แชร์

Bab 2 - Pulang ke Pelukan Ibu

ผู้เขียน: Eladzaky
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-23 20:30:50

Selesai mandi, aku mematut diri di depan cermin. Wajahku tampak sembab, mataku bengkak. Tapi biarlah, aku sudah tak peduli. Aku hanya ingin pergi dari rumah ini, dari segala sesak yang ditinggalkan Mas Azam.

Aku sudah memutuskan. Hari ini, aku akan ke rumah Ibu.

Hanya Ibu yang bisa menenangkanku.

Aku butuh nasihatnya, butuh belaian lembut tangannya, butuh pelukan hangatnya.

Intinya, aku butuh Ibu.

Selama ini aku jarang sekali menceritakan hal-hal sedih padanya. Aku selalu berusaha menampilkan wajah bahagia setiap kali pulang. Karena aku tahu, kalau Ibu sampai tahu aku menderita, beliau pasti akan jauh lebih terluka daripada aku sendiri.

Tapi kali ini… aku tak sanggup lagi berpura-pura.

Aku harus jujur. Aku ingin melepaskan Mas Azam, dan keluargaku harus tahu alasannya.

Dengan langkah gontai, aku keluar rumah. Kuseka air mata yang belum kering dan mengenakan helm. Kubawa sepeda motor matic lamaku, yang dulu kubeli dari hasil kerja sebagai Staff Tata Usaha di SD dekat rumah Ibu, pekerjaan yang harus kutinggalkan karena menikah dengan Mas Azam.

Setelah menikah, Mas Azam tak pernah mengizinkanku bekerja di luar rumah.

“Kamu gak perlu capek-capek, Sayang. Cukup di rumah aja. Mas masih bisa kok nafkahin kamu dan mencukupi semua kebutuhanmu” begitu katanya waktu itu.

Dan aku, yang saat itu masih buta dengan segala hal tentang pernikahan, menurut saja. Kupikir, begitulah bentuk cinta dan tanggung jawab seorang suami.

Nyatanya, aku hanya jadi perempuan yang kehilangan sebagian dari diriku sendiri.

Seluruh duniaku hanya berputar di rumah dan sekitarnya.

Kulaju sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Angin pagi menyapu wajahku, tapi rasa sesak di dada ini tetap tak berkurang. Jalanan menuju rumah Ibu terasa panjang, padahal biasanya perjalanan ini cuma butuh tiga puluh menit.

Sesampainya di depan rumah Ibu, aku menarik napas panjang.

Rumah itu masih sama seperti dulu. Sederhana, tapi selalu terasa hangat dan hidup.

Meski rumah Ibu kecil, tapi punya pekarangan yang cukup luas dan dipenuhi berbagai macam tanaman. Ada bunga kertas, lidah mertua, sirih gading, dan beberapa pot sayur yang ditanam Ibu di sepanjang pagar.

Rumah ini seperti oase bagi hatiku yang kering.

Mataku terhenti pada kursi taman di bawah pohon jambu air, kursi yang kubelikan untuk Ibu beberapa tahun lalu. Kursi itu masih berdiri di tempat yang sama, bersih dan terawat.

Aku tersenyum kecil, lalu duduk di sana sambil melamun. Hati ini seperti diseret ke masa lalu, ke hari-hari sebelum hidupku serumit sekarang.

“Loh, Alya? Kamu kapan datang? Kok bukannya masuk malah melamun di situ?”

Suara Ibu membuyarkan lamunanku.

Beliau keluar dari arah dapur sambil membawa kantung kresek besar berisi sampah dapur. Aku cepat berdiri, gugup karena ketahuan melamun.

“Eh... i-iya, Bu. Baru aja sampe,” jawabku terbata.

Aku langsung menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan takzim.

Ibu tersenyum lembut, seperti biasa.

“Ya sudah, masuk sana. Sarapan bareng adik-adikmu. Ibu mau buang sampah dulu.”

Aku mengangguk. “Alya udah sarapan kok, Bu. Ibu hati-hati, ya.”

Begitu Ibu melangkah keluar pagar, aku masuk ke rumah. Aroma masakan langsung menyambutku, harum tumisan bawang, khas dapur Ibu.

“Assalamualaikum…” sapaku pelan.

“Waalaikumsalam!” dua suara menjawab bersamaan.

Dari arah ruang makan, tampak Alina dan Alfa sedang sarapan.

“Kak Alya? Tumben pagi-pagi ke sini,” sapa Alina sambil berdiri menghampiriku.

Alina memelukku sebentar, diikuti Alfa yang juga mencium tanganku.

“Pasti ada yang penting, ya, Kak?” tebak Alfa sambil tersenyum nakal.

Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku terasa kaku. “Ya... begitulah,” jawabku pelan.

Alina menatapku tajam. “Kakak baik-baik aja, kan?” tanyanya dengan nada khawatir.

Tatapan Alina selalu bisa menembus dinding pertahananku. Aku hanya menunduk, menahan air mata yang nyaris jatuh.

“Duduk dulu, Kak. Sarapan bareng kita, ya,” ajak Alina lembut.

“Gak usah, Kakak udah sarapan. Kalian lanjutin aja, nanti keburu dingin makanannya.” Aku duduk di kursi sebelah mereka, mencoba menenangkan diri.

“Fa, buatin minum buat Kak Alya,” titah Alina.

“Gak usah, Fa. Nanti kesiangan berangkat sekolah,” potongku cepat.

“Gapapa, Kak. Masih banyak waktu,” jawab Alfa sambil tersenyum dan menuangkan teh hangat ke cangkir.

Setelah beberapa saat, aku menarik napas panjang.

“Kakak beneran gak apa-apa?” tanya Alina lagi, lirih.

Aku memaksakan senyum. “Sebenernya... ada apa-apa, Lin. Makanya Kakak ke sini. Kakak butuh Ibu... dan kalian.”

Alina saling pandang dengan Alfa, lalu kembali menatapku serius.

“Kakak... ada masalah sama Mas Azam?” tebak Alina.

Pertanyaannya seperti anak panah yang tepat mengenai sasaran.

Aku tak sanggup menjawab, hanya mengangguk pelan. Air mataku mulai menggenang lagi.

Alfa menyodorkan teh hangat ke hadapanku. “Minum dulu, Kak,” katanya lembut.

“Terima kasih, Fa.”

Aku menyeruput sedikit. Hangat teh itu menyusup ke tenggorokan, tapi dingin di hati ini tak berkurang sama sekali.

“Udah, kalian lanjutin sarapan,” ujarku pelan. “Nanti Kakak cerita kalau Ibu udah pulang.”

Tanpa banyak tanya lagi, Alina dan Alfa menurut. Tapi aku tahu, pikiran mereka sudah penuh dengan tanda tanya.

Kami bertiga bersaudara. Aku anak pertama, Alina anak kedua, dan Alfa si bungsu.

Usiaku 27 tahun, Alina 21, dan Alfa 17 tahun. Meski jaraknya lumayan jauh, hubungan kami sangat dekat.

Mereka bukan cuma adik, tapi juga sahabat, tempatku berbagi banyak hal.

Aku menikah di usia muda, baru 20 tahun waktu itu. Mas Azam 23.

Dia yang terburu-buru ingin menikah, katanya takut orang tuanya berubah pikiran dan menjodohkannya dengan perempuan lain.

Dan aku, gadis polos yang cinta mati, langsung mengiyakan.

Padahal aku baru saja diterima kuliah. Tapi demi Mas Azam, aku lepaskan semuanya.

Mungkin itulah kesalahanku: mencintai seseorang sampai lupa mencintai diri sendiri.

Beberapa saat kemudian, suara pagar terbuka. Ibu sudah kembali. Beliau langsung menuju dapur, lalu keluar membawa piring kosong dan duduk di kursi sebelahku.

“Jadi, hal apa yang membuatmu datang sepagi ini, Nak?” tanyanya lembut.

Aku menatap wajah Ibu, lalu tanpa bisa menahan diri, aku langsung memeluknya erat.

Tangisku pecah di pundaknya.

Ibu tak banyak bicara, hanya mengusap bahuku perlahan.

Tak ada kata-kata, hanya kehangatan yang menenangkan.

Aku menangis lama sekali, sampai sesak di dada ini sedikit berkurang.

Baru setelah tangisku mereda, Ibu berbisik lembut,

“Udah bisa cerita sekarang, Nak?”

Aku mengangguk pelan.

Sebelum aku bicara, Ibu menoleh ke arah adik-adikku.

“Fa, kamu berangkat aja. Udah siang, nanti telat.”

Alfa cepat menjawab, “Masih ada waktu, Bu. Tempat PKL-nya deket.”

Oh iya, aku lupa, Alfa memang sedang PKL di bengkel dekat rumah.

“Kalau kamu, Lin? Kuliah jam berapa?”

“Siang, Bu,” jawab Alina.

Ibu mengangguk, lalu menatapku lagi.

“Kalau begitu, gak apa-apa kan adik-adikmu ikut dengar? Biar mereka juga tahu.”

Aku tersenyum pahit dan mengangguk pelan. “Gak apa-apa, Bu. Toh cepat atau lambat mereka pasti tahu juga.”

Ibu mengangguk perlahan. “Baiklah, Nak. Sekarang ceritakan semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Aku menarik napas panjang.

Tangan gemetar menahan emosi yang belum reda.

Dalam hati aku berbisik, Maaf, Bu... kali ini aku gak bisa lagi berpura-pura kuat.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 14 - Kenangan di Warung Soto Betawi

    Siang itu matahari terasa lembut, tidak terlalu terik, tapi cukup hangat untuk membuat suasana jadi nyaman. Sebelum pulang ke rumah Ibu, aku dan Alina memutuskan mampir ke sebuah warung soto Betawi yang sangat akrab dalam ingatanku.Warung kecil di pinggir jalan itu tidak pernah berubah sejak dulu. Dindingnya masih dipenuhi foto-foto lama pelanggan, aroma rempah dan santan masih sama seperti ketika almarhum Ayah dulu sering mengajak kami makan di sini tiap habis gajian.Aku masih ingat betul, momen ketika Ayah duduk di kursi panjang dekat jendela, menyeruput soto sambil bercanda dengan Ibu. Hari itu selalu jadi hari yang ditunggu. Hari libur masak bagi Ibu, dan hari makan enak bagi kami sekeluarga.Kini, bertahun-tahun berlalu, hanya aku dan Alina yang datang. Tapi setiap kali menginjakkan kaki di sini, rasanya seperti k

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 13 - Alya Berhasil Merebut Kembali Haknya

    “Tunggu, Mbak Alya!”Suara Laras memecah langkahku yang sudah hampir sampai di gerbang. Aku menoleh cepat. Wajahnya pucat pasi, napasnya terengah seperti habis berlari maraton.“Apa lagi?” tanyaku dingin.“T-tolong... jangan laporkan kami ke polisi, Mbak. Oke, ini... ini kami kembalikan semuanya,” katanya terbata, suaranya nyaris bergetar. Ia menoleh ke arah ibunya. “Ayo, Bu... lepas semua.”Bu Mayang terperangah. “Apa? Kamu ini ngomong apa sih, Laras? Gak usah nurutin perempuan mandul ini! Kita gak salah apa-apa!”Namun tatapan Laras penuh ketakutan. “Bu, Ibu mau kita masuk penjara?” desisnya lirih tapi cukup tajam untuk

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 12 - Tertangkap Basah

    Ingatanku langsung melesat ke peristiwa kemarin sore, saat Bu Mayang dan Laras datang ke rumah, meminta uang dengan wajah memelas. Kala itu Mas Azam masuk ke kamar dan sempat membuka lemari. Aku memang tak curiga, kukira dia hanya mengambil dompet atau pakaian ganti. Tapi sekarang, setelah tahu semua perhiasanku hilang, pikiranku tak bisa berhenti memutar kemungkinan itu.Apa mungkin… saat itulah Mas Azam mengambil semua perhiasanku dan menyerahkannya pada mereka?Hatiku bergetar hebat. Tak bisa dibiarkan! Itu jelas pencurian, mengambil barang milik orang lain tanpa izin, bahkan milik istrinya sendiri!Aku berpikir keras mencari kemungkinan lain, tapi nihil. Di rumah ini hanya ada aku dan Mas Azam. Tidak ada orang luar yang punya akses ke kamar kami. Beberapa hari lalu mema

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 11 - Kotak Kosong

    Mas Azam baru saja masuk kamar ketika aku masih senyum-senyum sendiri di depan laptop. Refleks, aku menutup tab yang sedang kubuka dan cepat-cepat menggantinya dengan halaman berita lain.Untung dia tak melihat apa yang sebenarnya sedang kubaca, artikel tentang kasus orang tua Dina yang akhirnya viral di media. Entah kenapa, membaca tentang kesialan mereka memberiku sedikit rasa lega… seperti keadilan kecil dari semesta."Lihat apa sih, sampai senyum-senyum sendiri gitu?" tanya Mas Azam sambil melepas jam tangannya."Ah, nggak, cuma konten lucu aja, Mas," jawabku cepat, berusaha terdengar santai.Mas Azam cuma mengangguk tanpa rasa ingin tahu. Ia lalu membuka lemari dan mulai memilih baju. Aku kira dia cuma mau ganti pakaian, jadi aku kembali fokus ke layar laptop. Jari-jariku mengetik asal, tapi pikiranku tetap tak bisa lepas dari rencana perceraian ini. Semoga saja semua berjalan sesuai yang sudah kususun dengan Bang Will.*****Seminggu kemudian, tiba saatnya sidang pertama percera

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 10 - Keluarga Matre

    Sudah beberapa hari Bu Mayang tak muncul. Biasanya aku justru bersyukur kalau beliau tak datang, karena setiap kedatangannya selalu diiringi ribut-ribut yang menguras tenaga dan emosi. Tapi hari ini, suara khas langkah kakinya yang cepat dan berat kembali terdengar di depan rumah.Aku baru saja menyiapkan teh hangat ketika pintu terbuka tanpa diketuk. Dan benar saja, Ibu mertuaku muncul diambang pintu. Di belakangnya ada Laras, adik iparku, menunduk dengan wajah gelisah.“Assalamu’alaikum,” ucap mereka tanpa ekspresi.“Waalaikumsalam,” jawabku datar. Belum sempat aku mempersilakan duduk, Bu Mayang sudah lebih dulu membuka suara dengan nada tinggi.“Mana, Zam, uang lima juta yang Ibu minta kemarin? Ibu udah kirim pesan berapa kali, tapi kamu gak jawab-jawab!”Mas Azam yang sedang membaca koran sontak menegakkan badan. “Lho, Bu, Azam belum gajian. Lagian, buat apa sih uang sebanyak itu?”“Buat kuliahnya Laras, Zam! Ya kan, Ras?” tanya Bu Mayang, melirik anaknya dengan tatapan tajam.Lar

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 9 - Rencana Rahasia Alya

    Dari dalam kamar, samar-samar kudengar dering ponsel Bu Mayang. Suaranya nyaring dan berulang-ulang, tapi tak juga diangkat. Padahal biasanya, kalau yang menelepon anaknya, dia akan cepat-cepat menjawab sambil menyalakan mode drama.Aku tahu persis, kali ini yang menelepon pasti Mas Azam. Dia pasti sudah melihat sendiri seluruh kejadian tadi lewat tayangan CCTV yang langsung terkoneksi ke ponselnya. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana paniknya Bu Mayang saat tahu kebohongannya terbongkar. Pasti dia sekarang sedang bingung harus berkata apa kalau anaknya bertanya.“Biarin aja,” gumamku pelan sambil menatap layar laptop. “Biar dia panik sendiri.”Aku sudah terlalu lelah menghadapi ibu mertua yang selalu cari gara-gara itu. Sekarang fokusku hanya satu: bebas dari rumah ini, tanpa harus membuat Mas Azam curiga.Beberapa jam terakhir kuhabiskan untuk mencari informasi di internet. Aku mengetik kata kunci: cara mengajukan gugatan cerai online.Begitu hasilnya muncul, mataku langsung berb

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status