Share

Hancur

Manda mendengus, frustasi dengan kepolosan wanita di depannya. "Itu hak kamu, kamu memang tidak melahirkan anak untuk laki-laki bajingan itu, tapi dia sudah ada di rahim kamu. Astagaaaa!" Manda menjambak rambutnya frustasi.

"Setidaknya kamu tuntut dia memberi kamu uang yang banyak dan setelah itu kamu pergi."

"Manda, tanpa uang dari Alan pun aku bisa makan. Aku bisa menjamini kehidupanku bersama bayi ini." kata Ana. sambil memegang perutnya.

"Iya, aku tahu. Tapi setidaknya kamu terima rumah itu."

"Itu sama saja dengan bunuh diri dan aku tidak mau itu terjadi." Manda berdecak.

"Kamu bisa menjualnya." Ana menggeleng.

"Sayangnya itu tidak ada dalam pilihan." jawab Ana terkekeh. Manda berdecak.

"Aku tahu maksud kamu baik. Tapi biarlah aku terlepas dari tekanan yang selama ini menjeratku. Aku ingin hidup damai tanpa ada bayang-bayang dari mereka. Aku ingin menikmati hidup ya sebagai diriku sendiri." Manda memandang Ana lekat dan detik itu juga wanita itu memeluk Ana.

"Kamu wanita baik, dan aku bersumpah Alan akan menyesal telah menyia-nyiakan wanita sebaik dirimu."

***

"Alan..., aku mencintaimu!" adalah kata perpisahan dari Ana untuk Alan.

Alan mengingat itu. Kata terakhir yang disampaikan Ana sebelum akhirnya meninggalkan rumah yang ditawarkan Alan untuk ditinggali Ana. Ana menolak. Ana pergi dan sudah seminggu berlalu setelah Ana meninggalkan rumah. Kadang Alan penasaran dengan kabar Ana dan bagaimana keadaan wanita itu sekarang. Tidak jarang mengetikkan nama sosial media Ana pada kolom pencarian dan berakhir dengan menguntit unggahan-unggahan Ana. Seperti sekarang Alan sedang melakukan hal yang sama sampai-sampai Alan tidak sadar bahwa seseorang telah masuk ke dalam ruangannya.

"Alan..." Alan tersentak, terkejut melihat kehadiran tiba-tiba wanita itu.

"Alan..., hei, kamu melamun?" Alan menggeleng dan tersenyum melihat wanita itu. Alan memeluknya membenamkan kepalanya di perut wanita itu. Tangannya masih menggenggam handphone dengan layar yang menampakkan dua buah cincin. Unggahan terakhir Ana di feed sosial medianya. Alan ingat, itu adalah cincin pernikahannya dengan Ana. Setelah hari pernikahan dia tidak pernah lagi mengenakan cincin itu. Bahkan Alan lupa kalau dia pernah memiliki cincin itu.

"Terima kasih pernah menjadi bagian dari hidupku." adalah caption yang Ana tulis sebagai keterangan unggahannya. Alan tahu seharusnya kemarin adalah hari peringatan pernikahan mereka yang kedua, tapi diakhiri dengan perpisahan keduanya.

"Kapan datang? Maaf aku tidak menyadarinya." katanya menyesal.

"Tidak apa. Aku baru saja datang. Kamu lihatin apa sih sampai-sampai tidak tahu aku masuk?" ungkap wanita itu. Tangannya bergerak mengusap surai hitam Alan.

"Tidak ada hanya melihat email dari rekan kerja." ujar Alan berbohong.

"Kamu kenapa? Aku perhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun. Ada masalah?"

"Tidak, hanya saja aku kepikiran dengan Ana." Jujur Alan.

"Ana?" Alan mengangguk.

"Kenapa? Bukannya dia setuju dengan perceraian kalian? Atau dia menuntut harta gonogini?" Alan menggeleng.

"Tidak. Bahkan saat aku menawarinya agar tetap tinggal di rumah itu dia menolaknya. Ana sama sekali tidak menuntut apapun. Ana menerimanya bahkan paginya dia masih menyiapkan segala kebutuhanku. Mel, aku sudah melakukan hal yang benar, kan?" Alan mendongak, matanya bersitatap dengan wanita yang dipanggil Mel. Melanie Griffith Maheswara, wanita yang saat ini menemani hari-harinya. Wanita yang menjadi alasan ia meninggalkan Ayana Nashwa Zia.

"Aku tidak tahu, Alan. Tapi jujur aku bahagia saat kamu datang menawarkan kebersamaan kepadaku. Aku tidak bisa berbohong kalau aku bahagia dengan perpisahan kalian. Aku juga tahu kalau aku adalah wanita jahat yang bahagia diatas penderitaan wanita lain. Tapi..., tapi aku juga ingin dicintai Alan. Aku juga ingin bahagia bersama orang yang aku cintai." Wanita itu menangis dan Alan berdiri, menarik wanita itu dalam dekapannya.

"Kamu tidak salah. Aku yang salah. Ini pilihanku." Keduanya berpelukan saling mendekap erat satu dan lain.

Prok! Prok! Prok! Suara tepuk tangan membuat keduanya melepas pelukan. "Waw! Mengharukan sekali drama ini, aku hampir menangis. Bolehkah aku ambil bagian, pemeran antagonis pun tidak apa-apa. Rasanya drama ini kurang lengkap sedikit lagi, benarkan?" Bima berjalan dan duduk mengambil tempat di sofa, mengangkat kaki dan merentangkan tangan bersandar di atas kursi.

"Bima?" Alan memperingati.

"Kenapa? Ada yang salah? Seandainya aku tidak tahu keadaan yang sebenarnya mungkin aku akan terharu dengan pertunjukan drama kalian, tapi maaf aku terlanjur jijik untuk sekedar melihat kalian. Lucu ya, kalian yang menyakiti tapi kalian yang menangis seolah kalian yang tersakiti." Bima tersenyum sinis menatap keduanya.

"Aku tidak tahu setan apa yang merasuki kalian sampai tega-teganya menyakiti wanita seperti Ana. Seharusnya kalian tahu akibat dari perbuatan kalian. Berulang kali aku mengingatkan ternyata kalian menganggap ucapanku hanya angin lalu. Apa yang menjadi ketakutanku akhirnya terjadi." Sinis Bima sambil berjalan mendekati Alan dan Melani.

"Kamu!" Bima menatap Melani tajam. Rasa jijik hinggap dalam dirinya saat menatap wanita itu. Memuakkan.

"Kamu wanita cantik, tapi kecantikan yang sama sekali tidak berguna. Kamu wanita kejam, wanita yang kandas akan moral. Aku heran, apa diluaran sana tidak ada lagi lelaki lain yang bisa kamu pikat sampai-sampai lelaki beristri pun kamu embat. Sebagai wanita seharusnya kamu sadar dengan apa yang sudah kamu perbuat. Percuma kamu memiliki pendidikan tinggi yang nyatanya nol etitude. Sekarang boleh saja kamu merasa menang, berbangga diri, tapi ingat suatu saat karma akan berbalik membalas perbuatanmu."

"Bima!" Melani menahan Alan dan berjalan menghampiri Bima.

"Bim, aku tahu aku salah, tapi aku juga seorang wanita. Aku ingin hidup bersama laki-laki yang aku cintai. Aku ingin menghabiskan waktuku bersama laki-laki yang aku cintai." Melani berkata lirih, dia tidak ingin disalahkan.

"Mengapa baru sekarang?" teriak Bima emosi.

Bima terduduk lemas di sofa. "Apa kalian pernah berpikir akibat dari perbuatan kalian? Apa kalian pernah berpikir perasaan wanita itu?" Alan dan Melani terdiam. "Tidak pernahkan? Justru tanpa tahu malu kalian menghancurkan wanita itu. Tanpa tahu malu mengumbar kemesraan di depan wanita itu dengan tameng sahabat yang kalian agung-agungkan itu. Jangan kalian kira Ana tidak tahu, Ana tahu. Tapi apa? Wanita itu tetap diam berharap kalian sadar dan menyudahi perbuatan kalian..." Bima menjeda ucapannya.

"...dan ternyata kalian malah memanfaatkan keluguan wanita itu dan menghancurkan perasaannya. Kalian sama tidak ada bedanya sama sekali, kalian sama-sama gampangan! Apalagi kamu Mel? Menurut kamu sebutan apa yang paling cocok untuk wanita seperti kamu... " lagi, Bima menjeda ucapannya. "...selain wanita murahan!" tekan Bima.

"Bima!"

Bug! Melani membentak bersamaan dengan Alan melepaskan kepalan tangannya di rahang Bima.

"Kamu keterlaluan Bima! Melani tidak salah, aku yang salah. Kamu lupa kalau Melani sahabat kita, perempuan yang kita jaga selama ini. Siapa wanita itu? Ana bukan siapa-siapa dia hanya wanita yang datang di kehidupan aku dan aku yang membuat kamu mengenal wanita itu." Alan berkata sambil menarik keras kerah baju Bima.

Emosi Bima membara.

Bug! Bima membalas pukulan Alan. Satu pukulan mengenai sudut bibir laki-laki itu.

Dangkal sekali pemikiran itu.

"Gue salah kalau gue masih saja membela lu berdua. Asal lu tahu, gue Bima Raharsen menyesal pernah menjadi sahabat kalian. Aku menyesal pernah mengenal manusia setan seperti kalian. Egois!" Bima menghempas tubuh Alan kebenaran Hp dalam saku jasnya bergetar.

"Halo... "

"Kak... kak Ana pingsan. Aku...aku membawanya ke rumah sakit. Aku...aku takut kak..."

"Tunggu kakak, kakak segera kesana." Bima memutuskan sambungan telepon dan melangkah tergesa keluar dari ruangan Alan. Bima tidak peduli kalau setelah ini persahabatan mereka akan hancur. Masa bodoh dengan persahabatan. Dia tidak mungkin membenarkan perbuatan hina yang sudah dilakukan kedua sahabatnya itu.

"Alan... " Melani mendekati Alan, ketakutan masih terlihat dari raut wajahnya.

"Maafkan aku, ini semua karena aku. Aku salah, aku yang membuat persahabatan kita hancur." kata wanita itu dengan air mata bercucuran.

Alan menggeleng, "ssttt..., kamu tidak salah. Aku yang salah." Alan mendekap Melani. Menenangkan wanita itu dengan memberi usapan di punggung wanita itu. Keduanya berpelukan saling mendekap erat satu dan lain.

***

"Dinda!" Dari kejauhan Bima memanggil Dinda, memastikan bahwa itu benar-benar Dinda.

"Kak." Bima mempercepat langkahnya.

"Dinda, kenapa bisa seperti ini? Apa yang terjadi?" Bima memberondong Dinda dengan pertanyaan.

"Dinda tidak tahu, kak. Dinda datang kak Ana sudah tergeletak di kamar mandi. Dinda takut. Dinda langsung panggil pak Sarno buat bawa kak Ana ke rumah sakit." ucapnya masih dengan sisa ketakutan di wajahnya.

"Keluarga pasien?" Seorang dokter keluar dari ruangan tempat Ana diperiksa.

"Saya dok." Bima langsung menghadap dokter.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya efek dari morning sickness yang dialami. Tapi saran saya mohon diperhatikan asupan yang di konsumsi pasien, karena itu akan mempengaruhi perkembangan janinnya." Bima mengangguk.

"Terimakasih dok!" Dokter itu mengangguk.

"Sudah menjadi tugas saya." jawabnya dan meninggalkan tepukan di lengan Bima.

Klek! "Ana." Bima mendekati wanita itu. Bisa dia lihat kalau wajah wanita itu benar-benar sangat pucat. Bima memeluknya. Ia sadar ia juga salah tidak bisa menghentikan Alan dan Melani.    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status