Share

Bab 4

Menit demi menit waktu berlalu, hingga beberapa jam sudah terlewati. Tapi Wilson yang memintanya untuk menunggu di lobby tak kunjung terlihat batang hidungnya. Mungkinkah assisten pribadi Roger tersebut masih memiliki banyak pekerjaan? Jika iya, Najma berharap bisa selesai dengan segera karena dia sendiri harus beranjak kerja.

Najma yang bosan lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sling bag dan membuat postingan di akun social medianya.

Ini memang keputusan yang berat. Akan tetapi semoga apa yang aku putuskan tidak menghancurkan masa depanku. Setidaknya, aku telah membuat pertimbangan yang terbaik menurutku.

Setelah memposting kalimat itu, Najma menyandarkan punggung di sandaran kursi. Dia termenung memikirkan masa depannya yang terlihat suram dalam bayang-bayang.

Janda.

Biasanya orang yang akan menikah hatinya bahagia dengan sederet rencana masa depan mereka. Namun tidak begitu dengannya. Wajah cantik nan manis Najma muram dan hatinya sedih. Juga tidak ada rencana indah untuk masa depan. Itu karena pernikahannya adalah pernikahan bersyarat. Dan pernikahannya hanya sebatas Roger menginginkannya. Jika pria itu bosan, maka selesai sudah.

Sungguh mengenaskan.

Tiba-tiba ponselnya mengeluarkan suara denting beberapa kali. Rupanya beberapa orang mengomentari postingannya.

Riris

Kenapa, say?

Hakim

Kayaknya lagi ada masalah ya? Sabar ya.

Mimi

Memutuskan apa sih kok kesannya horror begitu?

Dita

Apa pun itu aku doakan semoga baik-baik saja ya.

Najma hanya membaca komentar-komentar itu tanpa membalasnya. Hatinya sedang dalam keadaan tidak karuan untuk menjawab.

“Nona Najma….”

Panggilan itu membuat Najma terhenyak. Dia langsung menegakkan tubuhnya sembari menoleh. Dia mendapati pria itu berdiri di sampingnya. “Ya?”

“Mari saya antar nona ke rumah untuk mengambil berkas milik nona. Saya membutuhkan ka-te-pe, akta kelahiran, pas photo, dan lainnya.”

Najma mengangguk ragu. “Baik tuan.”

Najma lalu berdiri dan mengikuti Wilson meninggalkan tempat itu. Bersama Wilson, Najma menuju rumahnya.

“Tuan, bisakah berhenti di di depan lorong saja? Saya malu jika ada tetangga kos-an yang melihat saya bersama anda. Nanti mereka berpikir yang tidak-tidak. Biar saya sendiri saja yang mengambil berkas di kontrakan saya,” belum sampai di rumah kos-an, Najma berkata ini pada Wilson.

Wilson berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Hm, baiklah. Tak masalah. Tapi tolong jangan lama ya.”

Setelah sampai di depan lorong yang dimaksud, Wilson menepikan mobilnya. Najma pun keluar dari dalam mobil dan dengan langkah cepat menuju rumah kontrakannya. Dia mengambil apa-apa yang diminta oleh Wilson sebelum akhirnya kembali ke tempat assisten pribadi Roger itu berada dan menyerahkan semua persyaratan itu. Wilson memeriksanya untuk memastikan berkas Najma telah lengkap

"Sudah lengkap," ucap Wilson pada Najma. "Ini saya bawa dan nanti akan saya hubungi lagi."

Najma mengangguk. "Baik."

Tak lama kemudian, mobil yang dikemudikan Wilson bergerak meninggalkan lokasi.

Malamnya, Najma mendapat pesan dari Wilson bahwa pernikahan bisa dilakukan esok hari. Dan Najma di tempat yang sama.

***

Ini seperti mimpi bagi Najma. Karena pagi ini dia akan menjadi seorang pengantin.

Berbagai perasaan muncul di hatinya. Tapi dia sendiri tidak tahu mau di ekspresikan seperti apa. Senang atau sedih?

Sesuai dengan janji, di jam yang sudah ditentukan, Wilson menjemput Najma menuju sebuah kantor KUA.

Di perjalanan, merasa perlu tahu, Najma bertanya pada Wilson. “Hm... apakah Tuan Roger sudah punya istri?”

Wilson melirik Najma sekilas. “Untuk apa nona mempertanyakan itu?”

“Memangnya tidak boleh kalau saya bertanya seperti itu? Bukankah saya calon istrinya?”

“Nona tanya sendiri saja nanti pada Tuan Roger. Saya tidak punya hak untuk menjawab."

Kedua alis Najma bergerak ke atas. "Kenapa?"

"Karena saya bekerja padanya. Jika Tuan Roger tak mengizinkan saya untuk menceritakan kehidupannya pada orang lain, maka saya tidak akan pernah menceritakannya."

Najma mengangguk paham. "O...." Dia pun tak berani lagi untuk bertanya, karena dia tahu Wilson tak akan menjawab pertanyaannya.

Ah, seharusnya dia bersyukur saja Roger mau menikahinya sehingga hubungan mereka menjadi halal. Bukan mengorek siapa Roger dan kehidupan pria itu. Toh, pernikahan ini bukan dilandasi dengan cinta. Terjadi karena keinginannya untuk mendapatkan sertifikat tanah untuk panti.

Tidak sampai setengah jam, mereka sudah tiba di KUA. Tapi Roger belum ada. Sementara Wilson mengurus pernikahan, Najma ditinggal sendirian. Karena perutnya lapar, dia pun menuju kantin untuk memesan nasi goreng dan es tah. Dia memang belum sempat makan siang.

Sedang lahap-lahapnya makan, ponselnya berdering. Najma tertegun begitu mengetahui yang menelpon adalah Ibu Imas. Dia takut wanita itu menyampaikan hal buruk tentang Ibu Aliyah.

“Halo, assalamu’alaikum, bu,” sapa Najma sembari menyingkirkan piring nasi goreng dari hadapannya.

“Wa’alaikum salam. Kamu di mana dan sedang apa?”

“Aku sedang di ka-,” Najma langsung membekap mulutnya sendiri. Hampir saja dia keceplosan menyebutkan KUA sebagai tempat beradanya sekarang. Sebenarnya dia sangat ingin hari pernikahannya dihadiri oleh Ibu Aliyah dan seluruh penghuni panti. Tapi tidak bisa karena pernikahan ini adalah pernikahan yang harus dirahasiakan dari siapa pun sesuai dengan permintaan Roger. “Di warteg, bu. Lagi makan siang.” Akhirnya Najma mengatakan itu.

“Di warteg? Makan siang? Ini sudah sore, Nak? Kok baru makan siang? Lagian kamu kok makan siang di warteg? Nggak kerja?"

"Iya." Najma menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. "Lagi kurang enak badan. Jadi izin tidak berangkat kerja." Dia terpaksa berbohong.

Terdengar helaan nafas berat di telpon. "Kamu demam ya? Pasti kecapean karena sedang berusaha untuk mendapatkan hak tanah panti ya? Maafkan kami yang menyusahkanmu."

"Ah, tidak juga karena itu. Aku capek karena setiap hari harus bekerja bukan karena masalah tanah panti."

"Ibu mengerti. Tapi kamu sekarang sedang baik-baik saja bukan?"

Najma berhenti mengunyah. “Maksud ibu? Aku tidak mengerti maksud pertanyaan ibu.”

“Ibu baca status kamu di social media kamu. Kalimatnya terkesan sedang ada masalah. Kamu sudah mengambil keputusan apa?”

Najma terdiam beberapa saat. Dia menyesal memposting kalimat itu tadi. Ibu Imas jadi khawatir. “Ibu tidak usah khawatir. Besok aku akan cerita maksud dari postinganku itu. Tapi ini tidak seperti yang ibu pikirkan. Aku baik-baik saja.”

“Kamu tidak berbohong? Kamu tidak menutupi sesuatu dari ibu bukan?”

“Iya, bu. Percayalah.” Mata Najma melebar karena melihat Wilson celingukan seperti mencari seseorang. Begitu melihat dirinya, wajah Wilson terlihat kesal dan kemudian melangkah ke arahnya.

Najma langsung berkata dengan berbisik pada Ibu Imas. “Bu, sudah dulu ya. Ada teman.” Tanpa menunggu balasan dari Ibu Imas, Najma langsung mematikan ponselnya. Benda pipih itu di masukkan segera ke dalam tas.

“Saya mencari nona kemana-kemana. Eh, ternyata nona santai makan di sini.”

Najma berdiri dari duduknya. “Maaf tuan. Saya lapar belum sempat makan siang. Jadi... makan deh. Lihat, nasi gorengnya saja sampai habis.” Najma menunjuk piring nasi gorengnya.

Wilson tak menoleh pada apa yang ditunjuk oleh Najma. Wajahnya terlihat serius."

“Tuan Roger sudah menunggu. Pernikahan akan segera dilaksanakan. Jadi, nona harus ke sana sekarang.”

Najma menelan salivanya mendengar itu. “Saya minta maaf karena sudah membuat Tuan Roger. Baik, kita ke sana sekarang.

Tak menunda, keduanya lalu meninggalkan kantin menuju bangunan yang disebut kantor KUA. Ternyata benar, pernikahan sudah akan dimulai. Semua orang-orang yang akan terlibat dalam pernikahan ini sudah berkumpul. Tak terkecuali Roger.

Ah, pria itu. Di detik-detik pernikahan, wajahnya tetap dingin. Saat melihatnya, tidak seperti cara pandang pria kepada calon istri. Datar dan jauh dari tatapan cinta.

Najma menyesalkan pernikahannya akan terjadi dengan suasana yang seperti ini. Padahal seperti gadis lainnya, dia memimpikan pernikahan yang indah dan penuh cinta.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status