LOGIN“Mulai dari sini, Mas. Jelaskan apa maksud semua ini?” suaraku bergetar, tapi tegas. “Baru minggu lalu kamu mengeluh gajimu empat belas juta belum juga naik. Lalu ini apa?”
Tanganku bergetar memegang slip gaji yang baru saja kutemukan. Wajah Mas Azam seketika pucat pasi, seolah darahnya berhenti mengalir.
“Ka... kamu... dapat dari mana slip gajiku?” suaranya gugup, matanya tak berani menatapku.
“Kenapa? Kaget, ya?” Aku melipat tangan di dada. “Ingat, Mas. Mau serapi apa pun bangkai disembunyikan, lama-lama baunya tetap tercium juga.” Tatapanku tajam menusuk.
“Sekarang jelaskan, kenapa angka yang tertera di sini jauh beda dengan yang kamu bilang ke aku selama ini? Dan potongan tujuh ratus ribu itu untuk apa?”
“A–anu, Sayang, ini cuma slip palsu,” katanya terbata. “Iya... slip palsu!”
Aku menaikkan satu alis, nyaris ingin tertawa. Slip palsu? Benar-benar alasan yang menyedihkan.
“Slip palsu? Maksud kamu?”
“I–iya, jadi gini, Sayang. Mas kan ada rencana mau ambil perumahan. Jadi biar di ACC sama bank, Mas minta tolong HRD buat buatin slip palsu. Supaya kelihatan gaji Mas lebih besar.”
Hampir saja aku terbahak. “Ambil perumahan? Kok aku nggak tahu?”
“Ya kan mau kasih kejutan, Sayang. Buat kamu,” ujarnya, mencoba tersenyum manis.
“Oh... kejutan ya? Ya, aku memang kaget, Mas. Tapi bukan karena rumah.” Aku menatapnya dingin. “Aku kaget karena akhirnya tahu kamu sudah terbiasa berbohong.”
Wajahnya berubah masam. “Kamu nih gimana sih, Al? Aku jujur tapi kamu malah nggak percaya! Mau kamu apa? Aku tuh berusaha membahagiakan kamu! Rumah itu nantinya buat kamu! Buat ibu dan adik-adikmu biar nggak tinggal di gubuk reyot itu lagi!”
BRAK!
Tangannya menghantam meja keras sekali sampai gelas di atasnya bergetar. Aku sedikit tersentak, tapi lebih karena terkejut mendengar kalimat terakhirnya.
“STOP MENGHINA KELUARGAKU, MAS!” seruku. “Ternyata kamu sama aja dengan keluargamu, suka merendahkan orang lain cuma karena kami miskin!”
“Loh, memang kenyataannya begitu, kan?” balasnya sinis. “Harusnya kamu bersyukur punya suami yang mau bantu keluargamu.”
Aku terdiam sejenak. Hati ini seperti diremas.
“Oke,” kataku pelan, tapi penuh tekanan. “Jadi itu slip gaji palsu, ya?”
“Ya, memang palsu.”
Tanpa menjawab, aku mengambil ponsel dan membuka galeri. Kutunjukkan hasil tangkapan layar mutasi rekeningnya yang sempat kubuka tadi. “Kalau gitu, kenapa jumlah gaji yang ditransfer dari kantormu justru sama persis kayak di slip ‘palsu’ ini?”
Matanya langsung membulat. Wajahnya memucat seperti mayat hidup.
“Dan ini...” lanjutku, menggeser layar ke bukti transfer lainnya. “Transfer ke Ibu dan Laras. Sepuluh juta untuk Ibu, tiga juta untuk Laras. Setiap bulan. Apa ini juga palsu, Mas?”
Ia diam. Tak sepatah kata pun keluar.
Aku melangkah mendekat, menatapnya lurus. “Aku udah hitung semuanya. Kamu kasih aku empat juta sebulan, sementara keluargamu kamu kasih tiga kali lipat. Padahal yang ngurus rumah, belanja, dan semua kebutuhan di sini itu aku, Mas! Aku rela nggak beli skincare, nggak ganti baju, supaya uang yang kamu kasih bisa cukup buat sebulan. Dan kamu malah ngasih uang sebanyak itu ke mereka?”
Mas Azam menelan ludah. Ia jelas tak siap dengan serangan balikku. Tapi aku belum selesai.
Dengan tenang, aku menggeser layar ke chat terakhir yang sempat kubaca. Nama itu masih ada di sana, Dina. Calon istri keduanya.
“Kalau ini gimana?” ujarku datar. “Ternyata kamu sudah ‘main’ sama Dina di belakangku. Hebat, Mas.”
“Ka–kamu buka-buka HP-ku?” katanya panik.
“Kalau iya, kenapa? Kamu pikir aku bakal terus jadi istri yang polos dan gampang dibohongi?”
PLAK!
Suara itu nyaring memecah udara. Pipi kiriku panas terbakar. Aku terdiam. Dunia seperti berhenti berputar sesaat. Ini... tamparan pertama dari suamiku selama tujuh tahun pernikahan.
Tangan yang dulu begitu lembut menggenggamku kini jadi tangan yang menamparku tanpa ragu.
Air mata langsung mengalir tanpa bisa kutahan. “Ceraikan aku, Mas,” bisikku lirih.
Wajahnya langsung panik. “A–Alya... kamu ngomong apa sih?”
“Kamu dengar aku kan, Mas?” suaraku naik satu oktaf. “Ceraikan aku!”
“Sayang, tolong... aku khilaf, tadi aku emosi, aku gak sengaja..”
“CERAIIKAN AKU SEKARANG JUGA!”
Aku berteriak sekuatnya. Tangisku pecah lagi. Lalu aku berlari ke kamar, membuka lemari, dan menarik koper dari atas. Satu per satu baju kulipat cepat. Aku ingin pergi malam ini juga, bahkan kalau harus berjalan kaki.
“Alya, tolong dengar Mas dulu,” katanya lagi, mencoba mendekat.
Aku tak menggubris.
“Kamu gak bisa marah begini cuma karena masalah uang. Toh Mas tetap kasih nafkah, kan?”
Aku berhenti sejenak, menatapnya dingin. “Masalah uang? Ini bukan soal uang, Mas. Ini soal kejujuran!”
“Mas minta maaf, tapi uangnya juga buat Ibu dan Laras, bukan buat perempuan lain. Salahnya di mana?” katanya lagi, defensif. “Kalau gak ada mereka, aku juga gak akan jadi orang seperti sekarang!”
Aku tertawa miris. “Salahnya? Salahnya, kamu gak pernah tahu batas, Mas. Kamu pikir berbakti artinya menelantarkan istri sendiri?”
“Mas minta maaf, tapi Ibu lagi butuh uang. Cicilan bank harus dibayar, kalau enggak rumahnya disita.”
Aku berhenti memasukkan baju ke koper. Cicilan bank? “Maksud kamu?”
"Ya... Waktu itu Bapak sempat tertipu sama investasi bodong, dan sudah terlanjur menggadaikan sertifikat rumah sebagai modal investasi. Tapi ternyata uangnya dibawa kabur semua"
"Dan kamu yang harus menanggungnya?? Bapak kamu ngapain? Harusnya dia yang tanggungjawab lah!"
"Ya Bapak kan udah gak kerja"
"Tapi punya pensiunan!"
"Uang pensiunan berapa sih sayang? Cuma cukup buat makan sehari-hari"
"Bukannya buat makan sehari-hari sudah dari kamu selama ini? Uang Kuliah Laras, uang jajannya, semua dari kamu. Harusnya uang Bapakmu utuh! Ibuku saja yang gak pernah ku bantu, hanya mengandalkan pensiun Almarhum Bapakku yang jauh lebih kecil dari Bapakmu, masih bisa menghidupi dua adikku sendirian"
Wajah Mas Azam berubah keras. “Ya jangan bandingin keluargamu sama keluargaku, Al! Keluargamu udah biasa hidup susah, tapi keluargaku enggak!”
Deg.
Lagi-lagi hatiku terasa tertusuk belati mendengar kata-kata Mas Azam. Dengan sombongnya dia menghina keluargaku yang dia anggap miskin.
"Oh, baik tuan kaya raya! Kalau begitu biarkan aku pergi dari sini, kurasa kakiku ini juga tak pantas menginjak ISTANAMU ini" Jawabku sambil menggeret koper yang sudah penuh terisi, meninggalkan kamar menuju pintu depan.
POV: AuthorRaja menyomot sepotong brownies dari dalam kulkas. Tanpa piring, tanpa sendok—langsung masuk ke mulut dalam satu gigitan besar. Sambil mengunyah, ia melangkah santai menuju ruang keluarga, tempat kedua orang tuanya sedang duduk berdampingan menonton televisi.“Hmm… browniesnya masih enak,” gumamnya pelan, lalu menjatuhkan diri di sofa panjang.Sultan, ayahnya, sedang bersandar dengan kaki sedikit terangkat, sementara Magdalena—ibunya—terlihat fokus pada acara di layar. Raja melirik sesaat, lalu membuka percakapan.“Gimana, Pa? Cabang Makassar lancar?” tanyanya.Sultan mengangguk pelan. “So far so good, Ja. Progresnya sesuai target. Tapi ya namanya cabang baru, masih perlu perhatian ekstra.”Raja mengangguk sambil kembali mengunyah. “Hmm…”“Kamu nggak mau sekalian pegang Makassar?” lanjut Sultan. “Menetap di sana beberapa waktu. Biar lebih kepegang, lebih rapi pengawasannya.”Raja langsung menggeleng cepat. “Nggak dulu deh, Pa. Aku fokus di pusat aja. Sekarang kan semuanya
POV: AuthorSetelah Joyo dipastikan sudah dapat kontrakan, Azam langsung pamit pulang. Wajahnya terlihat begitu kusut, akibat digempur terus menerus oleh masalah yang tak ada hentinya seharian ini."Nanti dulu lah Zam, bantu Bapak dulu turunkan barang-barang ini. Masa kamu tega Bapak nurunin ini semua sendirian" Cegah Joyo."Itu ada Pak Sodri, minta bantuan dia aja. Tapi jangan lupa kasih upah, hargai keringatnya""Ya sudah kalau begitu, terserah kamu" Sahut Joyo kecewa."Oh ya, satu lagi Pak. Jangan pernah hubungi aku untuk minta tolong apapun terkait urusan Bapak dengan perempuan itu. Aku gak sudi membantu lagi! ini yang terakhir" Tegas Azam seraya menaiki sepeda motornya.Sebelum melajukan sepeda motornya Ia mengangguk pada Pak Sodri tanda berpamitan, namun melewati Tatik begitu saja tanpa menyapanya sama sekali. Bahkan Naura yang sejak tadi terus memandang ke arahnya dengan penuh tanya pun tak di pedulikannya.Azam memacu sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi, tujuan dia
POV: AzamKepalaku sudah hampir meledak rasanya menghadapi semua yang terjadi hari ini. Jatah apesku selama setahun seolah dihabiskan semua di hari ini.Berawal dari mobilku yang mogok, minta uang ke Dina untuk bawa ke bengkel tapi tak dikasih. Semua uang yang sudah ditangannya jangan harap bisa keluar lagi.Sejak menikah dengan Dina dan keuangan diatur olehnya, aku tak pernah lagi membawa mobilku untuk servis rutin ke bengkel. Padahal dulu aku selalu merawat mobilku ini dengan baik dan tak pernah absen untuk servis setiap bulannya.Akhirnya mau tak mau aku harus mencoba membetulkannya sendiri, meski aku tak punya basic apapun tentang permontiran.Mobil belum selesai, aku dibuat shock dengan sebuah berita yang menggemparkan. Oke, lebih tepatnya memalukan, amat sangat memalukan. Bapakku di grebek warga sedang ena-ena dengan seorang janda di kontrakannya.Terrekam jelas wajah Bapakku dan wanita itu disana, sungguh memalukan. Dan apesnya lagi, aku yang dipanggil kesana untuk menyelesaika
POV: AlyaPuluhan pesan dan missed call dari Mas Raja masih terus berdatangan. Entah kenapa aku masih enggan membaca pesannya ataupun mengangkat telepon darinya.Lucu sih sebenarnya, kenapa aku bersikap seperti ini ya? mengingat hubunganku dengan Mas Raja masih hanya sebatas teman biasa. Lalu kenapa aku sampai se begininya?Aku terus berpikir, apakah sikapku ini tepat? Apa bukannya justru jadi kelihatan jelas kalau aku cemburu? Padahal siapa aku?"Kalau dia beneran mikir aku cemburu gimana ya? meskipun memang iya, tapi kan bukan hak aku. Dia masih bebas melakukan apapun tanpa perlu persetujuan aku" Batinku terus bermonolog.Akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi 'silent treatment' ku daripada ujungnya malah bikin malu diri sendiri. Karena aku juga tak tau bagaimana perasaan mas Raja padaku, belum tentu juga dia suka padaku.Pucuk dicinta, ponselku berdering. Ku lihat ada nama Mas Raja di layar ponsel yang berpendar. Segera ku geser tombol hijau ke kanan untuk menerima panggilan itu.
"Mbak Laras kenapa? Mbak Laras sakit?" Tanya Ayu, yang melihat perubahan pada diri Laras setelah ia break makan siang tadi. Padahal sebelumnya Laras masih terlihat biasa-biasa saja.Memang setelah Laras selesai istirahat dan kembali bekerja, Ayu melihatnya begitu lesu. Wajahnya pucat dan matanya sembap. Ia juga terlihat lebih banyak melamun dan seperti tidak bersemangat."Gue gak apa-apa kok,Yu" Sahut Laras lirih. Sambil terus mengelap piring basah yang baru saja selesai di cuci."Beneran? Tapi Mbak Laras pucat banget loh.. Mbak Laras istirahat aja, atau mau pulang? aku ijinin sama Bang Erwin ya?" Ucap Ayu dengan ekspresi wajah cemas.Ayu memang wanita berhati lembut, ia mudah sekali Iba pada orang lain. Apalagi Laras merupakan rekan kerja dia satu-satunya, yang telah ia anggap seperti saudara sendiri."Gak usah Ayu... Udah lo tenang aja, gue aman. Eh, ada customer rombongan tuh" Sahut Laras sambil menunjuk ke luar dengan kepalanya.Ayu menoleh ke arah yang ditunjukkan Laras. Benar s
Tak lama kemudian, Raja membelokkan mobilnya ke halaman sebuah minimarket. Alya langsung turun buat membeli barang pesanan ibunya.“Sebentar ya, Mas,” ucap Alya sambil membuka pintu.“Eh, aku ikut ah. Pegel juga duduk lama di mobil,” sahut Raja sambil mematikan mesin dan ikut turun.Alya mengangguk. Mereka masuk bersama, lalu berpisah arah. Alya ke lorong perlengkapan wanita, Raja menuju deretan lemari pendingin.Nggak lama Alya sudah dapat barang yang dicari. Ia berniat menyusul Raja ke bagian minuman sekalian ambil pesanan ibunya. Dari jauh, Alya melihat Raja sedang berdiri depan lemari es, pilih-pilih minuman. Tapi sebelum Alya sempat menghampiri, seorang wanita cantik tiba-tiba datang mendekati Raja.Otomatis langkah Alya terhenti. Mau mendekat tapi merasa nggak enak. Jadilah ia memilih menunggu di lorong sebelah sambil menguping sedikit.“Raja?”Raja menoleh. “Renata?”“Kamu ngapain di sini?” tanya Renata.“Oh, ada urusan aja di sekitar sini,” jawab Raja santai, jelas nggak mau je







