Share

Bab 5

“Ini calon mempelai wanitanya?” tanya Pak Penghulu sembari menunjuk Najma.

Najma mengangguk. “I-iya, pak.” Agak gugup. Bahkan jantungnya berdegup tidak teratur.

“Kalau begitu ayo duduk di sini! Apa lagi yang adek tunggu?” Yang semula jari telunjuk Pak Penghulu mengarah ke Najma, berganti menunjuk ke arah kursi yang ada di depannya, yaitu di samping Roger.

Najma kembali mengangguk. “Baik pak.”

Dengan sedikit membungkuk, Najma mendekati kursi yang memang dipersiapkan untuknya itu. Sebelum duduk, dia sempat melirik Roger. Pria itu terkesan tidak perduli dengan kehadirannya karena tidak menoleh sedikit pun meskipun tahu dirinya mendekat.

‘Betapa tidak berharganya aku di matanya. Dia menikahi aku benar-benar hanya karena birahinya dan bukan atas dasar suka. Betapa sialnya hidupku ini,’ gumam Najma dalam hati.

Tak lama setelah Najma mengambil duduk di sebelah Roger, akad nikah pun dimulai. Roger dan Pak Penghulu yang juga menjadi wali hakim mengucapkan ijab qabul.

Beberapa saat kemudian.

“Bagaimana? Sah? Sah?”

“Sah.”

“Alhamdulillah….”

Kalimat hamdalah menggema ke seluruh ruangan seolah mengungkapkan sebuah kelegaan karena sebuah hubungan yang semula haram menjadi halal.

Pun Najma. Gadis itu menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah sembari mengucapkan kalimat hamdalah seperti juga yang lain. Kini dirinya menjadi tanggung jawab Roger dan dia harus berbakti pada pria itu meskipun mungkin hanya untuk sementara.

Ya, untuk sementara. Karena pernikahan ini akan tetap berlangsung jika Roger masih menginginkannya. Jika sudah bosan, maka berakhir sudah.

Selanjutnya, Roger menyerahkan sertifikat tanah yang di atasnya berdiri Panti Asuhan Selaksa Rindu kepada Najma sebagai mahar. Najma menerima sertifikat itu dengan hati bahagia. Akhirnya, Ibu Aliyah dan seluruh penghuni panti akan tetap tinggal di sana tanpa merasa khawatir lagi karena sertifikat tanah telah berada di tangannya.

“Sekarang Dek Najma silahkan mencium tangan Tuan Roger. Saat ini beliau adalah suami adek yang harus dipatuhi dan hormati,” ucap Pak Penghulu.

Untuk ke sekian kalinya Najma mengangguk. “Iya, pak.”

Najma pun mengalihkan pandang dari Pak Penghulu ke Roger. Tampak pria itu tetap bersikap dingin. Lalu dengan angkuhnya, Roger mengulurkan tangan kepadanya.

Najma menipiskan bibir. 'Sabar Najma, sabar. Ingat kamu bukan menikah dengan pria yang mencintaimu, melainkan menikah dengan pria yang hanya menginginkan tubuhmu sampai dia bosan. Jadi jangan berharap akan mendapatkan perlakuan penuh cinta darinya.' Najma membesarkan hatinya sendiri.

Dengan sedikit gemetar, tangan Najma yang lentik menyentuh tangan kekar Roger. Rasanya aneh karena ini kali pertama mereka bersentuhan. Tangan Roger juga berat ketika dia mengangkatnya dan ditempelkannya ke ujung hidung. Biar pun berat, tangan Roger wangi. Bagaimana bisa begitu, Najma tidak tahu.

Selanjutnya, mereka berdua menandatangi surat-surat pernikahan. Setahunya, mengurus persyaratan nikah tidak cukup satu hari. Tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk Roger yang berkuasa dan banyak uang. Semua urusan bisa selesai dengan cepat dan mudah.

Ah, baru dua hari yang lalu dia bertemu dengan Roger, tapi sekarang sudah menjadi istrinya saja. Kalau dibuat novel maka judul yang mungkin cocok adalah Married Ekspress. Canda hati Najma.

Penandatanganan sudah. Najma, Roger, dan Wilson keluar dari kantor KUA. Jika Roger langsung masuk ke dalam mobil, maka Najma masih berdiri di teras kantor KUA. Dia bingung harus kemana.

Apakah harus masuk ke mobil yang sama dengan yang dimasuki oleh Roger?

Atau masuk ke mobil Wilson seperti tadi waktu berangkat ke sini?

Atau dia pulang saja ke kos-annya?

Melihat Najma masih berdiri saja di teras kantor KUA, Wilson menggelengkan kepala sebelum akhirnya mendekati gadis tersebut. “Nona, apa yang sedang nona pikirkan? Kenapa tidak masuk ke dalam mobil?”

“Ee… saya bingung harus naik mobil siapa. Mobil anda? Mobil Tuan Roger? Atau saya pulang?”

“Tentu saja masuk ke mobil Tuan Roger. Bukankah malam ini nona harus membayar sertifikat tanah yang sekarang sudah nona genggam?"

Najma mendadak gugup. "Ah, iya. Saya memang bodoh." Lalu dia melirik mobil yang ada Roger di dalamnya dengan perasaan yang masih bingung. “Memangnya Tuan Roger tidak marah saya masuk ke mobilnya? Dia terlihat tidak menyukai saya.”

“Sikap Tuan Roger memang seperti itu. Cuek, dingin, dan terkesan tidak perduli. Akan tetapi, saya pastikan dia tidak akan marah jika nona satu mobil dengannya, karena dia tau nona harus membayar sertifikat tanah itu."

Najma menelan saliva. "Iya juga ya." Kali ini dia melangkah ke arah mobil tujuan. Tapi baru beberapa langkah, dia mendengar suara Wilson lagi.

"Mulai detik ini tolong nona jangan panggil saya dengan tuan. Cukup dengan Wilson saja, karena kini nona sudah menjadi Nyonya Roger."

Najma menoleh dan tersenyum getir. "Sa-saya akan berusaha."

Wilson mengedipkan mata. "Terima kasih nona."

Najma kembali melangkah dengan jantung yang berdegup-degup tak jelas. Bukan tanpa sebab, Wilson tadi bilang bahwa dirinya sekarang adalah Nyonya Roger. Memangnya pantas?

Nyonya Roger….

Nyonya Roger….

Hati Najma mengumandangkan panggilan itu terus menerus hingga sampai di pintu mobil yang terbuka. Dengan canggung, dia masuk ke dalamnya. Di sana sudah duduk Roger yang sibuk dengan gawainya. Lagi-lagi Roger mengacuhkannya seolah dirinya tiada. Sikap Roger tersebut membuatnya jadi merasa tak berharga di hadapan pria itu. Ah, ya. Memang sih. Roger itu siapa dan dirinya siapa. Dia hanya seorang gadis yatim piatu yang tidak punya apa pun dan siapa pun di dunia ini.

Setelah mengambil duduk di sebelah Roger, Najma hendak menutup pintu mobil. Tapi baru saja tangannya hendak menyentuh pintu tersebut, pintu bergerak menutup sendiri.

‘Eh, ternyata pintu mobilnya menutup sendiri,’ gumam Najma heran dan senyum malu. 'Canggihnya. Pasti mobil mahal.' Oh, begitu kampungannya dia.

Tidak ada obrolan sepanjang perjalanan. Roger sibuk dengan gawainya dan Najma memilih untuk memperhatikan suasana jalanan yang berwarna redup karena hari sudah sore menjelang maghrib.

Bersamaan dengan tibanya mereka di sebuah pintu gerbang yang tinggi, adzan maghrib berkumandang. Sangking tingginya pintu gerbang, Najma tidak bisa melihat keadaan di dalamnya yang entah rumah, kebun, atau kuburan. Najma jadi takut kalau dirinya ditipu oleh pria yang bernama Roger ini. Bisa jadi begitu masuk ke dalam dia akan diperkosa, sertifikat tanah diambil, lalu dia dibunuh.

Najma jadi was-was ketika pikiran buruk itu melintas di benaknya dan berharap itu tidak terjadi. Dia masih ingin hidup dunia dan menikmati prosesnya. Lagian Roger sudah jadi suaminya. Mana ada istilah pemerkosaan. Yang ada malah istri durhaka jika sampai menolak keinginan suami untuk campur. Satu-satunya yang harus dia khawatirkan adalah sertifikat tanah yang sekarang ada di tangannya. Akan lebih aman jika diberikan pada Ibu Aliyah sekarang juga. Mungkin nanti malam dia bisa izin keluar untuk menyerahkan sertifikat tanah ini.

Pintu gerbang terbuka. Mobil pun bergerak masuk ke dalamnya sebelum akhirnya menutup kembali. Rupanya di dalam terbentang tanah yang sangat luas dan di atasnya berdiri bangunan megah satu lantai yang disebut rumah. Najma tak berkedip melihat rumah itu karena kemegahannya untuk beberapa detik.

'Waw! Bagus sekali.... Apakah ini rumah Tuan Roger?' tanya Najma dalam hati dengan mata berbinar-binar karena kagum.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mirda Apriyanti
ceritanya keren
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status