 เข้าสู่ระบบ
เข้าสู่ระบบSelesai mandi, aku mematut diri di depan cermin. Wajahku tampak sembab, mataku bengkak. Tapi biarlah, aku sudah tak peduli. Aku hanya ingin pergi dari rumah ini, dari segala sesak yang ditinggalkan Mas Azam.
Aku sudah memutuskan. Hari ini, aku akan ke rumah Ibu.
Selama ini aku jarang sekali menceritakan hal-hal sedih padanya. Aku selalu berusaha menampilkan wajah bahagia setiap kali pulang. Karena aku tahu, kalau Ibu sampai tahu aku menderita, beliau pasti akan jauh lebih terluka daripada aku sendiri.
Tapi kali ini… aku tak sanggup lagi berpura-pura.
Dengan langkah gontai, aku keluar rumah. Kuseka air mata yang belum kering dan mengenakan helm. Kubawa sepeda motor matic lamaku, yang dulu kubeli dari hasil kerja sebagai Staff Tata Usaha di SD dekat rumah Ibu, pekerjaan yang harus kutinggalkan karena menikah dengan Mas Azam.
Setelah menikah, Mas Azam tak pernah mengizinkanku bekerja di luar rumah.
Dan aku, yang saat itu masih buta dengan segala hal tentang pernikahan, menurut saja. Kupikir, begitulah bentuk cinta dan tanggung jawab seorang suami.
Nyatanya, aku hanya jadi perempuan yang kehilangan sebagian dari diriku sendiri.
Kulaju sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Angin pagi menyapu wajahku, tapi rasa sesak di dada ini tetap tak berkurang. Jalanan menuju rumah Ibu terasa panjang, padahal biasanya perjalanan ini cuma butuh tiga puluh menit.
Sesampainya di depan rumah Ibu, aku menarik napas panjang.
Rumah ini seperti oase bagi hatiku yang kering.
Mataku terhenti pada kursi taman di bawah pohon jambu air, kursi yang kubelikan untuk Ibu beberapa tahun lalu. Kursi itu masih berdiri di tempat yang sama, bersih dan terawat.
“Loh, Alya? Kamu kapan datang? Kok bukannya masuk malah melamun di situ?”
“Eh... i-iya, Bu. Baru aja sampe,” jawabku terbata.
“Ya sudah, masuk sana. Sarapan bareng adik-adikmu. Ibu mau buang sampah dulu.”
Begitu Ibu melangkah keluar pagar, aku masuk ke rumah. Aroma masakan langsung menyambutku, harum tumisan bawang, khas dapur Ibu.
“Waalaikumsalam!” dua suara menjawab bersamaan.
“Kak Alya? Tumben pagi-pagi ke sini,” sapa Alina sambil berdiri menghampiriku.
“Pasti ada yang penting, ya, Kak?” tebak Alfa sambil tersenyum nakal.
Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku terasa kaku. “Ya... begitulah,” jawabku pelan.
Alina menatapku tajam. “Kakak baik-baik aja, kan?” tanyanya dengan nada khawatir.
“Duduk dulu, Kak. Sarapan bareng kita, ya,” ajak Alina lembut.
“Fa, buatin minum buat Kak Alya,” titah Alina.
Setelah beberapa saat, aku menarik napas panjang.
Alina saling pandang dengan Alfa, lalu kembali menatapku serius.
Pertanyaannya seperti anak panah yang tepat mengenai sasaran.
“Terima kasih, Fa.”
“Udah, kalian lanjutin sarapan,” ujarku pelan. “Nanti Kakak cerita kalau Ibu udah pulang.”
Tanpa banyak tanya lagi, Alina dan Alfa menurut. Tapi aku tahu, pikiran mereka sudah penuh dengan tanda tanya.
Kami bertiga bersaudara. Aku anak pertama, Alina anak kedua, dan Alfa si bungsu.
Aku menikah di usia muda, baru 20 tahun waktu itu. Mas Azam 23.
Mungkin itulah kesalahanku: mencintai seseorang sampai lupa mencintai diri sendiri.
Beberapa saat kemudian, suara pagar terbuka. Ibu sudah kembali. Beliau langsung menuju dapur, lalu keluar membawa piring kosong dan duduk di kursi sebelahku.
“Jadi, hal apa yang membuatmu datang sepagi ini, Nak?” tanyanya lembut.
Aku menatap wajah Ibu, lalu tanpa bisa menahan diri, aku langsung memeluknya erat.
Aku menangis lama sekali, sampai sesak di dada ini sedikit berkurang.
Aku mengangguk pelan.
Alfa cepat menjawab, “Masih ada waktu, Bu. Tempat PKL-nya deket.”
“Kalau kamu, Lin? Kuliah jam berapa?”
Ibu mengangguk, lalu menatapku lagi.
Aku tersenyum pahit dan mengangguk pelan. “Gak apa-apa, Bu. Toh cepat atau lambat mereka pasti tahu juga.”
Ibu mengangguk perlahan. “Baiklah, Nak. Sekarang ceritakan semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Aku menarik napas panjang.

Siang itu matahari terasa lembut, tidak terlalu terik, tapi cukup hangat untuk membuat suasana jadi nyaman. Sebelum pulang ke rumah Ibu, aku dan Alina memutuskan mampir ke sebuah warung soto Betawi yang sangat akrab dalam ingatanku.Warung kecil di pinggir jalan itu tidak pernah berubah sejak dulu. Dindingnya masih dipenuhi foto-foto lama pelanggan, aroma rempah dan santan masih sama seperti ketika almarhum Ayah dulu sering mengajak kami makan di sini tiap habis gajian.Aku masih ingat betul, momen ketika Ayah duduk di kursi panjang dekat jendela, menyeruput soto sambil bercanda dengan Ibu. Hari itu selalu jadi hari yang ditunggu. Hari libur masak bagi Ibu, dan hari makan enak bagi kami sekeluarga.Kini, bertahun-tahun berlalu, hanya aku dan Alina yang datang. Tapi setiap kali menginjakkan kaki di sini, rasanya seperti k
“Tunggu, Mbak Alya!”Suara Laras memecah langkahku yang sudah hampir sampai di gerbang. Aku menoleh cepat. Wajahnya pucat pasi, napasnya terengah seperti habis berlari maraton.“Apa lagi?” tanyaku dingin.“T-tolong... jangan laporkan kami ke polisi, Mbak. Oke, ini... ini kami kembalikan semuanya,” katanya terbata, suaranya nyaris bergetar. Ia menoleh ke arah ibunya. “Ayo, Bu... lepas semua.”Bu Mayang terperangah. “Apa? Kamu ini ngomong apa sih, Laras? Gak usah nurutin perempuan mandul ini! Kita gak salah apa-apa!”Namun tatapan Laras penuh ketakutan. “Bu, Ibu mau kita masuk penjara?” desisnya lirih tapi cukup tajam untuk
Ingatanku langsung melesat ke peristiwa kemarin sore, saat Bu Mayang dan Laras datang ke rumah, meminta uang dengan wajah memelas. Kala itu Mas Azam masuk ke kamar dan sempat membuka lemari. Aku memang tak curiga, kukira dia hanya mengambil dompet atau pakaian ganti. Tapi sekarang, setelah tahu semua perhiasanku hilang, pikiranku tak bisa berhenti memutar kemungkinan itu.Apa mungkin… saat itulah Mas Azam mengambil semua perhiasanku dan menyerahkannya pada mereka?Hatiku bergetar hebat. Tak bisa dibiarkan! Itu jelas pencurian, mengambil barang milik orang lain tanpa izin, bahkan milik istrinya sendiri!Aku berpikir keras mencari kemungkinan lain, tapi nihil. Di rumah ini hanya ada aku dan Mas Azam. Tidak ada orang luar yang punya akses ke kamar kami. Beberapa hari lalu mema
Mas Azam baru saja masuk kamar ketika aku masih senyum-senyum sendiri di depan laptop. Refleks, aku menutup tab yang sedang kubuka dan cepat-cepat menggantinya dengan halaman berita lain.Untung dia tak melihat apa yang sebenarnya sedang kubaca, artikel tentang kasus orang tua Dina yang akhirnya viral di media. Entah kenapa, membaca tentang kesialan mereka memberiku sedikit rasa lega… seperti keadilan kecil dari semesta."Lihat apa sih, sampai senyum-senyum sendiri gitu?" tanya Mas Azam sambil melepas jam tangannya."Ah, nggak, cuma konten lucu aja, Mas," jawabku cepat, berusaha terdengar santai.Mas Azam cuma mengangguk tanpa rasa ingin tahu. Ia lalu membuka lemari dan mulai memilih baju. Aku kira dia cuma mau ganti pakaian, jadi aku kembali fokus ke layar laptop. Jari-jariku mengetik asal, tapi pikiranku tetap tak bisa lepas dari rencana perceraian ini. Semoga saja semua berjalan sesuai yang sudah kususun dengan Bang Will.*****Seminggu kemudian, tiba saatnya sidang pertama percera
Sudah beberapa hari Bu Mayang tak muncul. Biasanya aku justru bersyukur kalau beliau tak datang, karena setiap kedatangannya selalu diiringi ribut-ribut yang menguras tenaga dan emosi. Tapi hari ini, suara khas langkah kakinya yang cepat dan berat kembali terdengar di depan rumah.Aku baru saja menyiapkan teh hangat ketika pintu terbuka tanpa diketuk. Dan benar saja, Ibu mertuaku muncul diambang pintu. Di belakangnya ada Laras, adik iparku, menunduk dengan wajah gelisah.“Assalamu’alaikum,” ucap mereka tanpa ekspresi.“Waalaikumsalam,” jawabku datar. Belum sempat aku mempersilakan duduk, Bu Mayang sudah lebih dulu membuka suara dengan nada tinggi.“Mana, Zam, uang lima juta yang Ibu minta kemarin? Ibu udah kirim pesan berapa kali, tapi kamu gak jawab-jawab!”Mas Azam yang sedang membaca koran sontak menegakkan badan. “Lho, Bu, Azam belum gajian. Lagian, buat apa sih uang sebanyak itu?”“Buat kuliahnya Laras, Zam! Ya kan, Ras?” tanya Bu Mayang, melirik anaknya dengan tatapan tajam.Lar
Dari dalam kamar, samar-samar kudengar dering ponsel Bu Mayang. Suaranya nyaring dan berulang-ulang, tapi tak juga diangkat. Padahal biasanya, kalau yang menelepon anaknya, dia akan cepat-cepat menjawab sambil menyalakan mode drama.Aku tahu persis, kali ini yang menelepon pasti Mas Azam. Dia pasti sudah melihat sendiri seluruh kejadian tadi lewat tayangan CCTV yang langsung terkoneksi ke ponselnya. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana paniknya Bu Mayang saat tahu kebohongannya terbongkar. Pasti dia sekarang sedang bingung harus berkata apa kalau anaknya bertanya.“Biarin aja,” gumamku pelan sambil menatap layar laptop. “Biar dia panik sendiri.”Aku sudah terlalu lelah menghadapi ibu mertua yang selalu cari gara-gara itu. Sekarang fokusku hanya satu: bebas dari rumah ini, tanpa harus membuat Mas Azam curiga.Beberapa jam terakhir kuhabiskan untuk mencari informasi di internet. Aku mengetik kata kunci: cara mengajukan gugatan cerai online.Begitu hasilnya muncul, mataku langsung berb








