padaku? Hingga dia tak m
"Dek, siap-siap kita akan datang ke pernikahan Icha," ucap Mas Azzam."Kita jadi pulang kampung, Mas?""Iya. Ibu terus menghubungi, meminta kita datang. Kita buktikan saja ucapan ibu benar apa tidak. Kalau ibu bohong lagi, kita akan langsung pulang."Aku mengangguk, lantas bersiap-siap mengganti baju.Mas Azzam menggenggam tanganku dengan erat, berkali-kali menciumi keningku. Ya, hubungan kami sudah membaik sejak tak ada lagi yang mengganggu.Kami sampai di kampung, bertepatan dengan akad nikah Icha. Aku tak tahu persis bagaimana awalnya, kenapa tiba-tiba Icha dinikahkan di kampung."Icha diperkosa, makanya segera dinikahkan agar tidak menjadi aib," tutur ibu mertua saat Mas Azzam bertanya mengenai hal ini. Kulihat air mata ibu tumpah.Walaupun kecanggungan diantara kami begitu kentara, tapi aku sempat memeluk ibu mertua. Aku merasa sekarang sikapnya sudah berubah, jauh lebih lembut.Setelah meng
Mas Azzam menoleh ke arahku. "Dek, ibu jatuh di kamar mandi, sekarang dirawat di rumah sakit terdekat.""Siapa yang menghubungi, Mas?""Mbak Idah. Katanya Icha gak bisa dihubungi sejak pindah ke rumah suaminya.""Ya sudah Mas, kita pulang. Kasihan ibu."Setelah tiga jam perjalanan akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat ibu dirawat. Disana tak ada siapapun yang menunggunya. Tetangga sudah pulang karena punya kesibukan masing-masing."Bu," sapa Mas Azzam. Dia langsung memeluk tubuh ibunya yang terbaring lemah tak berdaya.Netra ibu tampak berkaca-kaca. Mulutnya bergetar, ingin mengucapkan sesuatu tapi tak bisa.*"Ibu Yanti mengalami stroke, hampir separuh tubuhnya tak bisa digerakkan."Penjelasan dokter membuat Mas Azzam makin terluka. Kulihat air mata itu menitik dari pipinya.Rasa hatiku ikut perih, menyaksikan ibu mertuaku tak berdaya. Ibu yang dulu dengan jumawa'nya menghinaku kini justr
Icha menghentikan gerakannya. "Apa maksud Mas Azzam? Bukankah budhe ada di kampung?""Ibu sakit stroke Cha, sekarang beliau ikut kami," sahutku."Apa? Sakit?""Iya, kita pulanglah dulu, jengukin ibu. Akhir-akhir ini ibu banyak melamun. Mungkin ibu juga rindu padamu."Icha mengangguk setuju. "Sejak aku diboyong Mas Raka, aku tak diperbolehkan keluar rumah apalagi berhubungan dengan ibu. Handphoneku dijual sama dia. Banyak hal pahit yang kurasakan, dia dan ibu mertua berlaku kasar padaku."Sungguh miris nasibmu, Cha. Sepertinya kau mengalami hal yang lebih buruk dari yang kualami.***"Assalamualaikum. Bu, lihatlah siapa yang kubawa," kata Mas Azzam.Ibu menoleh kemudian tersenyum saat melihat Icha datang bersama kami."Budhe--"Icha langsung menghambur ke arah ibu. Mereka terhanyut dalam isak tangis. Meskipun bukan anak kandungnya tapi ibu benar-benar menyayangi Icha setulus hatinya.
"Zam, nanti malam jam tujuh jangan lupa hadir ke acaranya Bu Rosanty. Ibu sama Icha dah beli baju bagus buat dipakai ke acara itu.""Baik, Bu. Aku ajak Lili dulu, biar dia juga ikut siap-siap.""Alaaaah, gak usah. Buat apa ngajak istrimu yang udik itu, yang ada malah malu-maluin kita.""Tapi, Bu--""Tidak, titik. Kita berangkat bertiga, ibu, Icha sama kamu saja. Lili biar urus rumah aja. Seharian kerjanya rebahan terus gak ada geraknya. Rumah aja dibiarkan berantakan kayak begini!"Deg! Kenapa ucapan ibu seperti itu? Padahal aku tahu di rumah inilah Lili yang paling capek. Pagi-pagi sekali Lili sudah bangun, dan mengerjakan semuanya. Padahal ia tengah hamil, usia kandungannya delapan bulan. Kata ibu, dia harus banyak gerak, gak boleh manja, biar persalinannya lancar.Walaupun ibu sering bersikap ketus, tapi Tak ada bantahan apapun dari Lili, dia memanglah istri penurut.Aku menghempaskan nafas kasar. Ibu sudah bangki
Kuguncang tubuhnya, tapi dia hanya diam. Rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku. Bagaimana ini? Kenapa aku jadi suami yang tak peka? Padahal tadi Lili sudah mengeluh sakit.Kubopong tubuhnya dan langsung membawanya ke mobil."Ibu ikut, Zam," ujar ibu. Kurasa ia pun panik setelah melihat menantunya tak sadarkan diri."Tidak perlu, Bu. Ibu di rumah saja, biar Lili aku yang urus," tukasku. Aku tak ingin mendengar protes dari ibu. Sudah cukup, bisa tambah runyam pikiranku kalau ibu ikut. Ia bisa ngomong ngelantur yang tidak-tidak.Gegas kulajukan mobil ini dengan kecepatan sangat kencang."Li, bertahanlah."Rasa sesal kembali merajai diri seakan berletupan tak ingin lagi sembunyi. Rasa sakit ini makin menghimpit dada. Semua karena keegoisanku, semua karena ketidakpekaanku. Lili jadi seperti ini.Sampai di rumah sakit, Lili yang masuk di ruang IGD langsung ditangani oleh tim medis, berhubung dokter spesialis kandungan sudah pulang, m
Pasca 4 hari di rumah sakit, akhirnya Lili diperbolehkan pulang. Aku memapahnya masuk ke dalam mobil. Kami hanya berdua. Ibu dan Icha enggan berkunjung ke rumah sakit, walaupun aku telah mengajaknya.Kondisi Lili sangat lemah. Kali ini tidak ada perlawanan darinya, ia lebih banyak diam, bahkan seperti patung. Jika ditanya pun enggan menjawab.Wajahnya sendu, netranya begitu sayu. Pandangannya seakan kosong, embun tebal tampak begitu kentara di kedua bola matanya.Pandangannya yang biasa meneduhkan kini terlihat sangat rapuh.Lili, maafkan suamimu ini. Aku memang pria yang tak becus bergelar suami.Hening. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan apapun yang keluar dari mulut kami. Hanya alunan musik klasik yang kusetel begitu lirih untuk sekedar mengusir sepi."Mas, kita ke makam bayiku dulu, baru pulang," pintanya tanpa memandang ke arahku.Aku menoleh. Lalu hanya bisa menganggukkan kepala melihat ekspresinya yang begitu sedih.
"Dek, biar mas saja. Kamu makan dulu gih!"Lili menoleh, memandangku dengan tatapan nanar. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung. Lili jatuh tak sadarkan diri."Lili ...!" teriakku histeris.Kubopong tubuhnya masuk ke dalam rumah. Mendengar teriakanku ibu dan Icha muncul dari balik pintu. Mereka saling berpandangan satu sama lain."Apa yang ibu lakukan pada Lili, Bu? Ibu tahu bukan Lili masih sakit? Kenapa ibu lakukan ini, Bu?!"Aku menatapnya tajam dengan netra berkaca."Ibu gak lakuin apa-apa, Nak.""Bohong!!" bentakku.Kulihat wajah ibu dan Icha menunduk ketakutan, seakan merasa bersalah."Ibu pasti nyuruh dia kan? Kalian kenapa tega sekali lakukan ini?! Padahal kalian tahu Lili sedang sakit!""Mas, budhe gak bilang apa-apa kok, cuma bilang cucian belum dijemur, itupun gak ada kata-kata nyuruh Mbak Lili," kilah Icha."Diam kamu, Cha!! Lebih baik kamu pulang saja sana! Kalau disini cuma jadi benalu!! Tidak p