Najma menghela nafas berat saat menatap dirinya di cermin. Wajah gadis dengan sepasang mata lelah terlihat di sana. Dia sudah membayangkan bagaimana capeknya menjalani hari ini. Berdiri di depan gerbang Black Eagle Corporation hingga siang hari sebelum kemudian dia berangkat ke tempat kerjanya.
Sungguh dia lelah sekali. Tapi tak akan menyerah sampai Roger memberinya waktu untuk bertemu.Setengah jam kemudian, dia sudah sampai di sana. Seperti kemarin-kemarin, setiap kali datang dia akan memberikan senyum terbaiknya untuk para satpam yang berjaga di pos. "Pagi pak, mas. Apa saya sudah boleh masuk?"Semua satpam menggeleng dengan cepat. Lalu kembali sibuk dengan tugas mereka tanpa memperdulikan Najma lagi.Beberapa jam kemudian, Najma melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Pukul 11.19. Namun tak ada tanda-tanda para satpam akan mempersilahkannya masuk.Najma mulai lelah berdiri. Maka dia mengambil duduk di tepi trotoar setelah sebelumnya memberi alas duduk dengan selembar tisu agar celana berbahan crincle-nya tidak kotor.Belum sepuluh menit pinggulnya mendarat di tisu tersebut, seorang satpam mendekati. "Dek, doa kamu terkabul tuh." Tapi cara penyampaiannya terdengar tidak ikhlas.Najma yang belum paham, mengangkat wajah demi menatap satpam tersebut. "Ya?""Barusan aku dapat perintah untuk mengizinkan kamu masuk karena Tuan Roger mau bertemu."Najma berdiri dengan setengah melompat "Benarkah, pak? Benar Tuan Roger ingin bertemu saya?""Iya. Cepatan masuk!"Najma mengusap wajah kasar. "Alhamdulillah." Lalu lari melewati satpam tadi menuju pintu gedung. Membuat satpam itu geleng-geleng kepala."Dasar anak keras kepala."Di lobby, Najma bingung. Dia harus kemana untuk bisa bertemu dengan Roger. Resepsionis lalu mengarahkannya untuk masuk ke lift dan berhenti di lantai 10. Setelah mengucapkan terima kasih, Najma langsung mengikuti arahan resepsionis.Singkat cerita, Najma sudah berada di lantai 10 dan bertemu dengan Wilson."Ikut saya."Hanya dengan satu perintah itu, Najma mengikuti langkah assisten pribadi Roger tersebut. Sesekali dia mengelus dada untuk menghilangkan kegugupan yang melanda. Maklum dia belum pernah bertemu dengan pria yang bernama Roger itu, apalagi melihat wajahnya. Dia hanya pernah mendengar kalau Roger adalah pria yang ... dingin.Kini langkah mereka sudah berada di depan sebuah pintu kayu mengkilat berwarna coklat muda. Ada papan tipis bertuliskan RUANG PRESIDEN DIREKTUR yang tertempel di bagian atas pintu. Tulisan itu membuat jantung Najma berdegup kencang. 'Tuhan, bantulah aku.' Doanya.Wilson membuka pintu coklat mengkilat itu. Menimbulkan suara derit yang membuat Najma susah menelan ludahnya sendiri karena kegugupannya semakin menjadi. Kedua kakinya lalu bergerak mengikuti langkah Wilson masuk ke dalam ruangan yang... harum, sejuk, dan bernuansa maskulin."Duduklah." Wilson menunjuk sofa yang berada tak jauh dari pintu masuk dan terletak di sebelah kiri ruangan.Najma mengangguk. Lalu melangkah mendekati sofa sebelum akhirnya mengambil duduk di sana. Dia sempat melirik pada pria tampan yang berada di balik meja kerja. Tidak salah lagi itulah Roger yang dia cari. Tak menyangka saja kalau ternyata masih muda, tampan, dan... berwajah bule.Setelah hening selama beberapa detik, terdengar langkah mendekati sofa. Membuat telapak tangan dan kaki Najma berkeringat dan dingin karena kegugupannya menjadi kian parah. Suara langkah itu lalu berhenti di sofa yang paling panjang di depan Najma. Meskipun menunduk, Najma menangkap sosok yang mengambil duduk di sana. Mereka hanya terhalang oleh meja."Katakan maksudmu yang begitu ingin menemuiku." Suara itu bernada rendah, tapi entah mengapa terasa mengintimidasi.Najma yang sedari tadi menunduk, kini memberanikan diri menatap wajah pria di depannya. Subhanallah, indahnya ciptaan-Mu.Najma mengedipkan mata demi mengembalikan fokusnya. "Maaf tuan mengganggu waktu. Kenalkan nama saya__""Langsung saja ke hal yang ingin kamu sampaikan." Roger menginterupsi. Dia tidak suka dengan basa-basi.""Ah, iya." Najma mulai bercerita, bahwa belasan tahun lalu Haji Sulaiman telah memberikan tanah yang sekarang sudah dibangun panti kepada panti asuhan. Tapi karena saat itu kondisi Haji Sulaiman sudah sakit-sakitan dia belum bisa memecah tanah tersebut dan memberikan bagian panti serta membuatkan sertifikatnya. Beliau mengatakan kalau putranya yang akan mengurus pembuatan sertifikat tanah. Namun hingga Haji Sulaiman meninggal, pemilik panti tidak juga menerima sertifikat tanah tersebut. Malah diam-diam putra Haji Sulaiman menjual tanah tersebut."Bukan hanya persoalan tanah saja, tuan. Ada banyak kenangan di atas tanah itu. Selain kenang-kenangan bersama anak-anak yang pernah tinggal di sana, ada juga kenangan Ibu Aliyah bersama almarhum suaminya. Ibu Aliyah syok berat ketika mendapati kenyataan bahwa dia harus meninggalkan tempat tinggal yang selama ini menjadi tempat berteduh, berbagi kasih sayang, dan mengukir kenangan. Karena itu, saya datang untuk memohon pada anda mengikhlaskan tanah itu untuk kami karena Haji Sulaiman pemilik aslinya sudah memberikan tanah itu kepada kami."Roger tak langsung menanggapi permohonan Najma meskipun dia melihat gadis itu hampir menangis. Dia terdiam lama. Merenungi. Tak mau cepat-cepat mengambil keputusan sembari memperhatikan Najma dari atas kepala hingga ujung kaki."Sebenarnya mudah saja bagi saya untuk memberikan tanah itu kepada panti jika letak panti ada di paling pinggir." Roger mulai menyuarakan pemikirannya. Yang jadi masalah adalah panti itu berdiri di tengah-tengah tanah itu. Tidak mungkin pembangunan hotel di potong jadi dua, kanan dan kiri lalu di tengah ada pemandangan aneh yaitu, panti?"Ya, benar. Hati Najma membenarkan. Alasan yang dikemukakan Roger masuk akal. Tapi Ibu Aliyah?"Bukan murah aku membeli tanah itu. Puluhan milyar. Kalau aku membiarkan panti itu tetap tegak berdiri di sana karena mengabulkan permintaanmu, maka otomatis pembangunan hotel tidak jadi. Kata lainnya, aku rugi besar. Apa kamu bisa memberi solusi untuk hal ini?"Najma menelan saliva. Tentu saja dia tidak bisa. Untuk mengganti rugi, lebih tidak mungkin lagi. Seumur hidup bekerja juga belum tentu bisa terkumpul uang sebanyak itu.Roger tersenyum miring mendapati diamnya Najma. Lalu dengan gaya angkuh seorang presiden direktur yang kaya raya, dia menyandarkan punggung di penyangga sofa. Lalu menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kiri. "Sampai di sini kamu sudah mengerti bukan?"Najma mengangguk samar. Namun hati belum bisa mengikhlaskan. Pertanyaan Roger barusan seolah memintanya untuk menyerah dan... pulang.Najma mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk dalam. Dengan beraninya dia menatap mata Roger yang tajam. "Maaf kalau ini lancang. E... bagaimana jika anda menjual tanah itu dan membeli tanah yang lain. Tanah panti anda ikhlaskan untuk kami."Kedua alis tebal Roger bergerak ke atas, lalu dia terkekeh. "Sepertinya kamu mau enaknya saja ya? Mana bisa main perintah seperti itu? Kamu pikir aku siapa? Kakak kamu?" Roger mengangkat tangan kanannya ke depan dan mengibas-ngibaskan kelima jarinya. "Sudah, lebih baik kamu pulang. Aku memiliki banyak pekerjaan. Waktuku sudah terpotong untuk meladenimu."Roger beranjak dari duduknya, hendak kembali ke balik meja kerja. Tapi tiba-tiba Najma bersujud di depan kakinya yang membuat langkahnya otomatis berhenti. "Tuan aku mohon kemurahan hati anda. Jika anda mengabaikan ini, kami bagaimana?"Roger memasukkan kedua tangannya ke kantung celana. Mau berjalan tidak bisa karena Najma menghalangi langkahnya. Pandangan dia buang ke dinding ruangan yang terbuat dari kaca. "Mau bagaimana kalian, itu bukan urusanku. Kenapa aku jadi seperti harus bertanggung jawab pada kalian? Harusnya kalian marah pada putra Haji Sulaiman yang menjual tanah itu.""Saya tau, tuan. Saya tau anda tak harus bertanggung jawab untuk ini. Tapi hanya tuan yang bisa membantu kami. Kasihanlah kami, terkhusus Ibu Aliyah yang terbaring di rumah sakit."Roger mendengkus kasar. Dia menyesal telah memberi waktu pada Najma untuk berbicara dengannya karena gadis ini sangat keras kepala. Sepertinya tak akan menyerah sampai dia mengabulkan keinginannya. "Sepertinya kamu sangat memaksa. Agar aku tidak rugi, bagaimana kalau kamu membayar tangan itu dengan tubuhmu?"Bersambung."Tuan, bagaimana bisa anda menawarkan hal gila ini kepadanya?" Wilson benar-benar terkejut dengan persyaratan mendadak yang diajukan Roger pada Najma.Roger tak mengalihkan pandangan dari layar tipisnya. "Aku hanya sedang membuatnya menyerah. Kalau dia gadis baik-baik, pasti akan menolak persyaratan itu.""Anda yakin dia akan menyerah karena persyaratan itu?"Roger menyeringai. "Kita lihat saja besok."***"Dokter bilang Ibu Aliyah akan sulit sembuh kalau dirinya sendiri sudah tidak semangat hidup. Dalam igauannya, dia terus menyebut nama bapak. Sepertinya kehilangan panti membuatnya sangat terpukul karena di sana ada banyak kenangan ibu bersama bapak." Belum Najma memberikan respons atas pernyataannya, Imas langsung bertanya. "Oya bagaimana? Berhasil tidak?"Tidak. Ingin sekali Najma mengatakan itu. Tapi sorot mata Imas yang penuh harap, membuatnya tidak tega. Takutnya juga nanti terdengar oleh Aliyah yang sedang berbaring di tempat tidur pesakitannya. Meskipun tampak tidur, kemungki
Menit demi menit waktu berlalu, hingga beberapa jam sudah terlewati. Tapi Wilson yang memintanya untuk menunggu di lobby tak kunjung terlihat batang hidungnya. Mungkinkah assisten pribadi Roger tersebut masih memiliki banyak pekerjaan? Jika iya, Najma berharap bisa selesai dengan segera karena dia sendiri harus beranjak kerja.Najma yang bosan lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sling bag dan membuat postingan di akun social medianya.Ini memang keputusan yang berat. Akan tetapi semoga apa yang aku putuskan tidak menghancurkan masa depanku. Setidaknya, aku telah membuat pertimbangan yang terbaik menurutku.Setelah memposting kalimat itu, Najma menyandarkan punggung di sandaran kursi. Dia termenung memikirkan masa depannya yang terlihat suram dalam bayang-bayang.Janda.Biasanya orang yang akan menikah hatinya bahagia dengan sederet rencana masa depan mereka. Namun tidak begitu dengannya. Wajah cantik nan manis Najma muram dan hatinya sedih. Juga tidak ada rencana indah untuk masa depa
“Ini calon mempelai wanitanya?” tanya Pak Penghulu sembari menunjuk Najma.Najma mengangguk. “I-iya, pak.” Agak gugup. Bahkan jantungnya berdegup tidak teratur.“Kalau begitu ayo duduk di sini! Apa lagi yang adek tunggu?” Yang semula jari telunjuk Pak Penghulu mengarah ke Najma, berganti menunjuk ke arah kursi yang ada di depannya, yaitu di samping Roger.Najma kembali mengangguk. “Baik pak.”Dengan sedikit membungkuk, Najma mendekati kursi yang memang dipersiapkan untuknya itu. Sebelum duduk, dia sempat melirik Roger. Pria itu terkesan tidak perduli dengan kehadirannya karena tidak menoleh sedikit pun meskipun tahu dirinya mendekat.‘Betapa tidak berharganya aku di matanya. Dia menikahi aku benar-benar hanya karena birahinya dan bukan atas dasar suka. Betapa sialnya hidupku ini,’ gumam Najma dalam hati.Tak lama setelah Najma mengambil duduk di sebelah Roger, akad nikah pun dimulai. Roger dan Pak Penghulu yang juga menjadi wali hakim mengucapkan ijab qabul.Beberapa saat kemudian. “
"Nona kenapa anda belum mau keluar juga dari dalam mobil?"Pertanyaan itu membuat Najma terhenyak dalam lamunan. Dia menoleh dan mendapati Wilson sudah berdiri di sampingnya tapi di bagian luar mobil dengan pintunya yang sudah terbuka."E... I-iya ini mau turun. Maaf...." Dengan memeluk amplop berisi sertifikat tanah, Najma bergerak turun. Setelah itu, dia baru menyadari kalau Roger sudah tidak ada di dalam mobil dan entah sejak kapan. Apa karena sangking terpesonanya dengan penampakan rumah Roger dia sampai tidak menyadari pria itu keluar dari mobil? Sungguh, kampungan sekali dirinya."Di mana Tuan Roger?" tanya Najma pada Wilson yang tengah menutup pintu mobil."Tuan sudah masuk ke dalam rumah, nona.""Ah, cepat sekali. Saya sampai tidak menyadarinya." Najma menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan terbalut hijab.Wilson tidak menggubris ucapan Najma. Dia lalu mengulurkan tangannya ke arah bangunan rumah. "Mari saya antar nona masuk ke dalam rumah. Ini sudah Maghrib.""Ah, iya ya." N
Baju-baju wanita yang ada di dalam lemari membuat pikiran Najma benar-benar kalut. Hatinya terus saja menebak-nebak siapa pemiliknya. Hingga sebuah adzan Maghrib yang mengalun merdu di udara, membuyarkan lamunannya.Dan dia pun beristighfar dengan hati yang sedih. "Astaghfirullah adzim. Apa yang sedang aku pikirkan ini? Bukankah aku tidak punya hak atas pernikahan ini? Bukankah aku tidak boleh menuntut dia menjadi layaknya seorang suami yang setia, perhatian, dan menyayangiku? Pernikahan ini terjadi karena sertifikat tanah panti. Hanya untuk sertifikat tanah panti. Kalau pun baju-baju itu adalah milik seorang wanita yang memiliki hubungan dengan dia, aku tidak boleh protes. Ya, tidak boleh."Najma menghela nafas panjang untuk melenyapkan rasa sesak yang menyerang. Sekaligus memberi kekuatan untuk kemungkinan terburuk dalam pernikahan yang baru terjadi hari ini.Tapi ternyata itu tidak mudah. Meskipun dia sudah mencoba, rasa sesak itu tetap ada. Satu-satunya cara yang bisa diharapkan a
Najma memperhatikan pintu besar di depannya sekali lagi. Degup jantungan semakin tidak karuan. Sepintas, dia menyesali takdirnya yang seperti ini. Menikah tiba-tiba, menikah karena sebuah syarat, menikah tanpa cinta, dan menikah tanpa rasa bahagia. Namun, apa mau dikata. Diamnya tanpa melakukan sesuatu membuat banyak pasang mata menangis."Bismillahirrahmanirrahim." Najma membuka pintu besar itu. Saat bergerak terbuka, pintu itu mengeluarkan suara yang membahana. Lalu dia melangkah masuk tanpa memperdulikan apakah Wilson masih ada di belakangnya atau tidak. Terus menoleh ke belakang akan membuatnya ragu melangkah ke depan.Tiga langkah Najma melangkah ke depan, pintu ditutup dari luar. Sudah bisa dipastikan siapa yang menutupnya. Siapa lagi kalau bukan Wilson karena hanya pria itu yang tadi ada di dekatnya. Najma abaikan pintu yang tertutup itu karena dia kini terfokus pada seorang pria yang memakai piyama dan berdiri menghadap jendela kaca dan membelakangi dirinya. Pria itu memakai
Roger kembali melakukannya lagi. Memberi kecupan di beberapa titik. tak cukup bibir saja, tapi juga di pipi, leher, dada, dan lainnya. Roger begitu menikmati malam pertamanya dengan Najma. Dia seperti ketagihan. Karena hubungan intim terulang lagi untuk yang kedua kalinya. Bahkan ketiga, empat, dan lima kali. Membuat Najma yang semula tidak percaya diri menjadi bangga karena sebagai seorang istri dia bisa membuat Roger puas dan ketagihan.Namun setelah hubungan intim itu selesai, wajahnya berubah muram saat benaknya kembali mengingat tentang baju-baju wanita yang ada di lemari. Punya siapa baju-baju itu.Najma menoleh pada Roger. Dia mendapati pria itu tengah tertidur sangat nyenyak. Terdengar dari dengkuran halusnya. Sebenarnya jika ingin mengenai baju-baju itu, ini adalah waktu yang tepat karena dirinya berada di samping Roger. Tapi dia tidak berani untuk membangunkan Roger. Takut itu akan membuat Roger marah.Adzan subuh belumlah berkumandang ketika Najma keluar dari kamar utama
Sarapan pagi berakhir dengan kaku dan dingin. Tak ada obrolan di antara Najma dan Roger. Roger hanya fokus dengan sarapannya sementara Najma tidak tahu harus bicara apa. Mungkin Roger memang selalu diam ketika di meja makan.Dan sepertinya memang seperti itu. Selesai makan, Roger langsung beranjak dari duduknya. Tanpa sepatah kata pun, pria itu meninggalkan meja makan. Najma yang mengetahui hal itu langsung mengejar.“E… tuan! tuan! tunggu!” teriaknya.Roger menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan menunggu langkah Najma sampai ke hadapannya.“E… begini, tuan. Apakah aku boleh pergi bekerja?”“Boleh," jawab Roger enteng seolah tanpa beban. "Tidak ada perjanjian dalam pernikahan kita setelah menikah terus kamu harus di rumah saja. Yang tidak boleh adalah… kamu mencampuri urusanku. Dan satu hal lagi, jangan mengatakan kepada siapa pun tentang pernikahan kita. Jika kita bertemu di luar, anggap saja kamu tidak mengenalku.”Kalimat-kalimat yang diucapkan Roger seketika membuat Najma merin