"Kita kalah. Kita kalah, Bu. Tuan Roger resmi menjadi pemilik tanah panti ini. Secepatnya kita harus pergi dari sini."
Bukan mudah saat Najma menyampaikan ini pada Aliyah, pemilik panti. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus mereka terima. Namun, dia tidak pernah mengira dampaknya. Rasa cinta yang begitu besar kepada panti membuat Aliyah tak mampu kehilangan. Akibatnya, wanita paruh baya ini langsung lemas tak sadarkan diri.***BLACK EAGLE CORPORATION.Najma menatap nama itu dengan sedikit mengangkat wajahnya. Maklumlah, tertempel di atas sebuah gedung dimana dirinya kini berdiri di luar pagarnya.Sesudah menyakinkan diri kalau ini benar perusahaan milik Roger, dia pun melangkah masuk ke pelataran perusahaan. Baru beberapa langkah melewati pintu pagar, seorang satpam berjalan cepat ke arahnya. "Eh, dek! Dek! Mau ketemu siapa?"Suara teriakan itu cukup kuat tertangkap oleh indera pendengar. Najma pun menoleh. Langkahnya langsung terhenti begitu mendapati satpam tadi mendekat."Mau bertemu dengan Tuan Roger, pak." Lugu sekali memang Najma ini. Mengatakan maksudnya tanpa mencari tahu siapa Roger. Menyampaikan ingin bertemu Roger seperti ingin bertemu dengan temannya.Satpam tadi memperhatikan Najma dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan Najma sungguh tidak menyakinkan. "Memangnya adek sudah punya janji dengan Tuan Roger?"Najma menggeleng samar. Wajah cantiknya terlihat bingung. "Belum, pak. Memangnya harus buat janji dulu kalau mau bertemu sama dia?""Aduh... tentu saja." Satpam ini seperti orang kebingungan menghadapi Najma. "Tuan Roger tidak bisa ditemui oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa bertemu dia. Memangnya ada keperluan apa sih adek mau ketemu dia?""Keperluan_" Najma menggaruk keningnya. Tampak sekali sedang berpikir. "_penting, pak. Iya, keperluan yang penting." Apakah dia harus mengutarakan maksudnya pada seseorang yang baru dia temui?"Siapa pun kalau ingin bertemu Tuan Roger pasti bilangnya penting. Nggak penting aja dipenting-pentingin." Nada bicara yang terkesan sinis. Namun ini benar adanya."Tapi ini beneran penting, pak. Saya tidak bohong." Najma mengatakan itu dengan nada memohon. Takut satpam di depannya ini mengusirnya.Satpam itu berdecak. "Iya, tapi masalah apa? Tuan Roger tidak akan mau sembarangan menemui orang. Apalagi belum membuat janji dengannya. Kedatangan adek ini sia-sia saja kalau tanpa janji."Untuk sesaat Najma terlihat gelisah. Merasa ragu untuk mengatakan perihal sebenarnya pada seorang satpam yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Tapi daripada diusir sebelum bertemu dengan orang yang jadi tujuan?"E... ini masalah tanah panti asuhan yang akan dibangun hotel oleh Tuan Roger di atasnya." Najma mulai bercerita. Terpaksa sih. "Kasihan adik-adik saya tidak punya tempat tinggal lagi. Padahal kami membangun panti asuhan di atas tanah itu atas seizin yang punya tanah dan yang punya tanah sudah memberikannya kepada kami. Hanya saja, kami memang belum memegang sertifikatnya dengan alasan tanah belum dipecah-pecah. Katanya putranya yang akan mengurus. Tapi yang terjadi kemudian, yang memberi tanah meninggal. Ternyata putranya tidak amanah. Dia menjual semua tanah ayahnya itu tanpa memperhitungkan kami. Lalu dibeli oleh Tuan Roger. Kira-kira ceritanya seperti itulah, pak. Makanya saya mau ketemu sama beliau. Siapa tau mau berbaik hati untuk kami."Setelah berpikir untuk sekian detik, akhirnya satpam itu memberi solusi. "Begini saja, kamu masuk ke lobby. Bilang resepsionis ingin bertemu dengan Tuan Roger. Lalu ceritakan pada resepsionis cerita yang barusan kamu ceritakan kepadaku. Tapi kamu tidak bisa berharap apapun. Aku tidak yakin Tuan Roger mau bertemu kamu untuk membahas ini. Kalaupun dia bersedia bertemu kamu, paling-paling membuat janji dulu dan tidak hari ini.""Iya, pak. Tidak apa-apa. Yang penting saya diizinkan masuk dan berusaha dulu. Untuk hasil... bagaimana nanti saja, pak.""Ya, sudah. Masuklah!"Setelah mengangguk dan mengucapkan terima kasih, Najma langsung melangkah menuju gedung. Dia mengikuti ucapan satpam dengan mengatakan kepada resepsionis maksud kedatangannya ke perusahaan ini."Saya coba untuk hubungi assisten pribadinya dulu ya, mbak," tanggapan resepsionis ramah. Jemari lentik resepsionis itu mengangkat telpon, lalu memencet beberapa nomer. Beberapa detik kemudian wanita itu terlibat obrolan di telepon sebelum akhirnya menaruh kembali teleponnya." Maaf mbak, tapi kata Pak Wilson persoalan tanah itu sudah selesai. Itu jelas milik Tuan Roger karena beliau membeli dari pemiliknya langsung dan memegang sertifikat atas tanah itu. Jadi tidak perlu dibicarakan lagi."Najma menggeleng tidak terima. "Tidak begitu mbak. Pemilik aslinya memberikan tanah itu kepada kami. Tapi putranya yang tidak amanah menjualnya pada Tuan Roger. Sehingga kini__""Mbak, mbak. Saya tidak tau menahu soal ini." Resepsionis menginterupsi. "Pak Wilson mengatakan apapun berdasarkan perintah Tuan Roger. Kalau jawabannya seperti tadi, artinya Tuan Roger tidak mau bertemu mbak."Najma panik. Bahkan sampai kesulitan menelan saliva sendiri. "Terus saya harus bagaimana mbak?"Resepsionis menggedikkan bahunya. "Mana saya tau, mbak. Tapi yang pasti Tuan Roger tidak mau bertemu mbak. Jadi menurut saya , mbak pulang aja. Percuma kan tetap di sini?"Najma tetap berada di tempatnya meskipun sudah diusir secara halus oleh resepsionis. Dari sorot matanya yang sayu tapi tegas, terlihat sekali dia belum akan menyerah. "Gini aja mbak, besok saya akan datang ke sini lagi. Barangkali Tuan Roger berubah pikiran dan mau bertemu dengan saya."Resepsionis menipiskan bibir. "Percuma mbak karena_""Terserah kata mbak, tapi saya akan tetap datang besok," sela Najma tegas. "Kalau masih tak ada hasil, maka saya akan datang besoknya lagi. Besok dan besok lagi sampai Si Tuan Roger itu mau bertemu dengan saya untuk membicarakan ini." Najma langsung membalikkan badan dan berjalan keluar tanpa menunggu respon resepsionis.***Najma dikenal sebagian orang sebagai gadis yang polos. Tak banyak tingkah dan tak pernah terlihat menjalin hubungan dengan pria mana pun. Sebagian lagi, mengenalnya sebagai gadis lembut, baik hati, dan ramah. Dia disukai banyak orang karena sifatnya itu.Tapi tak banyak orang yang tahu dengan kepribadiannya yang tangguh dan tidak mudah menyerah. Karena itu, penolakan Roger di hari itu tak lantas membuatnya patah arang. Najma membuktikan ucapannya pada resepsionis. Esok harinya dia kembali datang ke perusahaan yang sama untuk mengungkapkan maksudnya. Meskipun mendapatkan penolakan yang sama seperti kemarin, hari-haru selanjutnya dia tetap datang. Sampai membuat resepsionis capek."Pak, kalau gadis itu datang lagi, tolong jangan biarkan masuk. Usir saja. Saya sudah capek menghadapinya." Pesannya pada satpam yang menjaga pintu gerbang.Maka sejak saat itu, langkah Najma tertahan di pintu pagar saja.Namun, lagi-lagi Najma belum menyerah pada keinginannya untuk bertemu dengan Roger. Setiap hari gadis itu datang. Tidak diperbolehkan masuk oleh satpam. Berdiri berjam-jam di dekat pintu pagar tak kenal panas dan hujan. Kalau capek berdiri dia akan duduk. Sesekali merengek pada satpam untuk membiarkannya masuk sampai membuat indera dengar satpam lelah.Begitu setiap hari.Najma akan datang di pagi hari ke perusahaan itu dan pergi saat siang datang karena harus bekerja.Membuat para satpam hampir menyerah menghadapinya.Hingga kegigihannya sampai juga ke telinga Wilson. Pria tersebut akhirnya menyampaikan hal ini pada bosnya, Roger."Jadi begitu?" Ini respons Roger setelah mendengar berita tentang Najma dari Wilson."Ya, tuan," jawab Wilson dengan kedua tangan di depan. Tangan kiri menangkup tangan kanan."Gadis yang_" Roger menarik senyum penuh arti di sudut bibir kirinya. "_ cukup menarik."Wilson sengaja diam. Menunggu Roger melanjutkan kalimatnya."Kalau begitu... jika dia datang lagi besok, bawa dia menemui aku."Wilson mengangguk cepat. "Baik tuan."Bersambung.Malam itu, Najma dan Roger kembali melakukan aktivitas suami istri yang sempat tertunda selama lima tahun. Di bawah lampu kamar yang remang-remang dengan suasana malam yang sejuk, keduanya menyatukan diri. Berbeda dengan dulu yang hantui rasa bersalah, kali ini mereka melakukannya dengan perasaan bebas, sehingga bisa lebih menikmati setiap sentuhan demi sentuhan. Roger begitu bersemangat. Dia menyalurkan semuanya dari mulai hasratnya sebagai laki-laki yang sempat mati, rasa cinta yang begitu besar pada Najma, dan rindu yang menggebu-gebu. Dalam sekejap, kamar yang rapi itu berubah jadi berantakan. Seprei yang terlepas dari kasurnya, bantal yang sudah tidak berada di atas tempat tidur, dan pakaian yang berhamburan di lantai. Pasangan pengantin itu baru merasa capek setelah waktu melewati tengah malam menuju dini hari. Mereka pun merebahkan tubuhnya dengan tenang dan hati yang nyaman. Lalu tertidur dalam pelukan malam. Pukul 4 pagi, Najma terbangun dari tidurnya. Dia terkejut saat m
Wilson terhenyak mendapati ekspresi Roger barusan. Seakan calon istrinya hilang diculik orang. Padahal dia yakin Najma baik-baik saja. "Tuan tolong santai jangan sepanik itu.""Aku akan berhenti panik kalau Najma sudah ada di sini. Paham!" Roger membentak. Membuat Wilson berjengkit kaget. "Apa harus menunggu Najma benar-benar hilang baru kamu mengerti tentang kepanikanku?""Ya oke. Aku akan pergi menjemputnya sekarang."Wilson melangkah meninggalkan ruangan itu dengan terburu. Langkahnya tiba-tiba berhenti begitu melihat Najma yang mengenakan kebaya pengantin tengah melangkah ke arahnya. Di sebelah kanan kiri Najma adalah Aliyah dan Imas. Tentu saja itu membuat Wilson langsung menghela nafas lega."Ya ampun aja, Naj. Kamu membuat Tuan Roger panik. Aku telepon kamu berkali-kali tapi tidak diangkat. Aku sampai disuruh nyusul kamu.""Oh, maaf. Ponselku di dalam tas yang dibawa ibu Imas. Tapi memang aku silent. Makanya Ibu Imas tidak tahu kalau ada yang menelpon. Aku pikir pernikahan ini
Hasil diskusi di sepakati kalau pesta pernikahan akan dilaksanakan di Jakarta. Bukan tanpa sebab, Najma ingin dihadiri oleh seluruh penghuni panti. Dia ingin di hari bahagianya, semua penghuni panti juga berbahagia. Jadi, di hari pernikahannya itu anak-anak bisa makan makanan sepuasnya. Najma meminta Roger memesan makanan yang enak-enak yang belum pernah dimakan oleh penghuni panti.Ini baru rencana Najma. Tapi Roger sudah mengiyakan dengan antusias. Dia serahkan urusan pernikahan pada Najma. Dia biarkan calon istrinya itu membuat pesta seperti khayalannya sendiri. Yang penting bagi Roger Najma menjadi miliknya kembali.Yang berat adalah tugas Wilson yang harus berhasil mencari Wedding Organizer yang sanggup mempersiapkan acara pernikahan yang diadakan hanya dalam satu minggu.Dimana coba Wilson harus mencari Wedding Organizer yang sehebat itu?"Calon pasangan pengantin ini memang aneh. Inginnya cepat-cepat. Untung aku tidak menyanggupi permintaan tuan untuk mencari Wedding Organizer
Suara bel membuat Najma yang baru selesai masak, menoleh ke arah pintu. "Tidak mungkin mereka kan? Cepat sekali." Mini kitchen, Najma tinggalkan untuk membuka pintu. Matanya melebar begitu melihat dua orang pria di depannya. Ternyata memang 'mereka' yang dimaksud oleh Najma tadi. "Jam segini kalian sudah datang? Aku saja belum makan malam lho. Baru selesai masak." "Kami memang sengaja datang cepat," balas Wilson. "Biar lama, eh, maksudnya biar punya waktu leluasa untuk ngobrolnya. Kalau datang terlalu malam, pasti akan terburu-buru untuk pulang." "Iya juga sih. Tapi kalian pasti juga belum makan malam kan? Aduh, aku hanya masak nasi goreng buat aku saja. Gimana dong?" Wilson mengangkat dua plastik besar yang ditentengnya. "Karena itu kami beli makanan tadi di jalan. Kami memang berencana buat makan malam di sini." Najma nyengir melihat dua plastik besar berlabel restoran terkenal di tangan Wilson. "Oh, ya, niat banget ya?" "Iya, dong. Nggak disuruh masuk nih? Pegal lho berdiri d
"Lho kok sudah pulang?" tanya Wilson begitu Roger masuk ke dalam mobil. "Bukannya kalian berdua mau mengobrol di dalam apartemen Najma?" "Tidak jadi," jawab Roger dengan nada kesal. "Dia mengusirku lantaran kamu sudah tidak ada. Maksudnya dia tidak mau kami hanya berdua saja di dalam sana." "O... begitu." Kening Wilson mengerut. "Bagus dong. Mungkin dia takut kalau berduaan saja anda tidak akan kuat menahan godaan." "Apa kamu pikir imanku selemah itu?" "Waduh, bahasa anda jadi berbeda. Anda sudah bisa berbicara mengenai iman. Mentang-mentang calon istri berhijab." "Aku berjanji akan mengubah diriku menjadi pribadi yang agamis setelah menikah." "Jadi brewok mau dipanjangin nih?" Roger melirik Wilson kesal. "Kenapa kamu malah bawa-bawa brewok sih? Memangnya menjadi agamis wajib brewokan gitu? Sudah sekalian aku jadi ustad saja." "Ya kali aja, tuan." "Sudah, jalan! Omonganmu sudah ngacok!" Wilson tersenyum geli karena Roger tidak bisa diajak bercanda. "Tuan jangan serius terus.
"Tuan, kita tidak akan jadi pulang pagi ini." Roger menoleh pada Wilson dan menatap assistennya pribadinya itu dengan tatapan menyelidik. "Kenapa kita tidak jadi pulang?" Wilson menunjukkan layar ponselnya yang sudah berwarna gelap. "Tadi Najma kirim pesan kepadaku kalau... dia menerima lamaran anda." Bagai tersambar petir Roger mendengar itu. Dia tersentak kaget. "Benarkah?" Wilson mengangguk. "Hum. Jadi apakah kita akan tetap pergi ke Bandara?" "Tentu saja tidak! Bagaimana kau ini?!" hentak Roger. Dia lalu mengarah pandang pada sopir di depan. "Pak, balik arah!" Sementara itu, Najma menatap layar ponselnya dengan tersenyum. Baru saja dia mengambil keputusan besar dalam hidupnya, yaitu kembali merajut pernikahan dengan Roger. Tak mudah mengambil keputusan ini setelah dia mengalami kisah yang tidak baik dengan pria itu. Batinnya mengalami pergulatan. Apalagi dia sudah tahu karakter pria itu. Namun, setelah dipikir-pikir, semakin dia tahu tentang calon suami dengan segala karakt
"Aduh, bagaimana bisa aku bangun kesiangan seperti ini?" Najma memakai riasan wajah dengan gerakan cepat. Tidak peduli lagi apakah ada yang belum sempurna. Pagi ini dia harus berkejaran dengan waktu meskipun kemungkinan besar tetap datang terlambat. Masalah besarnya adalah pagi ini Frans ada rapat dadakan dengan sang presiden direktur yang rencananya akan kembali ke ibukota besok. Baru bangun tidur tadi dia membaca pesan itu. Jam kerja kurang 10 menit lagi tapi Najma baru keluar dari apartemen. Dia berlari menyebrangi pelataran apartemen seperti orang gila. Satpam yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala. Untung ada taksi yang kebetulan lewat. Tanpa pikir dua kali dia menggunakan taksi itu menuju perusahaan tempatnya bekerja. "Tumben Mbak Najma telat?!" teriak Sarah dari balik meja resepsionis. Tapi Najma tidak peduli dengan teriakan itu. Dia hanya melambaikan tangan pada Sarah. Langkah Najma telah jauh. Kini dia bergabung dengan orang-orang yang sedang menunggu di depan lift.
Roger mendudukkan pinggulnya di sofa dengan membawa perasaan sedih. Dadanya terasa sesak karena Najma telah menolaknya bahkan sebelum dia mengeluarkan cincin yang telah dia siapkan dengan perasaan penuh cinta.Dunianya terasa sudah berakhir sekarang. Ditolak oleh Najma ternyata lebih sakit dibanding digugat cerai oleh Agnes.Sejak datang Najma di hidupnya, hatinya memang telah berpaling dari Agnes dan bersemayam dalam diri Najma.Tapi dulu dia tidak mau mengakui itu.Namun sekarang dia mengakui bahwa dia cinta mati pada Najma."Kenapa kamu menilaiku seburuk itu, Najma? Kenapa kamu terus membawa Agnes dalam hal ini?" tanya Roger sembari menatap cincin berlian di dalam kotak segiempat di dalam genggaman tangannya. Sebelum ini dia sudah berkhayal melihat cincin berlian ini melingkar cantik di jari manis Najma.Roger menutup kotak cincin itu dengan wajah putus asa. Dia taruh begitu saja benda segi empat itu ke atas meja sebelum akhirnya menyandarkan punggung di sandaran sofa yang empuk. W
Wilson menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Memang bukan apartemen kamu. Ini sebuah restoran.”“Ya terus kenapa kamu membawaku ke sini, sih?!” tanya Najma dengan wajah emosi. “Kamu bukan mau menculikku seperti ucapanmu tadi kan?!”“Bisa dikatakan aku memang… menculik kamu sih jadinya, karena membawamu ke sini tanpa seizinmu.”Najma mendengkus. “Jawab dong kenapa kamu membawa aku ke sini?”“Kita keluar dari mobil dulu. Nanti juga kamu bakalan tau.” Wilson membuka pintu mobil.“Wil….” Najma merengek. Tapi akhirnya dia turun juga karena Wilson sudah berada di luar mobil. “Aku sudah berada di luar mobil, nih. Sekarang katakan alasanmu membawaku ke sini," tagihnya.“Aku tidak bisa mengatakannya di sini. Sekarang kamu ikut aku dulu.” Wilson melangkah.Najma menghentakkan kaki kanannya, lalu berkata dengan agak kuat. “Wil, kamu ini sedang mempermainkan aku atau bagaimana sih? Bilang kenapa kamu bawa aku ke sini saja susahnya minta ampun!”“Pokoknya, kalau kamu mau tau alasannya, ikut aku,”