MasukSetelah memastikan Mas Azam benar-benar masuk ke kamar mandi, aku kembali melangkah perlahan ke dalam kamar. Jantungku berdetak begitu cepat, seperti baru saja melakukan sesuatu yang terlarang. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin tahu kebenaran. Tentang uang, tentang rahasia, tentang semuanya.
Ponsel Mas Azam masih tergeletak di atas nakas, tepat di samping tempat tidurnya. Perlahan aku meraihnya, lalu menatap layar itu beberapa detik sebelum menyentuhnya. Entah kenapa, tanganku bergetar hebat. Ada rasa bersalah, tapi juga rasa ingin tahu yang begitu besar.
Syukurlah, ternyata tak dikunci layar. Tujuh tahun menikah, aku sama sekali tak pernah tertarik untuk memeriksa ponselnya. Bahkan kalau ada telepon masuk saat Mas Azam tak ditempatpun aku enggan mengangkat. Mungkin karena itulah Mas Azam tak mengunci layar ponselnya, ia mengira aku takkan pernah memeriksanya. Atau memang karena tak ada rahasia didalamnya? Kita lihat saja nanti.
Langkah pertamaku adalah membuka aplikasi M-Banking. Aku ingin tahu ke mana perginya uang sebelas juta yang “hilang” dari gajinya.
PIN-nya masih sama. Aku tahu karena aku ikut saat ia membuka rekening itu di bank. Aku pula yang menyarankan agar ia mendaftar M-Banking, supaya mudah transaksi. Ironis sekali. Sekarang justru aku yang menggunakannya untuk mencari kebenaran.
Beberapa detik kemudian, layar menampilkan riwayat transaksi. Aku menatap angka-angka yang tertera di sana dengan mata yang membulat. Gaji Mas Azam selama tiga bulan terakhir ternyata memang sebesar dua puluh lima juta rupiah, sesuai slip yang kutemukan tadi.
Aku menggulir layar ke bawah. Ada banyak transaksi keluar: transfer ke rekeningku sebesar empat juta rupiah—seperti biasa. Tapi kemudian mataku tertumbuk pada dua nama lain yang membuat napasku tercekat.
“MAYANG SUKAESIH”
“LARASATI”
Itu nama ibu mertua dan adik iparku.
Aku membaca lagi. Jumlahnya luar biasa besar: setiap bulan, Mas Azam mengirim sepuluh juta rupiah ke rekening ibunya, dan tiga juta ke rekening Laras. Selain itu, ada juga transaksi kecil-kecil berkisar seratus sampai tiga ratus ribu ke rekening yang sama hampir setiap minggu.
Tanganku mengepal. Sepuluh juta untuk Ibu, tiga juta untuk Laras. Padahal selama ini Mas Azam bilang ia hanya memberi lima juta untuk membantu biaya kuliah dan kebutuhan rumah ibunya. Lima juta! Lalu sisanya untuk apa?
Kusentuh tombol “screenshot” dan memotret semua bukti itu satu per satu. Aku butuh ini. Aku ingin menatap wajahnya nanti ketika kutunjukkan semua ini, agar ia tahu aku sudah tidak bisa dibohongi lagi.
Selesai dengan M-Banking, mataku tertuju pada ikon hijau dengan gambar gagang telepon. W******p. Aku menatapnya lama, ragu antara ingin tahu dan takut mengetahui.
Aku menarik napas panjang. “Kalau aku nggak buka sekarang, aku nggak akan pernah tahu,” bisikku pada diri sendiri.
Kujentik layar, dan daftar percakapan pun muncul. Namaku ada di urutan kelima, chat terakhir tadi siang, saat aku izin pergi ke rumah Ibu. Tapi yang membuat dadaku sesak adalah empat nama di atasnya: Ibu, Pak Hanif, Reza, dan di urutan paling atas… Dina.
Mataku langsung panas melihat nama calon istri kedua pilihan mertuaku itu. Jadi, mereka sudah saling berkirim pesan bahkan sebelum pernikahan itu terjadi? Apa artinya ini?
Ku tarik napas dalam-dalam dan mulai membuka chat itu. Di sana, layar menampilkan foto beberapa kotak bekal berisi nasi dan lauk pauk yang dikirim Dina pada Mas Azam.
Azam:
“Makanannya udah sampai. Kamu repot-repot segala, Din. Makasih ya.”
Dina:
“Syukurlah kalau udah sampai. Dimakan ya, Mas, buat makan siang.”
Azam:
“Iya, nanti aku makan.”
(Dua jam kemudian)
Dina:
“Udah makan siang, Mas?”
Azam:
“Ini baru mau makan.”
Dina:
“Dihabiskan ya, itu aku yang masak sendiri loh. Khusus buat kamu.”
Azam:
“Oh ya? Enak banget, Din. Kamu pintar masak rupanya. Makasih udah repot-repot buatin bekal segala.”
Dina:
“Iya, Mas, sama-sama. Aku akan terus buatin bekal buat kamu, apalagi kalau nanti udah jadi istri kamu. Selama ini istrimu itu gak pernah kan buatin bekal?”
Azam:
“Hehe, iya nggak pernah.”
Dina:
“Kalau gitu biar itu jadi tugasku ya.”
Azam:
“Iya.”
Setiap kata di layar seperti pisau yang menusuk dada.
Aku menatap ponsel itu sambil menggigit bibir, air mataku jatuh deras tanpa bisa kutahan. Rasanya tak ada lagi bagian dari hatiku yang utuh. Semua sudah hancur.
Jadi selama ini mereka sudah begitu dekat. Mas Azam, lelaki yang kubela mati-matian di depan keluargaku, yang kupercaya sepenuhnya, ternyata diam-diam bermain di belakangku.
Kudengar suara air dari kamar mandi berhenti. Cepat-cepat kututup semua aplikasi dan meletakkan ponsel itu kembali di atas nakas. Aku bergegas ke kamar tamu, menutup pintu rapat-rapat, lalu membiarkan tubuhku jatuh ke atas kasur.
Dan di sanalah aku meledak.
Tangisku pecah begitu saja. Semua amarah, kecewa, dan luka bercampur jadi satu. Kulempar bantal ke segala arah, berteriak sekuat-kuatnya sampai suaraku serak. Salah satu bantal bahkan menghantam teko kaca di meja hingga jatuh dan pecah berkeping-keping.
Tok tok tok.
“Sayang… Alya? Kamu kenapa?” suara Mas Azam terdengar panik di luar.
Aku tak menjawab. Aku hanya terus menangis dan berteriak.
“Sayang, tolong buka pintunya…”
“PERGI, MAS! AKU NGGAK MAU LIHAT MUKA KAMU LAGI! AKU BENCI SAMA KAMU!”
“A-ada apa sih? Kamu kenapa tiba-tiba ngamuk begini? Aku salah apa?”
“SALAH APA? PUNYA OTAK NGGAK? MIKIR!”
“Oke, oke, Mas minta maaf ya. Sekarang buka dulu, kita bicarakan baik-baik…”
Aku berdiri, menghapus air mata dengan kasar, lalu melangkah ke arah pintu. Kalau ia ingin bicara, baiklah. Sekarang saatnya.
Kutarik gagang pintu dengan cepat. “Ceklek.”
Mas Azam berdiri di sana, wajahnya terlihat panik, rambutnya masih basah, dan handuk kecil melingkar di lehernya.
“Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya dengan suara lembut, mencoba menyentuh pipiku. Tapi segera kutepis tangannya.
“Jangan sentuh aku!” bentakku tajam.
“I-iya, tapi kamu kenapa begini? Aku nggak ngerti.”
Aku menatapnya lurus-lurus. “Sudahlah Mas, berhenti berpura-pura jadi suami baik. Di depanku kamu manis, tapi di belakangku kamu menusuk!”
“Menusuk kamu? Aku nggak ngerti maksudmu, Alya.”
“NGGAK NGERTI? Oke, aku jelasin biar kamu NGERTI!”
Aku berjalan ke ruang tamu, duduk di sofa, dan mengeluarkan slip gaji yang tadi kusimpan. Kubuka lebar-lebar dan menaruhnya di meja.
Mas Azam terpaku. Matanya melebar melihat slip itu.
“Mulai dari sini, Mas,” ucapku dengan suara bergetar. “Jelaskan semua ini. Baru minggu lalu kamu bilang gaji empat belas juta nggak naik-naik. Lalu ini apa, hah?”
Mas Azam terdiam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Aku menatapnya dengan mata yang basah tapi penuh api.
Dan di situlah semua akan dimulai, di malam ketika rahasia demi rahasia akhirnya terkuak.
POV: AuthorRaja menyomot sepotong brownies dari dalam kulkas. Tanpa piring, tanpa sendok—langsung masuk ke mulut dalam satu gigitan besar. Sambil mengunyah, ia melangkah santai menuju ruang keluarga, tempat kedua orang tuanya sedang duduk berdampingan menonton televisi.“Hmm… browniesnya masih enak,” gumamnya pelan, lalu menjatuhkan diri di sofa panjang.Sultan, ayahnya, sedang bersandar dengan kaki sedikit terangkat, sementara Magdalena—ibunya—terlihat fokus pada acara di layar. Raja melirik sesaat, lalu membuka percakapan.“Gimana, Pa? Cabang Makassar lancar?” tanyanya.Sultan mengangguk pelan. “So far so good, Ja. Progresnya sesuai target. Tapi ya namanya cabang baru, masih perlu perhatian ekstra.”Raja mengangguk sambil kembali mengunyah. “Hmm…”“Kamu nggak mau sekalian pegang Makassar?” lanjut Sultan. “Menetap di sana beberapa waktu. Biar lebih kepegang, lebih rapi pengawasannya.”Raja langsung menggeleng cepat. “Nggak dulu deh, Pa. Aku fokus di pusat aja. Sekarang kan semuanya
POV: AuthorSetelah Joyo dipastikan sudah dapat kontrakan, Azam langsung pamit pulang. Wajahnya terlihat begitu kusut, akibat digempur terus menerus oleh masalah yang tak ada hentinya seharian ini."Nanti dulu lah Zam, bantu Bapak dulu turunkan barang-barang ini. Masa kamu tega Bapak nurunin ini semua sendirian" Cegah Joyo."Itu ada Pak Sodri, minta bantuan dia aja. Tapi jangan lupa kasih upah, hargai keringatnya""Ya sudah kalau begitu, terserah kamu" Sahut Joyo kecewa."Oh ya, satu lagi Pak. Jangan pernah hubungi aku untuk minta tolong apapun terkait urusan Bapak dengan perempuan itu. Aku gak sudi membantu lagi! ini yang terakhir" Tegas Azam seraya menaiki sepeda motornya.Sebelum melajukan sepeda motornya Ia mengangguk pada Pak Sodri tanda berpamitan, namun melewati Tatik begitu saja tanpa menyapanya sama sekali. Bahkan Naura yang sejak tadi terus memandang ke arahnya dengan penuh tanya pun tak di pedulikannya.Azam memacu sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi, tujuan dia
POV: AzamKepalaku sudah hampir meledak rasanya menghadapi semua yang terjadi hari ini. Jatah apesku selama setahun seolah dihabiskan semua di hari ini.Berawal dari mobilku yang mogok, minta uang ke Dina untuk bawa ke bengkel tapi tak dikasih. Semua uang yang sudah ditangannya jangan harap bisa keluar lagi.Sejak menikah dengan Dina dan keuangan diatur olehnya, aku tak pernah lagi membawa mobilku untuk servis rutin ke bengkel. Padahal dulu aku selalu merawat mobilku ini dengan baik dan tak pernah absen untuk servis setiap bulannya.Akhirnya mau tak mau aku harus mencoba membetulkannya sendiri, meski aku tak punya basic apapun tentang permontiran.Mobil belum selesai, aku dibuat shock dengan sebuah berita yang menggemparkan. Oke, lebih tepatnya memalukan, amat sangat memalukan. Bapakku di grebek warga sedang ena-ena dengan seorang janda di kontrakannya.Terrekam jelas wajah Bapakku dan wanita itu disana, sungguh memalukan. Dan apesnya lagi, aku yang dipanggil kesana untuk menyelesaika
POV: AlyaPuluhan pesan dan missed call dari Mas Raja masih terus berdatangan. Entah kenapa aku masih enggan membaca pesannya ataupun mengangkat telepon darinya.Lucu sih sebenarnya, kenapa aku bersikap seperti ini ya? mengingat hubunganku dengan Mas Raja masih hanya sebatas teman biasa. Lalu kenapa aku sampai se begininya?Aku terus berpikir, apakah sikapku ini tepat? Apa bukannya justru jadi kelihatan jelas kalau aku cemburu? Padahal siapa aku?"Kalau dia beneran mikir aku cemburu gimana ya? meskipun memang iya, tapi kan bukan hak aku. Dia masih bebas melakukan apapun tanpa perlu persetujuan aku" Batinku terus bermonolog.Akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi 'silent treatment' ku daripada ujungnya malah bikin malu diri sendiri. Karena aku juga tak tau bagaimana perasaan mas Raja padaku, belum tentu juga dia suka padaku.Pucuk dicinta, ponselku berdering. Ku lihat ada nama Mas Raja di layar ponsel yang berpendar. Segera ku geser tombol hijau ke kanan untuk menerima panggilan itu.
"Mbak Laras kenapa? Mbak Laras sakit?" Tanya Ayu, yang melihat perubahan pada diri Laras setelah ia break makan siang tadi. Padahal sebelumnya Laras masih terlihat biasa-biasa saja.Memang setelah Laras selesai istirahat dan kembali bekerja, Ayu melihatnya begitu lesu. Wajahnya pucat dan matanya sembap. Ia juga terlihat lebih banyak melamun dan seperti tidak bersemangat."Gue gak apa-apa kok,Yu" Sahut Laras lirih. Sambil terus mengelap piring basah yang baru saja selesai di cuci."Beneran? Tapi Mbak Laras pucat banget loh.. Mbak Laras istirahat aja, atau mau pulang? aku ijinin sama Bang Erwin ya?" Ucap Ayu dengan ekspresi wajah cemas.Ayu memang wanita berhati lembut, ia mudah sekali Iba pada orang lain. Apalagi Laras merupakan rekan kerja dia satu-satunya, yang telah ia anggap seperti saudara sendiri."Gak usah Ayu... Udah lo tenang aja, gue aman. Eh, ada customer rombongan tuh" Sahut Laras sambil menunjuk ke luar dengan kepalanya.Ayu menoleh ke arah yang ditunjukkan Laras. Benar s
Tak lama kemudian, Raja membelokkan mobilnya ke halaman sebuah minimarket. Alya langsung turun buat membeli barang pesanan ibunya.“Sebentar ya, Mas,” ucap Alya sambil membuka pintu.“Eh, aku ikut ah. Pegel juga duduk lama di mobil,” sahut Raja sambil mematikan mesin dan ikut turun.Alya mengangguk. Mereka masuk bersama, lalu berpisah arah. Alya ke lorong perlengkapan wanita, Raja menuju deretan lemari pendingin.Nggak lama Alya sudah dapat barang yang dicari. Ia berniat menyusul Raja ke bagian minuman sekalian ambil pesanan ibunya. Dari jauh, Alya melihat Raja sedang berdiri depan lemari es, pilih-pilih minuman. Tapi sebelum Alya sempat menghampiri, seorang wanita cantik tiba-tiba datang mendekati Raja.Otomatis langkah Alya terhenti. Mau mendekat tapi merasa nggak enak. Jadilah ia memilih menunggu di lorong sebelah sambil menguping sedikit.“Raja?”Raja menoleh. “Renata?”“Kamu ngapain di sini?” tanya Renata.“Oh, ada urusan aja di sekitar sini,” jawab Raja santai, jelas nggak mau je







