 เข้าสู่ระบบ
เข้าสู่ระบบAku mulai menceritakan semuanya, tanpa menahan apa pun lagi. Tentang perlakuan Bu Mayang, mertuaku, yang tak pernah bisa menerima keberadaanku sebagai menantu. Tentang Laras, adik iparku, yang tak pernah berhenti menyindirku setiap ada kesempatan. Tentang hinaan-hinaan yang selama ini kutelan bulat-bulat tanpa pernah kuadukan pada siapa pun.
“Katanya mau jadi ibu rumah tangga yang sempurna? Lah, rahim aja cacat!” Itu kalimat yang paling sering kudengar.
Tangisku pecah ketika sampai pada bagian paling menyakitkan, tentang keputusan Mas Azam yang akhirnya menyetujui permintaan ibunya untuk menikah lagi. Katanya, ia melakukannya demi mendapatkan keturunan. Demi membahagiakan sang ibu. Tapi bagaimana denganku? Istrinya? Apakah kebahagiaanku tak ada artinya sama sekali?
Suasana ruang tengah rumah Ibu mendadak hening. Hanya isak tangisku yang terdengar, bercampur dengan helaan napas berat Ibu dan suara Alina yang sesekali mengucap istigfar. Alfa, adik bungsuku, terlihat mengepalkan kedua tangannya erat, wajahnya tegang menahan emosi yang hampir meledak.
“Apapun yang Alya hadapi, bu... dulu Alya selalu yakin cinta Mas Azam cukup kuat untuk melindungi kami. Tapi sekarang... rasanya Alya gak sanggup lagi bertahan. Alya menyerah, Bu...” ucapku lirih sambil menunduk.
Ibu memelukku pelan. Tangannya yang hangat membelai kepalaku yang masih berbalut hijab, seperti dulu waktu aku masih kecil dan jatuh dari sepeda. Pelukannya selalu jadi tempat paling aman di dunia.
“Maafkan Ibu, Nak...” bisiknya lembut. “Ibu gak tahu kalau kamu selama ini menanggung luka sebesar ini. Ibu pikir kamu bahagia...”
Aku menggeleng cepat, menatap wajah Ibu yang mulai basah. “Bukan salah Ibu... Alya yang gak mau cerita. Alya takut Ibu sedih.”
Tiba-tiba Alfa bangkit berdiri, suaranya menggema di ruang sempit itu.
“Alfa!” tegur Ibu cepat, menahan lengannya.
“Enggak Bu! Dia udah nyakitin Kak Alya! Alfa gak terima! Ayah udah nitipin keluarga ini ke Alfa, Bu! Ayah berpesan agar Alfa bisa menggantikan Ayah menjaga Ibu dan Kakak-kakak, Alfa gak bisa diem liat Kak Alya kayak gini!” suaranya pecah. Air mata akhirnya jatuh di pipinya.
Ibu menghela napas panjang, menatap Alfa dengan tatapan teduh tapi tegas. “Nak... Ayahmu dulu gak pernah mengajarkan kekerasan. Kita bisa marah, tapi jangan sampai kehilangan akal sehat. Duduk dulu, Fa. Kita bicarakan semua baik-baik.”
Pelan-pelan Alfa kembali duduk, masih sesenggukan.
Aku menatapnya dengan senyum getir. “Terima kasih ya, Fa... kamu sayang banget sama Kakak.”
“Udah seharusnya, Kak,” jawabnya cepat, suaranya serak tapi tulus.
Setelah suasana agak tenang, Ibu menatapku dalam. “Jadi, kamu mau menyerah, Nak?”
Aku mengangguk pelan. “Iya Bu. Alya gak mau dipoligami. Alya gak mau berbagi cinta dengan wanita lain.”
Alina yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Kalau menurut Alin, Kak Alya memang harus mundur. Seumur hidup itu lama, Kak. Jangan habiskan waktu kakak buat menderita terus. Kakak juga berhak bahagia.”
Alfa ikut menimpali. “Betul! Lagian kita di sini sayang sama Kakak. Kalau perlu, Kak Alya tinggal di rumah ini lagi.”
Aku menatap mereka satu per satu dengan mata berkaca. “Makasih ya, kalian...”
Ibu menatapku lama sebelum akhirnya berkata lembut, “Yang menjalani rumah tangga itu kamu, Nak. Kalau kamu sudah gak sanggup, lepaskan. Dalam agama kita, poligami boleh, tapi tidak wajib dijalani kalau hati kamu terluka. Kalau kamu ingin kembali ke rumah ini, Ibu akan selalu menerima dengan tangan terbuka”
Rasanya seperti beban besar di dadaku tiba-tiba berkurang. Aku memeluk Ibu erat-erat, menangis lagi, tapi kali ini bukan karena sedih. Rasanya seperti akhirnya aku boleh bernapas setelah sekian lama menahan.
“Makasih ya, Bu...” bisikku.
Ibu tersenyum tipis. Tapi kemudian wajahnya berubah sedikit serius.
Aku refleks menatapnya bingung. “Loh, kenapa, Bu?”
“Karena sekarang kamu masih istri Azam. Selama belum dijatuhkan talak, kamu masih wajib berbakti padanya. Dan Ibu yakin, kamu belum izin datang ke sini, kan?”
Aku menunduk malu, lalu menggeleng pelan.
“Nah, sekarang hubungi dia. Bilang kamu ke rumah Ibu,” perintah Ibu lembut tapi tegas.
Dengan berat hati aku mengambil ponsel dari tas, mengetik pesan:
Alya:
"Mas, aku izin ke rumah Ibu"
Mas Azam:
"Iya, Sayang. Hati-hati ya. Mau Mas jemput nanti?"
Alya:
"Gak usah, aku bawa motor"
Mas Azam:
"Ya sudah, hati-hati ya Sayang"
Aku tidak membalas. Kalau dulu, membaca pesan seperti itu bisa bikin aku senyum-senyum sendiri. Tapi sekarang? Rasanya muak. Kata “sayang” di layar ponselku terasa begitu palsu.
“Sudah?” tanya Ibu.
“Sudah, Bu.”
“Bagus. Ingat, Nak. Tetaplah jadi istri yang baik, bagaimanapun keadaanmu.”
Aku mendesah pelan. “Buat apa jadi istri yang baik kalau suaminya nyakitin, Bu?”
Ibu tersenyum sabar. “Karena itu perintah Allah, bukan karena Azam. Kalau kamu berbuat baik, itu pahalamu. Kalau dia berbuat buruk, itu dosanya. Jangan balas keburukan dengan keburukan.”
Aku menunduk. Kata-kata Ibu menampar lembut hatiku.
“Bagus. Tapi ingat, sebelum kamu benar-benar ambil keputusan, shalat istikharah dulu. Libatkan Allah dalam setiap langkahmu. Jangan cuma pakai emosi.”
“Iya Bu, nanti Alya shalat istikharah,” jawabku lirih.
“Sekarang istirahat ya, tenangkan pikiranmu. Ibu mau masak dulu,” katanya sambil bangkit dan menuju dapur.
Tinggallah aku berdua dengan Alina. Ia masih menatapku dengan sorot iba yang sama.
“Kak... Kakak yang kuat ya,” katanya pelan.
Aku tersenyum, menepuk tangannya. “Kakak harus kuat. Karena Kakak punya kalian. Kalian support system-nya Kakak.”
Alina tersenyum kecil. “Kalau gitu Kakak istirahat di kamar aja. Aku bantu Ibu di dapur.”
“Gak usah, biar Kakak bantu masak juga,” sahutku spontan.
“Jangan Kak! Bahaya kalau Kakak masak pas lagi galau!” katanya cepat.
Aku mengerutkan dahi. “Bahaya kenapa emangnya?”
“Ya bisa-bisa nanti Kakak melamun, harusnya masukin garam malah masukin motor! Bisa heboh satu kampung nanti!” jawabnya santai.
Aku tak bisa menahan tawa. “Hahaha... dasar kamu, Lin! Ya udah kalau gitu kakak ke kamar ya, jangan lupa masaknya yang enak!"
Alina ikut tertawa, lalu pura-pura memberi hormat seperti tentara. “Siap, Bos! Saya masak yang enak, tenang aja!”
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Akhirnya, aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin memang begini rasanya: perlahan belajar melepaskan, tapi juga mulai belajar memulihkan diri, dengan cinta dari keluarga sendiri.

Siang itu matahari terasa lembut, tidak terlalu terik, tapi cukup hangat untuk membuat suasana jadi nyaman. Sebelum pulang ke rumah Ibu, aku dan Alina memutuskan mampir ke sebuah warung soto Betawi yang sangat akrab dalam ingatanku.Warung kecil di pinggir jalan itu tidak pernah berubah sejak dulu. Dindingnya masih dipenuhi foto-foto lama pelanggan, aroma rempah dan santan masih sama seperti ketika almarhum Ayah dulu sering mengajak kami makan di sini tiap habis gajian.Aku masih ingat betul, momen ketika Ayah duduk di kursi panjang dekat jendela, menyeruput soto sambil bercanda dengan Ibu. Hari itu selalu jadi hari yang ditunggu. Hari libur masak bagi Ibu, dan hari makan enak bagi kami sekeluarga.Kini, bertahun-tahun berlalu, hanya aku dan Alina yang datang. Tapi setiap kali menginjakkan kaki di sini, rasanya seperti k
“Tunggu, Mbak Alya!”Suara Laras memecah langkahku yang sudah hampir sampai di gerbang. Aku menoleh cepat. Wajahnya pucat pasi, napasnya terengah seperti habis berlari maraton.“Apa lagi?” tanyaku dingin.“T-tolong... jangan laporkan kami ke polisi, Mbak. Oke, ini... ini kami kembalikan semuanya,” katanya terbata, suaranya nyaris bergetar. Ia menoleh ke arah ibunya. “Ayo, Bu... lepas semua.”Bu Mayang terperangah. “Apa? Kamu ini ngomong apa sih, Laras? Gak usah nurutin perempuan mandul ini! Kita gak salah apa-apa!”Namun tatapan Laras penuh ketakutan. “Bu, Ibu mau kita masuk penjara?” desisnya lirih tapi cukup tajam untuk
Ingatanku langsung melesat ke peristiwa kemarin sore, saat Bu Mayang dan Laras datang ke rumah, meminta uang dengan wajah memelas. Kala itu Mas Azam masuk ke kamar dan sempat membuka lemari. Aku memang tak curiga, kukira dia hanya mengambil dompet atau pakaian ganti. Tapi sekarang, setelah tahu semua perhiasanku hilang, pikiranku tak bisa berhenti memutar kemungkinan itu.Apa mungkin… saat itulah Mas Azam mengambil semua perhiasanku dan menyerahkannya pada mereka?Hatiku bergetar hebat. Tak bisa dibiarkan! Itu jelas pencurian, mengambil barang milik orang lain tanpa izin, bahkan milik istrinya sendiri!Aku berpikir keras mencari kemungkinan lain, tapi nihil. Di rumah ini hanya ada aku dan Mas Azam. Tidak ada orang luar yang punya akses ke kamar kami. Beberapa hari lalu mema
Mas Azam baru saja masuk kamar ketika aku masih senyum-senyum sendiri di depan laptop. Refleks, aku menutup tab yang sedang kubuka dan cepat-cepat menggantinya dengan halaman berita lain.Untung dia tak melihat apa yang sebenarnya sedang kubaca, artikel tentang kasus orang tua Dina yang akhirnya viral di media. Entah kenapa, membaca tentang kesialan mereka memberiku sedikit rasa lega… seperti keadilan kecil dari semesta."Lihat apa sih, sampai senyum-senyum sendiri gitu?" tanya Mas Azam sambil melepas jam tangannya."Ah, nggak, cuma konten lucu aja, Mas," jawabku cepat, berusaha terdengar santai.Mas Azam cuma mengangguk tanpa rasa ingin tahu. Ia lalu membuka lemari dan mulai memilih baju. Aku kira dia cuma mau ganti pakaian, jadi aku kembali fokus ke layar laptop. Jari-jariku mengetik asal, tapi pikiranku tetap tak bisa lepas dari rencana perceraian ini. Semoga saja semua berjalan sesuai yang sudah kususun dengan Bang Will.*****Seminggu kemudian, tiba saatnya sidang pertama percera
Sudah beberapa hari Bu Mayang tak muncul. Biasanya aku justru bersyukur kalau beliau tak datang, karena setiap kedatangannya selalu diiringi ribut-ribut yang menguras tenaga dan emosi. Tapi hari ini, suara khas langkah kakinya yang cepat dan berat kembali terdengar di depan rumah.Aku baru saja menyiapkan teh hangat ketika pintu terbuka tanpa diketuk. Dan benar saja, Ibu mertuaku muncul diambang pintu. Di belakangnya ada Laras, adik iparku, menunduk dengan wajah gelisah.“Assalamu’alaikum,” ucap mereka tanpa ekspresi.“Waalaikumsalam,” jawabku datar. Belum sempat aku mempersilakan duduk, Bu Mayang sudah lebih dulu membuka suara dengan nada tinggi.“Mana, Zam, uang lima juta yang Ibu minta kemarin? Ibu udah kirim pesan berapa kali, tapi kamu gak jawab-jawab!”Mas Azam yang sedang membaca koran sontak menegakkan badan. “Lho, Bu, Azam belum gajian. Lagian, buat apa sih uang sebanyak itu?”“Buat kuliahnya Laras, Zam! Ya kan, Ras?” tanya Bu Mayang, melirik anaknya dengan tatapan tajam.Lar
Dari dalam kamar, samar-samar kudengar dering ponsel Bu Mayang. Suaranya nyaring dan berulang-ulang, tapi tak juga diangkat. Padahal biasanya, kalau yang menelepon anaknya, dia akan cepat-cepat menjawab sambil menyalakan mode drama.Aku tahu persis, kali ini yang menelepon pasti Mas Azam. Dia pasti sudah melihat sendiri seluruh kejadian tadi lewat tayangan CCTV yang langsung terkoneksi ke ponselnya. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana paniknya Bu Mayang saat tahu kebohongannya terbongkar. Pasti dia sekarang sedang bingung harus berkata apa kalau anaknya bertanya.“Biarin aja,” gumamku pelan sambil menatap layar laptop. “Biar dia panik sendiri.”Aku sudah terlalu lelah menghadapi ibu mertua yang selalu cari gara-gara itu. Sekarang fokusku hanya satu: bebas dari rumah ini, tanpa harus membuat Mas Azam curiga.Beberapa jam terakhir kuhabiskan untuk mencari informasi di internet. Aku mengetik kata kunci: cara mengajukan gugatan cerai online.Begitu hasilnya muncul, mataku langsung berb








