Bab 4. Pengungkapan yang Menggetarkan
"Apa yang kau icarakan, bodoh. Wanita macam apa yang berani mengklaim hal konyol seperti itu?" Suara tawa Farah menggema di pelataran kantor, memancing lebih banyak bisik-bisik dari kerumunan yang sudah berkumpul.
Aisyah menelan rasa sakit di kakinya, berusaha keras untuk tetap berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki. Mata-mata penuh ejekan dari orang-orang di sekitarnya membuat dadanya terasa sesak.
"Berhenti menertawakanku!" Aisyah berteriak, suaranya pecah oleh emosi.
Namun, bukannya berhenti, Farah justru melangkah mendekat dengan tatapan penuh cemooh. "Kau ini apa? Mau mencoba membuktikan sesuatu? Hei, lihatlah dirimu! Bahkan berjalan saja kau kesulitan."
Aisyah menatap Farah dengan mata berkaca-kaca, namun tak ada air mata yang ia biarkan jatuh. "Kau pikir kau sudah menang, Farah?" katanya dengan suara gemetar.
Arman menyeringai. "Kau sudah kalah, Aisyah. Jangan membuat dirimu semakin menyedihkan."
Aisyah ingin melawan, tetapi rasa sakit di kakinya dan penghinaan yang terus datang membuat tubuhnya limbung.
Suara deru mobil terdengar dari luar, lalu berhenti di dekat Aisyah. Beberapa orang menoleh, melihat seorang pria paruh baya turun. Wajahnya penuh tanya dan sedikit kekhawatiran.
"Ada apa, ini?" suara pria itu bergema, memecah kebekuan suasana.
Suara pria paruh baya yang penuh wibawa itu membuat semua orang di pelataran kantor terdiam. Mata mereka secara bersamaan tertuju pada lelaki berjas hitam mahal yang kini berdiri di hadapan mereka, tatapannya tajam dan menusuk.
"Ada keributan apa ini?" tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.
Paman Farah, yang sebelumnya terlihat sangat percaya diri, buru-buru maju dengan wajah penuh senyum palsu. "Ah, maaf atas kekacauan ini, Pak. Saya akan segera mengusir wanita gila itu!" katanya, menunjuk Aisyah dengan gerakan tangan yang penuh hinaan.
Mata pria itu menyipit, tatapannya bergerak dari paman Farah ke arah Aisyah yang tampak lemah dan masih dipapah oleh lelaki yang berdiri di sisinya. "Mengusir wanita gila?" Ia membeo pernyataan paman Farah dengan nada rendah tapi menusuk. "Siapa yang kau maksud wanita gila itu?"
"Dia, Pak! Wanita itu tidak tahu malu! Datang ke sini hanya untuk mengemis cinta mantan suaminya," tambah Farah dengan nada penuh cemooh.
Aisyah menegakkan tubuhnya dengan susah payah, menatap Farah dengan tatapan tajam meski rasa sakit di kakinya membuatnya sulit untuk berdiri lama.
"Mengemis cinta?" suara lelaki paruh baya itu terdengar sinis, tatapannya semakin tajam.
"Iya, Pak! Dia memang terlihat alim, tapi jangan salah, dia bukan wanita baik-baik," kali ini giliran mantan suami Aisyah yang berbicara. Senyum sinis terukir di wajahnya, seolah kemenangan sudah di tangannya.
Bisik-bisik mulai terdengar di antara para karyawan.
"Usir saja dia! Usir!"
Aisyah menghela napas panjang, berusaha tetap tenang meski kata-kata mereka menusuk hati. Ia menatap tajam ke arah mantan suaminya dan berbicara dengan suara tegas. "Aku bukan wanita hina seperti yang kalian tuduhkan. Dan aku tidak pernah menjual diriku."
Suasana langsung hening. Kata-kata Aisyah yang penuh ketegasan berhasil membuat semua orang terdiam. Namun, mantan suaminya hanya menyeringai, seolah tidak terpengaruh sama sekali.
Lelaki berjas hitam itu melangkah mendekat, tatapannya penuh perhatian ke arah Aisyah. "Kenapa dengan kakimu?" tanyanya.
Aisyah menunduk sesaat, menahan rasa malu. "Tidak apa-apa, Pak. Hanya sedikit luka kecil."
Pria itu mengernyit, kemudian memberikan instruksi kepada lelaki yang bersama Aisyah. "Bawa dia ke ruang perawatan sekarang."
Kerumunan yang tadinya penuh dengan bisikan dan cemoohan mendadak berubah jadi keheningan yang mencekam. Semua mata memandang tak percaya.
"Jangan sampai Anda terpengaruh dengan penampilannya, Pak. Dia wanita ular!" Farah berkata dengan penuh amarah, suaranya menggema.
Pria itu berhenti melangkah. Tatapan dinginnya kini tertuju pada Farah. "Apa yang kau bicarakan?" Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya terdengar seperti petir di siang bolong.
"Dia wanita ular!" Farah mengulangi dengan suara yang penuh kebencian. "Penampilannya memang menipu, tapi wanita seperti dia hanya tahu cara merayu pria demi keuntungan dirinya sendiri!"
Hendra, paman Farah, segera menimpali dengan nada mendukung. "Benar, Pak! Saya sudah lama mendengar cerita buruk tentang dia.
Arman, mantan suami Aisyah, melangkah maju dengan senyum dingin yang menghiasi wajahnya. "Pak, saya rasa Anda tidak tahu siapa dia sebenarnya. Aisyah ini hanya pura-pura tidak bersalah. Dia bahkan menjual dirinya sendiri demi uang setelah kami bercerai!"
Bisik-bisik kembali memenuhi udara, kali ini dengan nada yang semakin menuduh dan penuh ejekan.
"Lihat dia! Berani sekali datang ke sini."
"Pasti benar, dia wanita hina."
"Apa yang ia cari di sini? Memalukan!"
Lelaki berjas hitam itu masih berdiri tegap, mendengarkan setiap kalimat dengan ekspresi datar. Namun, matanya yang tajam menyiratkan ketidaksenangan yang mendalam. Ia mengangkat tangannya perlahan, meminta semua orang untuk diam.
"Pak, Anda harus percaya pada kami!" Farah berkata dengan nada tinggi, suaranya penuh percaya diri. Ia melangkah maju, seolah merasa mendapat dukungan dari semua bisikan di sekitarnya. "Wanita ini tidak layak berada di sini, apalagi diberi kesempatan. Penampilannya memang terlihat memelas, tapi itu semua hanya topeng. Dia ini manipulatif, penuh drama, dan hanya ingin menarik simpati orang-orang seperti Anda!"
Farah melemparkan pandangan penuh kemenangan ke arah Aisyah yang berdiri di sudut, memegangi lengannya yang terluka. Namun, Aisyah tetap diam, wajahnya tetap tenang meskipun jelas terlihat kelelahan.
Arman menambahkan dengan senyum sinis, "Semua orang tahu, Pak. Aisyah adalah wanita bermuka dua. Bahkan setelah kami bercerai, saya masih sering mendengar cerita-cerita buruk tentang dirinya. Anda pasti bisa menilai sendiri, kan, dari caranya memanfaatkan situasi ini? Luka kecil seperti itu pun dia dramatisir."
"Sudah jelas dia hanya cari perhatian!" Farah menyela, tatapannya penuh kebencian. "Kalau saya jadi Anda, Pak, saya langsung usir saja dia dari sini!"
Namun, lelaki berjas hitam itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. Tatapannya tetap datar, hanya sedikit menyipitkan mata ketika mendengar setiap kalimat fitnah yang keluar dari mulut Farah, Hendra, dan Arman.
Setelah beberapa saat hening, pria itu akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa. "Sudah selesai kalian berbicara?"
Suasana mendadak senyap. Farah, yang tadinya terlihat percaya diri, mulai terlihat gelisah. Namun, ia masih mencoba mempertahankan sikapnya. "Kami hanya menyampaikan fakta, Pak. Kalau Anda ingin bukti, kami bisa mencari saksi."
Pria itu mendekati Farah perlahan, langkahnya tenang namun setiap langkahnya terasa berat di udara. "Fakta?" tanyanya dengan nada rendah namun menusuk. "Bukti apa yang kau punya? Atau kau hanya melontarkan kata-kata kosong untuk menjatuhkan orang lain?"
Farah terdiam, mulutnya terbuka seolah ingin menjawab, namun tak satu kata pun keluar.
Hendra, yang mencoba menyelamatkan keadaan, berkata, "Pak, Anda harus mengerti. Kami hanya berusaha melindungi reputasi perusahaan ini. Jika orang-orang tahu wanita seperti dia berada di sini, apa kata mereka nanti?"
"Cukup. Aku tidak ingin mendengar satu kata pun lagi dari kalian."
Ia kemudian berbalik, menatap lelaki yang berdiri di samping Aisyah, masih memeganginya dengan penuh perhatian. "Bawa dia ke ruang kesehatan sekarang. Pastikan lukanya dirawat dengan baik."
Lelaki itu segera mengangguk dan mulai memapah Aisyah keluar dari kerumunan.
Bab 70. Farah dalam DilemaSinar matahari siang menyelinap melalui jendela ruang makan di rumah Farah dan Arman, tapi suasana di dalam tetap dingin. Farah duduk di kursi makan, menatap piring yang belum disentuh. Air matanya masih mengering di pipi, bekas tangisan setelah Arman pergi meninggalkannya tadi pagi. Pesan dari Hamdan di ponselnya terus bergema di pikirannya: “Far, kapan kita ceritain soal kehamilan ini ke Arman? Aku nggak mau rahasia ini kelamaan.” Farah menggenggam ponselnya erat, hatinya terbelah antara rasa bersalah dan ketakutan.“Aku nggak bisa bilang sekarang, Hamdan. Arman udah curiga, tapi dia nggak akan percaya ini anaknya,” gumam Farah pada diri sendiri, suaranya parau. Ia tahu Arman pernah menceraikan Aisyah karena mengira Aisyah mandul setelah lima tahun pernikahan tanpa anak. Yang tidak Arman sadari, dokter pernah mengatakan bahwa dialah yang memiliki masalah kesuburan. Farah ingat betul saat ia hamil, Arman begitu bahagia, mengira itu keajaiban. Tapi sekarang,
Bab 69. Konfrontasi Aisyah dan RendraPagi itu, sinar matahari menyelinap melalui jendela ruang kerja Aisyah di Amarta Grup. Tumpukan dokumen masih menunggunya, tapi pikirannya tidak sepenuhnya pada pekerjaan. Catatan kecil di kotak bekal merah yang ia temukan malam sebelumnya terus menghantuinya. “Buat Rendra, makan yang banyak ya, sayang.” Kalimat itu terasa seperti duri yang menusuk hatinya. Aisyah bukan tipe yang mudah cemburu, tapi sikap Rendra yang berubah dan kebohongan kecilnya membuatnya gelisah.Rendra tiba di Amarta Grup sekitar pukul sembilan, membawa dua cangkir kopi. Ia berharap bisa memulai hari ini dengan suasana yang lebih ringan. “Aisyah, ini kopi buat kamu. Maaf kalau kemarin aku bikin kamu bingung,” ucapnya sambil meletakkan cangkir di meja Aisyah, senyumnya terlihat canggung.Aisyah menatap Rendra, matanya penuh pertanyaan. Ia mengambil cangkir kopi, tapi tidak langsung minum. “Ren, duduk dulu. Aku perlu bicara,” katanya, nadanya tegas namun tetap lembut.Rendra m
Bab 68. Ketegangan di Antara Aisyah dan RendraRestoran kecil di dekat Amarta Grup dipenuhi aroma masakan yang menggugah selera. Aisyah dan Rendra duduk berhadapan di sudut ruangan, namun suasana di antara mereka terasa kaku. Aisyah memesan makanan dengan senyum sopan kepada pelayan, sementara Rendra hanya mengangguk singkat ketika ditanya pilihan menunya. Pikirannya masih dipenuhi kecemasan tentang Bella dan foto yang kini menjadi ancaman nyata baginya.“Aisyah, kamu yakin nggak apa-apa tadi pagi aku bikin kamu telat?” tanya Rendra, mencoba memecah keheningan. Suaranya terdengar ragu, seolah ingin memastikan Aisyah benar-benar tidak curiga.Aisyah menatap Rendra sekilas, lalu tersenyum tipis. “Ren, aku bilang berkali-kali, aku nggak masalah. Tapi kamu … kenapa kayak orang ketakutan gitu? Apa ada yang kamu sembunyikan dari aku?” tanyanya, nada suaranya tetap ringan, tapi ada ketajaman di balik kata-katanya.Rendra tersentak dalam hati. Dia mulai curiga, batinnya. Ia buru-buru menggele
Bab 67. Rasa Bersalah Kepada Aisyah Rendra terburu-buru untuk tiba ke rumah Aisyah. Di perjalanan ia masih harap cemas, mengkhawatirkan perasaan Aisyah yang terlalu lama menunggunya."Maafkan aku Aisyah, aku sudah ingkar janji, tapi semua ini terjadi karena kecelakaan itu," batin Rendra. Ia menganggap satu malam bersama Bella adalah sebuah kecelakaan."Bahkan aku sampai saat ini tidak tahu, apakah aku benar-benar sudah melakukan itu semua pada Bella. Rasanya aku tidak pernah menyentuhnya, tapi ..."Mobil yang Rendra kendarai tiba di halaman rumah Aisyah. Dia melihat Aisyah tengah duduk di kursi, tepat di teras rumahnya."Rendra, apa kamu baik-baik saja? tumben kamu telat hari ini. Ini sudah jam 10, aku telat 3 jam ke kantor," kata Aisyah ketika Rendra baru saja turun dari mobil."Aisyah, maaf, aku mengaku salah. Kamu boleh pukul aku, tampar aku, atau marah sama aku sekarang juga. Aku menyesal Aisyah ..." Rendra menangis di hadapan Aisyah."Rendra, are you okey?"tanya Aisyah. " Tenan
Bab 66. Drama Perihal Di Nodai Rendra membuka mata, sedikit dipaksakan, rasanya sakit. Sepasang matanya menatap sipit ke arah langit-langit, nuansanya putih. Rendra mengerutkan kening melihat sekitar, tampaknya ia sedang berada di tempat asing, bukan di kamarnya sendiri."Aku ada di mana?" batin Rendra.Rasanya dingin, AC distel lebih dingin dan membuat Rendra memeluk tubuh mungil seorang wanita di dekatnya."Aw," kata Rendra. Keluhan sakit terasa di punggungnya. Mungkin bekas pukulan semalam."Astaga. Be-Bella?" lanjut Rendra saat menyadari yang ia peluk adalah seorang wanita. Matanya mendelik, ia melihat Bella tidur di sebelahnya."Apa yang sudah kami lakukan?" batin Rendra.Ia membuka selimut yang menutup tubuhnya sambil berkata, "aku telanjang?"Dilihatnya Bella juga dalam keadaan yang sama."Tidak mungkin, aku tidak mungkin melakukan itu ..." Rendra mengacak rambutnya. Memukul kepalanya sambil bertingkah seolah sedang frustasi.Tidak lama kemudian, Bella terbangun. Ia membuka m
Bab 65. Misi Penculikan Rendra"Apakah kalian sudah paham dengan tugas yang aku berikan?" tanya Bella. Tangannya bersilang, matanya memicing."Kami paham, bos. Kami akan lakukan perintah dari bos," sahut salah satu dari dua preman yang dikerahkan Bella."Bagus. Lakukan sekarang. Saya tunggu 1×24 jam sampai ada kabar bahwa kalian berhasil. Jangan lupa hubungi saya."Bella pergi meninggalkan dua preman itu. Ia memberikan uang di dalam amplop kuning, sontak dua preman tertawa bahagia."Kita mulai nanti malam. Sekarang aku ingin melihat dulu di mana target berada," ucap preman yang bertubuh gendut."Oke. bos Bella, jangan khawatir dan percayakan tugas ini sama kita, kita gak akan buat bos kecewa." balas preman yang satunya lagi.***Rendra dan Aisyah baru selesai makan malam bersama. "Ren, antar aku pulang ya, mataku sudah berat. Kata psikiater, aku harus istirahat tepat waktu walaupun sudah sembuh. Maksimal jam sepuluh. Ini sudah jam sembilan," ungkap Aisyah."Iya Aisyah, aku akan meng