Share

Aku, Kamu, dan Orang Tuamu

Baby, maafkan mama tidak bisa mewujudkan keinginan kalian. Bukan papa tapi ini om Bima ya sayang. kalian bahagiakan ada om Bima yang memberikan pelukan untuk kita, bisik Ana dalam hati.

"Aku tidak apa-apa, Bim." Ana berkata setelah Bima melepas pelukannya.

"Tidak apa-apa bagaimana? Kamu pingsan Ana. Bagaimana kalau Dinda tidak datang kesana? Aku tidak bisa membayangkannya, Ana." ungkap Bima melepas rasa khawatirnya.

"Aku mohon untuk sementara turuti aku, ya. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian. Aku mohon untuk sementara tinggal dengan kami ya, seenggaknya sampai Manda kembali dari kampung." kata Bima membujuk Ana.

"Tapi... "

"Please! Aku akan sangat merasa bersalah jika terjadi sesuatu pada kalian. Di rumah ada mama, papa dan Dinda, kamu tidak perlu khawatir dengan omongan tetangga jika itu yang membuat kamu takut. Manda juga pasti setuju." Bima menyela ucapan Ana, tidak ingin mendengar penolakan lagi.

"Kamu harus tahu Ana, kami selalu peduli ke kamu. Kamu tidak usah berkecil hati, masih banyak orang yang peduli sama kamu. Please, untuk kali saja."

"Bim, aku tahu kalau keluarga kamu menerima aku dengan baik, tapi aku takut kehadiranku akan merepotkan kalian. Kamu tahu kan keadaanku saat ini lemah, aku tidak mau menyusahkan kalian." mata Ana berkaca-kaca. Kepedihan menikam ulu hatinya.

"Justru karena itu, Ana. Justru karena keadaan kamu lemah seperti ini. Aku tahu kamu wanita kuat, kamu wanita hebat, tapi tolong kali ini saja ya." kata Bima tidak mau kalah.

"Aku bingung dengan keadaanku sendiri, Bim. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan keadaanku saat ini justru sama sekali tidak peduli." Ana tertawa miris, prihatin dengan nasib sendiri.

"Aku tahu Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuanku, tapi rasanya aku sudah tidak sanggup melewatinya." kesedihan sangat terlihat di balik mata teduhnya. Ada air mata yang perlahan menetes membasahi wajah pucatnya. Bima membawa Ana kepelukannya.

"Aku yakin Ana kamu lebih dari mampu melewati ini semua. Kamu wanita kuat, kamu wanita hebat tidak usah mempedulikan orang-orang yang sama sekali tidak pernah peduli kepadamu." Bima berucap menguatkan Ana.

"Bim, maaf ya selalu merepotkan." katanya penuh dengan rasa sesal.

Bima menggeleng, "tidak Ana. Tidak merepotkan sama sekali." Jawab Bima dan mengurai pelukannya.

Ceklek!

"Kak Ana..."

"Din." kedua wanita itu saling berpelukan.

"Maaf ya, kakak buat kamu takut."

Dinda menggeleng. "Gak kak, justru Dinda sangat bersyukur bisa datang tepat waktu. Dinda tidak bisa membayangkan seandainya Dinda tidak datang ke rumah kakak."

"Oh iya, ada apa Dinda datang ke rumah, kakak? Biasanya Dinda selalu menghubungi sebelum ke rumah."

"Hanya ingin berkunjung, kak. Bosan di rumah terus. Juga sekalian mau ajak kakak ke rumah, mama juga  kangen katanya. Kakak mau ya tinggal sama kami. Bagaimana kalau nanti kejadian serupa terulang? Dinda gak mau kakak sama baby kenapa-kenapa. " ucap gadis itu sambil mengelus perut Ana.

"Tuhkan apa kubilang." Bima menimpali. "Kakak juga bilang kalau sebaiknya dia tinggal sama kita tapi dia nggak mau dengar tuh." Bima mengompori.

"Kenapa tidak mau?" kata wanita paruh baya yang tiba-tiba memasuki ruang inap Ana. Bima dan Dinda tersenyum saling memandang. Sekutu bertambah satu.

"Ana, tante tidak mau tahu pokoknya keluar dari rumah sakit kamu harus tinggal bersama kami. Tante tidak mau kalau kejadian serupa keulang lagi. Tidak ada bantahan pokoknya kamu harus mau." tegas Rita. Wanita itu tidak memberi kesempatan Ana untuk menolak permintaannya. Sekarang tidak ada alasan bagi Ana untuk menolak ajakan mereka.

"Iya, Ana mau." katanya pasrah.

Bima dan Dinda bertos merayakan kemenangan, "nah, gitu dong." ucap keduanya tersenyum puas. Tidak sia-sia mereka memberitahu Rita. Mama Bima dan Dinda memang terbaik.

***

Tiga hari Ana dirawat dan hari ini Ana dipersilahkan pulang oleh dokter. Dan sesuai kesepakatan sebelumnya, Ana benar-benar diboyong ke istana keluarga Anggara.

"Nah, mulai sekarang kamar ini akan menjadi kamar kakak dan yang di sebelahnya adalah kamar aku. Dinda senang banget akhirnya Dinda punya teman di rumah. Dinda gak pernah bayangin sama sekali kalau akhirnya Tuhan kabulkan doa Dinda." tuturnya dengan bahagia.

Dinda membuka pintu kamar dan mempersilahkan Ana masuk terlebih dahulu. "Dinda nggak tahu warna kesukaan kakak jadinya Dinda pilihkan walpaper putih polos aja deh. Kakak suka kan?" Ana mengangguk.

"Kamu yang siapin semuanya?" Dinda menggeleng. "Dibantu bang Bima." jawabnya.

"Ini sejak kapan disini?" Ana mengambil sebuah figura foto berisikan gambar ayah dan ibunya.

"Hehehe..., sebenarnya setelah kakak setuju akan tinggal dengan kami, Dinda langsung ajak bang Bima buat angkatin barang-barang keperluan kakak selama tinggal disini." Ana meletakkan lagi fotonya dan berjalan ke arah lemari. Baju-bajunya sudah tertata rapi disana.

"Ini kamu yang beresin semuanya?" Dinda mengangguk. "Habisnya Dinda senang banget saat kakak setuju tinggal disini, jadi buru-buru deh aku ajakin bang Bima angkutin barang-barang kakak. Takut kakak berubah pikiran." ucapnya tersenyum menampilkan gigi putihnya. Ana geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Dinda. "Dasar kamu ini." katanya memeluk Dinda penuh sayang. Ana bahagia setidaknya masih ada orang yang peduli dan menerimanya dengan baik.

"Terima kasih. Kakak tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan keluarga ini." Dinda melepas pelukannya.

"Eict..., nggak boleh nangis. Dokter bilang kakak nggak boleh sedih, ntar dedeknya ikut sedih juga." peringat Dinda dan langsung menghapus air mata Ana. Ana tertawa.

Baby, mari kita mulai hidup kita. Sehat-sehat ya di perut mama, katanya dalam hati sambil mengelus perutnya.

***

Plak! Ami melepas tamparannya. "Maksudmu apa?" tanyanya setelah mendengar penjelasan Alan. Wajahya memerah pertanda kalau ia sedang marah.

"Kamu sadar dengan tindakanmu? Kamu sadar apa yang kamu perbuat?" geramnya.

Ami marah mendengar Alan mengatakan kalau ia dan Ana memutuskan berpisah.

"Kamu pikir bisa seenaknya seperti itu? Kamu pikir bisa berbuat semaumu? Kamu berpikir pakai otak?"

"Ma..."

"Diam kamu!" sergahnya.

"Apa masalahnya? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Ana wanita yang baik, wanita yang lemah lembut dan setahu mama kamu tidak pernah ada masalah dengan Ana. Apa yang membuat kamu bertindak gegabah?" tutur Ami penuh emosi.

Alan diam, lelaki itu tidak berani membantah ucapan mamanya. Tapi ini hidupnya ia juga berhak memutuskan mana yang terbaik untuknya. Karena Ana wanita baik makanya Alan memilih melepaskan wanita itu. Ia tidak ingin Ana terkurung dengan cinta yang tidak jelas darinya. Alan ingin Ana menemukan laki-laki yang tulus mencintainya.

"Tapi Alan juga berhak memutuskan, ma. Alan punya jalan sendiri menata hidup Alan." katanya dengan berani.

Ami menatap tajam ke arah Alan, "Kalau memang menurut kamu seperti itu kenapa kamu memberitahu mama? Sekalian saja tidak kamu beritahu. Kamu pikir kamu sudah hebat? Dan bukankah kamu yang memohon cinta dari Ana?" sindir Ami.

"Aku mencintai Ana, tapi itu dulu ma, tidak untuk sekarang."

Plak! "Mama baru tahu ternyata mama membesarkan seorang laki-laki bajingan seperti kamu. Pernikahan itu ikatan suci, kamu tidak bisa seenaknya memutus ikatan suci begitu saja. Pernikahan itu bukan ajang percobaan cinta, bukan ikatan yang bisa kamu permainkan semaumu. Pernikahan itu komitmen. Apa bedanya dulu dan sekarang? Kenapa dulu kamu bisa mencintainya dan sekarang tidak? Dia tidak cantik lagi? Atau kamu menemukan wanita yang lebih cantik dari dia?" Alan terdiam.

"Ajarin anak papa, mama pusing." Ami beranjak dan meninggalkan sepasang anak dan ayah itu.

Beberapa menit berlalu dengan hening sampai  Hendrawan-papanya membuka suara. "Papa pernah bangga karena kamu berani memperjuangkan cintamu. Tapi mengapa seperti ini jadinya? Kemana Alan yang dulu? Kemana putra papa yang dulu? Benar kata mamamu. Pernikahan itu bukan ajang coba-coba, kamu sudah berkomitmen hanya akan mencintai satu wanita dihadapan Tuhan. Bayangkan kalau papa berpikir sama seperti kamu, memaknai cinta sama seperti kamu, mungkin rumah tangga papa dan mama tidak akan bertahan sampai saat ini. Di hadapan Tuhan kamu sudah berjanji akan menerima bagaimana pun keadaan istrimu, selalu bersamanya baik suka maupun duka. Setahu papa kamu dan Ana baik-baik saja selama ini, apa yang membuat kalian memutuskan berpisah?" 

"Alan tidak ingin menyakiti Ana lebih jauh lagi, Pa. Alan mencintai wanita lain." jelasnya dengan kepala tertunduk.

"Sejak kapan? Apa papa mengenalnya?" Alan mengangguk.

Hendra menghela napas lelah, "Melani?" Alan mendongak dan melihat papanya.

"Sejak kapan? Bukannya kamu dan Melani bersahabat?" Tanya Hendra mengulik lebih dalam permasalahan rumah tangga putranya. Alan terdiam.

Hendra menghela napas dalam, "kamu bawa Ana ke rumah ini dan kita selesaikan permasalahan ini." Hendra beranjak meninggalkan Alan. Berada di ruang yang sama dengan putranya, Hendra tidak yakin masih bisa mengontrol emosinya. Sebenarnya, sejak lama dia sudah menaruh curiga dengan hubungan Alan dan Melani. Ternyata benar, keduanya telah melewati batas sebagai sahabat.  Sebagai ayah, Hendra merasa kecewa dengan pilihan putranya.

"Argggg!" Alan mengerang, meremas rambutnya kuat. Alan merogoh telepon genggamnya.

"halo..."

"Ana, maafkan aku, tapi aku butuh bantuanmu." Shit! Bagaimana bisa kamu sepengecut ini Alan? makinya pada diri sendiri. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status