Share

BAB 5. Manipulatif

Author: Qinoy
last update Last Updated: 2025-01-13 14:18:35

Bab 5. Manipulatif

Farah menggebrak meja kecil di ruangannya dengan keras. Suara hantaman itu memantul di dinding ruang kerja yang dihiasi lukisan abstrak berwarna gelap. Matanya memerah, napasnya tersengal, sementara dada naik-turun seperti sedang membakar emosi yang tak tertahan.

“Kenapa dia selalu mendapatkan perhatian? Bahkan setelah semua penghinaan tadi, dia masih diperlakukan seperti seorang ratu!” Suaranya nyaring, menggema, hingga membuat Hendra, pamannya, yang duduk santai di sofa kulit hitam di sudut ruangan, menoleh dengan alis terangkat.

Hendra hanya menyeringai kecil, seolah menikmati pemandangan kemarahan Farah. Ia mengangkat cangkir kopinya dengan gerakan tenang, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya kembali di meja kecil di hadapannya. “Tenang, Farah. Tidak ada yang abadi. Bahkan perhatian seorang Hermawan bisa kita belokkan.”

Farah menoleh tajam. Matanya menyipit, kilatan penuh rasa ingin tahu muncul di balik amarahnya. “Apa maksud Paman?” tanyanya, suaranya lebih rendah tetapi bergetar dengan emosi tertahan.

Hendra menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke sofa. Senyumnya melebar, menampilkan kepercayaan diri yang membuat darah Farah semakin mendidih. “Istrinya, Farah. Kau lupa siapa wanita itu? Ibu rumah tangga kaya yang selalu merasa terancam oleh bayang-bayang perempuan lain.”

Sesaat, ruangan itu hening. Hanya terdengar suara detik jam dinding dan bunyi samar mesin pendingin ruangan. Perlahan, senyum tipis mulai terbentuk di bibir Farah. Ia duduk kembali, menyilangkan kaki dengan gerakan anggun, tetapi matanya menunjukkan kilatan siasat yang mulai terbentuk.

“Kau mau bilang, kita manfaatkan istrinya untuk menyerang Aisyah?” tanyanya dengan nada penuh antusiasme yang dingin.

Hendra tertawa kecil, suaranya dalam, bergema pelan di ruangan itu. Ia meraih ponselnya dari meja, memutarnya di antara jari-jarinya seperti seorang pemain kartu yang sedang bersiap melancarkan trik andalannya. “Lebih dari itu. Kita buat Hermawan terlihat seperti pria tak setia. Kau tahu kan, gosip kecil bisa menjadi bom besar jika kita tahu bagaimana menyebarkannya.”

Farah mengangguk pelan, tangannya menyisir rambutnya yang tergerai dengan gerakan gemas. “Tapi bagaimana caranya? Kita bahkan tidak punya bukti.”

Hendra meletakkan ponselnya dengan tenang, menatap ke arah Farah seperti seorang guru yang sedang menjelaskan rencana besar. “Bukankah itu sebabnya aku di sini? Semua bukti bisa dibuat, Farah. Yang perlu kita lakukan hanyalah memastikan gosip ini sampai ke telinga orang yang tepat.”

Di ruang perawatan

Aisyah duduk di kursi besi dingin, menatap kakinya yang diperban dengan pandangan kosong. Suara alat medis di sekelilingnya—bunyi detak mesin tekanan darah dan langkah perawat yang lalu lalang—terasa samar di telinganya. Ia menghela napas panjang, mengingat semua penghinaan yang baru saja diterimanya. Sesuatu di dadanya terasa berat, seperti beban yang tak mampu ia singkirkan.

“Apakah kau baik-baik saja, Bu?” tanya perawat yang membantunya dengan lembut, senyumnya penuh perhatian.

Aisyah mengangguk pelan, tetapi bibirnya tetap terkatup rapat. “Hanya lelah,” jawabnya singkat, suaranya hampir tak terdengar.

Namun, suasana tenang itu berubah ketika suara langkah berat terdengar di lorong. Pintu ruang perawatan terbuka, dan Pak Hermawan masuk dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang. “Bagaimana kondisinya?” tanyanya langsung pada perawat, tanpa menoleh ke arah Aisyah.

Perawat tersenyum sopan. “Lukanya tidak parah, hanya perlu istirahat.”

Di balik pintu yang sedikit terbuka, seorang asisten kantor berdiri dengan tubuh menempel ke dinding, mendengarkan setiap kata. Tatapannya penuh perhatian, dan bibirnya melengkung kecil seolah sudah mendapatkan informasi berharga. Tanpa suara, ia menyelinap pergi, meninggalkan lorong dengan langkah cepat untuk menyampaikan kabar kepada Farah.

“Paman, aku punya ide!” seru Farah dengan mata berbinar setelah mendengar laporan itu. Ia berdiri dari kursinya dengan penuh semangat, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Bagaimana jika kita buat seolah-olah Aisyah sedang mencoba merayu Pak Hermawan?”

Hendra tertawa terbahak-bahak, tangannya menepuk paha dengan penuh kepuasan. “Sekarang kau mulai berpikir seperti aku! Bagus, Farah. Tapi ingat, jangan terlalu tergesa-gesa. Kita butuh momen yang tepat untuk melancarkan serangan ini.”

Farah mengangguk, senyum puas terpampang di wajahnya. “Aku akan pastikan dia tidak pernah muncul lagi di sini.”

Suasana di ruangan itu berubah. Bayangan rencana jahat mereka seolah memenuhi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang dingin dan mengancam. Hendra meletakkan ponselnya di tengah meja, jarinya mengetuk-ketuk layar seolah-olah sedang menunggu saat yang tepat.

“Sekarang saatnya kita membawa Mirna istri Pak Hermawan ke permainan ini,” ujar Hendra, suaranya rendah namun penuh keyakinan.

“Pastikan nada bicaramu lembut, penuh keprihatinan,” bisiknya kepada Farah.

Farah menarik napas panjang, mengatur emosi. “Tenang saja, Paman. Aku tahu cara membuat seorang wanita merasa terancam tanpa terlihat jahat.”

Ketika panggilan tersambung, "Halo, selamat siang dengan Ibu Mirna, Nyonya Herman." 

"Halo, iya saya sendiri." suara tegas namun halus penuh keibuan terdengar dari ujung telepon. “Ada yang bisa saya bantu?" Layaknya seorang Nyonya sejati nada bicaranya tegas, tapi membuat segan yang mendengar. 

Farah segera memasang nada khawatir yang dibuat-buat. “Halo, Bu Mirna. Ini Farah, asisten kantor Pak Hermawan. Saya mohon maaf mengganggu waktu Ibu, tapi ada sesuatu yang sepertinya perlu Ibu ketahui.”

“Halo, Bu Mirna. Ini Farah, asisten kantor Pak Hermawan. Saya mohon maaf mengganggu waktu Ibu, tapi ada sesuatu yang sepertinya perlu Ibu ketahui,” ujar Farah dengan nada lembut namun penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang sedang berbagi rahasia besar.

Di seberang telepon, terdengar jeda sejenak sebelum Mirna merespons. “Ada apa, Mbak Farah?"

Farah menarik napas, memberikan jeda dramatis sebelum berbicara lagi. “Begini, Bu. Sebenarnya saya cukup ragu untuk menyampaikan ini karena saya tidak ingin mencampuri urusan pribadi. Tapi… saya merasa ini penting untuk Ibu ketahui."

Mirna menghela napas pelan. “Langsung saja, Mbak. Saya tidak suka bertele-tele.”

Farah tersenyum kecil, memastikan nada suaranya tetap penuh perhatian. “Di kantor ada sedikit keributan, ada seorang wanita datang membuat kegaduhan dan sekarang wanita itu tengah menggoda Pak Hermawan."

Kedua alis Mirna terangkat. "Maksud Anda, dia mencoba mendekati suami saya?”

"Wanita itu bahkan mengaku-ngaku sebagai kepala Direktur yang baru." Farah menambahi. 

"Astaga, benarkah?" Suara terkejut Ibu Mirna semakin membuat Farah tersenyum menyeringai. 

Farah cepat-cepat melanjutkan, mempertegas dugaannya tanpa terlihat terlalu menuduh. “Namun, saya tidak mau berprasangka, Bu."

Di ujung telepon, Mirna terdiam. “Baik, Mbak Farah. Terima kasih atas informasinya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Yang Kau Campakkan Bukan Wanita Biasa   Bab 95. Ancaman dari Masa Lalu

    Bab 95. Ancaman dari Masa Lalu“Kamu pikir bisa lolos begitu saja, Aisyah? Aku tahu rahasia Amarta Grub yang bisa menghancurkanmu!” Suara serak di ujung telepon membuat Aisyah menegang. Ia berdiri di balkon apartemennya di Jakarta, memandang lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di malam hari. Hijab cokelat mudanya sedikit tertiup angin, namun matanya yang tegas tetap fokus.“Siapa ini?” tanya Aisyah, suaranya dingin namun terkendali. “Jangan main-main dengan ancaman kosong.”Penelepon tertawa sinis. “Aku Budi, mantan anak buah Hendra. Aku punya dokumen yang membuktikan Amarta Grub menyembunyikan pajak di Singapura. Bayar aku 5 miliar, atau dokumen ini sampai ke media.”Aisyah menarik napas dalam, mencoba menahan amarah. “Kamu pikir aku takut? Kirim bukti itu sekarang, atau aku yang akan melacakmu.”Telepon terputus. Aisyah menatap ponselnya, jantungan berdetak kencang. Rendra, yang baru saja masuk dari ruang tamu, melihat ekspresi istrinya dan segera mendekat. “Ada apa, Sayang? Wajahm

  • Istri Yang Kau Campakkan Bukan Wanita Biasa   Bab 94. Ekspansi Bisnis Aisyah

    Bab 94. Ekspansi Bisnis Aisyah“Selamat, Aisyah! Cabang Amarta Grub di Singapura resmi beroperasi mulai hari ini!” seru Rendra, mengangkat gelas berisi jus apel di tangan kanannya. Matanya yang tajam namun hangat menatap Aisyah dengan penuh kebanggaan. Mereka berada di ruang makan apartemen mewah di Jakarta, dikelilingi pemandangan kota yang berkilau di malam hari.Aisyah tersenyum lebar, hijab biru lautnya yang elegan sedikit bergoyang saat ia mengangguk. “Terima kasih, Rendra. Tanpa dukunganmu, aku nggak yakin bisa sampai di titik ini.” Suaranya lembut, tapi penuh keyakinan, mencerminkan wanita tangguh yang telah bangkit dari masa lalu yang kelam.Rendra tertawa kecil, meletakkan gelasnya di meja kaca. “Jangan bilang gitu. Ini semua karena kerja kerasmu. Aku cuma pendamping setia di belakang layar.”Di sudut ruangan, asisten Aisyah, Nita, masuk membawa tablet. “Mbak Aisyah, undangan sebagai pembicara di Global Women Leadership Summit di London sudah dikonfirmasi. Mereka ingin Anda b

  • Istri Yang Kau Campakkan Bukan Wanita Biasa   Bab 93. Reuni dan Penutupan

    Bab 93. Reuni dan PenutupanTepuk tangan riuh menggema di ballroom megah. Rendra, CEO muda PT Indomarka, perusahaan pemasok produk, melangkah maju, mengambil mikrofon. “PT Indomarka berkomitmen mendukung misi Amarta Grub. Kami bukan hanya bisnis, tapi juga mitra yang punya tujuan lebih besar.”Di sudut ruangan, kamera media internasional merekam setiap kata. Seorang wartawan dari Singapura mendekati Aisyah setelah ia turun dari panggung. “Ms. Aisyah, Amarta Grub, perusahaan distribusi makanan impor di bawah kepemimpinan ayah Anda, Pak Hermawan, kini disebut sebagai salah satu perusahaan paling inovatif di Asia. Apa rahasia kesuksesan Anda?”Aisyah tersenyum, tangannya memegang gelas air mineral. “Tidak ada rahasia. Hanya kerja keras, visi yang jelas, dan tim yang luar biasa. Rendra dan PT Indomarka adalah mitra hebat yang membantu mewujudkan mimpi Amarta Grub.”Rendra, yang berdiri di sampingnya, menambahkan, “Aisyah adalah otak di balik semua ini. PT Indomarka hanya membantu mengekse

  • Istri Yang Kau Campakkan Bukan Wanita Biasa   Bab 92. Aisyah kembali ke Dunia Bisnis

    Bab 92. Aisyah Kembali ke Dunia Bisnis“Dua tahun terakhir ini seperti mimpi buruk, tapi sekarang aku siap kembali, Ren. Amarta Grub akan bangkit lebih kuat!” Aisyah menatap Rendra dengan mata penuh semangat, tangannya memegang erat laporan keuangan di atas meja ruang rapat yang luas. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela kaca besar, menerangi ruangan bergaya modern dengan dominasi warna putih dan abu-abu.Rendra, yang duduk di seberang meja, tersenyum tipis. Wajahnya yang tampan dengan rahang tegas dan mata cokelatnya yang hangat memancarkan kepercayaan. “Aku nggak pernah ragu sama kamu, Aisyah. Kamu punya visi, dan aku di sini untuk bantu wujudkan itu. Ekspansi ke pasar internasional bukan cuma mimpi, kita bisa mulai dari Asia Tenggara.”Aisyah mengangguk, jari-jarinya menelusuri dokumen di depannya. “Singapura dan Malaysia jadi langkah awal. Kita punya produk unggulan, tapi aku ingin pastikan branding kita kuat di pasar global. Kita harus beda dari kompetitor.”“Setuju. A

  • Istri Yang Kau Campakkan Bukan Wanita Biasa   Bab 91. Kelahiran Anak Aisyah

    Bab 91. Kelahiran Anak Aisyah“Aisyah, lihat matanya! Persis seperti matamu, tegas dan penuh semangat,” ujar Rendra sambil memandang bayi kecil yang baru lahir, terbungkus selimut putih di tangan perawat. Suaranya penuh kelembutan, namun tak bisa menyembunyikan kegembiraan yang meluap.Aisyah, masih lelah namun tersenyum lebar, menatap bayi itu dari ranjang rumah sakit. Wajahnya yang manis dengan kulit kuning langsat tampak bersinar meski keringat masih membasahi dahi. Hijab biru mudanya sedikit bergeser, tapi ia tetap terlihat elegan. “Arsyad... nama yang kita pilih cocok untuknya, bukan?” katanya pelan, suaranya serak namun penuh kehangatan.Rendra mengangguk, mendekat dan mencium kening Aisyah dengan lembut. “Keren, seperti ibunya. Anak ini akan jadi kebanggaan kita.” Ia duduk di sisi ranjang, memegang tangan Aisyah erat-erat. Ruangan rumah sakit swasta di Jakarta terasa hangat meski udara pendingin berdengung pelan. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela, menerangi ruanga

  • Istri Yang Kau Campakkan Bukan Wanita Biasa   Bab 90. Tantangan Kehamilan Aisyah

    Bab 90. Tantangan Kehamilan Aisyah“Aisyah, kamu yakin baik-baik saja?” Rendra berdiri di samping ranjang rumah sakit, tangannya memegang erat tangan Aisyah. Ruang rawat inap VIP di rumah sakit swasta itu terasa nyaman dengan dinding krem, sofa kecil di sudut, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan taman hijau. Namun, aroma antiseptik dan suara monitor jantung yang berdetak pelan menciptakan suasana tegang. Aisyah, mengenakan hijab putih sederhana dan gaun rumah sakit, tersenyum lemah dari ranjangnya.“Rendra, jangan khawatir. Dokter bilang ini cuma komplikasi kecil,” kata Aisyah, suaranya lembut tapi berusaha meyakinkan. “Tekanan darahku agak tinggi, jadi aku harus istirahat total untuk sementara.”Rendra mengerutkan kening, wajah tampannya penuh kekhawatiran. “Komplikasi kecil? Aisyah, kamu pingsan di kantor kemarin! Aku tidak akan membiarkan kamu memaksakan diri lagi.”Aisyah menghela napas, menatap Rendra dengan mata tegas yang masih mempertahankan pesonanya meski ia lelah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status