Share

2. Semalam Saja

"Terimalah kembali diri yang penuh dosa ini, Dek. Enam tahun Mas menunggu. Ditiap malam, Mas selalu bertanya kabarmu pada angin, mereka diam membisu, seakan begitu membenci ketololan diri yang sudah melepasmu demi wanita lain. Hati ini masih milikmu, Dek. Tidak ada yang berubah."

Aku tercenung sesaat mendengar kalimat penyesalan yang keluar dari mulutnya. Andai dulu ia tidak termakan fitnah yang dibuat oleh ibunya sendiri, tentu aku dan Akbar tak pernah tahu bagaimana sakitnya ditinggalkan. Tak akan pernah merasa hina dengan tuduhan berzina, sedang jelas anak dalam kandunganku ini adalah darah dagingnya.

Andai Mas, andai saja kamu bisa terus berpegang pada janjimu, bahwa jangan pernah goyah, apapun hasutan yang dibuat oleh ibu dan calon istrimu, tentu kami tak akan pernah merasa kesepian disetiap malam, merasa takut setiap kali petir terdengar membelah langit. 

Tentu kami tidak harus pindah dari satu tempat ke tempat lain, demi menghindari amukan warga yang menganggapku wanita kotor. Andai kamu tahu sedemikian sakitnya aku melalui semuanya seorang diri, Mas. Tentu kamu tidak akan berani memintaku kembali.

"Alya ...."

Panggilan Mas Radit membuyarkan lamunanku. Kubuang wajah.

Penyesalan sudah terlambat, Mas! Nasi sudah menjadi bubur. Sampai kapanpun, aku tak akan membuka hatiku kembali padamu. Kisah kita sudah usai semenjak ucapan talak itu sah keluar dari mulutmu.

Kuhela napas berat, mata kini kembali memanas. 

"Ma, Akbar juga mau disuapin."

Perhatianku teralihkan oleh permintaan Akbar, segera kusendoki nasi kuning dan menyuapinya ke dalam mulut anak lelakiku. 

Detik kini terasa lebih kaku, kami hanya sesekali saling bertatapan. Bersyukur Akbar cukup riang untuk diajak diam. Mulutnya tak berhenti bertanya. Hingga ia sampai pada sebuah pertanyaan, pertanyaan yang amat sulit untuk kami jawab bersama.

"Ma, boleh nggak malam ini Ayah menginap di rumah kita? Akbar pengin tidur barengan sama Ayah dan Mama. Sekali ... aja."

Aku tersentak, jantungku kembali berdegup cepat. Permintaan Akbar kali ini tidak mungkin diiyakan.

"Ayah nggak bisa tidur di sini, Sayang. Kasihan Bunda Ika, Bunda Ika 'kan lagi hamil?" jawabku setenang mungkin.

"Bisa kok, Ayah bisa nginap di sini. Nanti Ayah bilang sama Bunda kalau Ayah pengen nemeni Mama sama Akbar semalam. Berhubung hari ini hari lahirnya Akbar, anggap ini sebagai kado terindah dari Ayah."

Mas Radit tampak memandangiku.

"Itupun jika Mama mengijinkan," tambahnya lagi.

Akbar segera menoleh. Bujukan demi bujukan pun kembali ia lancarkan padaku.

"Boleh 'kan Ma, sekali ... aja."

Aku menghela napas berat. Ini tidak boleh terjadi! Enam tahun aku menahan diri, hari ini semua bagai terbalik seratus delapan puluh derajat.

Tidak bisa dibiarkan!

"Mas, aku nggak mau ada perdebatan sama istrimu yang sedang hamil itu," ucapku sinis.

Mas Radit kembali tersenyum sambil mengelus kepala Akbar.

"Nggak bakalan kok, Mas udah dapat ijin."

"Ijin?"

"Iya, ijin untuk kembali sama kamu."

"Apa?"

Dia kembali tersenyum, senyum yang tak bisa kuartikan, perpaduan bahagia dan kepuasan. Sedang di sini aku mulai terusik. Mas Radit benar-benar membuatku tak waras hari ini. Harusnya memang tadi aku tidak mengiyakan keinginan Akbar untuk menemuinya. Huh!

Titit.

Ponsel Mas Radit tiba-tiba berdering. Lelaki itu tampak segera menjawab panggilan tersebut.

[Hallo, Assalamualaikum.]

[...]

[Baik, saya segera kesana.]

Mas Radit menutup telpon setelah menjawab salam. Aku mulai menebak-nebak siapa yang baru saja menelpon, pasti istri jelitanya yang berstatus dokter itu.Ya, siapa lagi? Wajah Mas Radit seketika berubah tak enak begitu menutup telpon. Pasti perempuan itu sudah tak lagi bisa duduk tenang. Menyebalkan!

Huh! Ada apa dengan diri ini? Apa jangan-jangan aku mulai menaruh cemburu? Apa hakku? Astaghfirullah!

"Siapa Yah yang nelpon?"

Pertanyaan Akbar mewakili kata hatiku.

"Teman Ayah, Nak. Ayah harus balik ke rumah sakit, ada operasi mata yang harus Ayah tangani."

"Yah, Ayah. Baru juga sesuap makannya," rengek Akbar manja.

Mas Radit tampak melempar pandang ke atasku. Dengan secepat kilat kubuang pandangan. Tak kubiarkan hati ini kembali terpana olehnya.

"Nanti malam Ayah 'kan kemari lagi."

Seketika mataku membelalak, menatapnya penuh tanya. Kapan aku mengijinkan dia tidur di rumah ini? Tapi pertanyaan itu, kembali urung untuk kulempar, Akbar menyambar kesempatanku berbicara.

"Benaran Yah? Alhamdulillah."

Ia memeluk ayahnya erat. Pemandangan yang begitu membuat mataku tak kuasa menahan tangis. Air mataku tumpah. Untuk pertama kali aku melihat Akbar dipeluk oleh lelaki bergelar ayah. 

Mas Radit melihatku menyeka air mata, buru-buru kupindahkan tangan. Dia tidak boleh tahu jika sejujurnya, diri ini amatlah rapuh. Rapuh karena terlalu mencintainya yang jelas-jelas tak setia.

"Jangan nangis Dek, Mas nggak bohong, yang nelpon bukan Ika. Tapi pegawai rumah sakit. Ika udah janji nggak akan menganggu waktu Mas bersama kamu dan Akbar."

Deg!

Apa maksud perkataannya? Tidak mungkin Ika membiarkan suaminya berada di rumahku tanpa ada rasa was-was sedikitpun. 

Sebenarnya ada apa? Sandiwara apa yang kembali mereka susun, apa tujuannya untuk kembali membuatku hancur?

Mas Radit tersenyum sambil menggerakkan tangannya hendak menyapu pipiku. Segera kupindahkan wajah.

"Boleh 'kan Dek malam ini Mas menginap di rumahmu? Mas janji, nggak bakalan ganggu kamu tidur. Mas hanya ingin tidur semalam saja sama satu-satunya anak lelaki yang Mas miliki. Tolong ijinkan Dek, sekali ... aja?" 

Ia mengemis sambil kini mengangkat Akbar dalam gendongan. Entah kenapa, hati yang selama ini beku, terasa sedikit mencair. Enam tahun kukubur perasaan untuknya, kenapa hari ini seolah kembali ada yang bermekaran?

"Baiklah, saya ijinkan Mas menginap. Tapi dengan catatan, Mas hanya boleh berada di dalam kamar Radit, tidak boleh ke ruang manapun, kapanpun. Sampai pagi tiba, Mas sudah harus langsung angkat kaki!"

"Siap laksanakan, Ratu."

Aku menatapnya tajam. Dulu, panggilan itu adalah panggilan manjanya untukku. Tapi sekarang, dia tidak berhak lagi memanggilku dengan sebutan itu!

Mas Radit mengerti kesalahannya. Ia mengusap tengkuk baru kemudian mengecup pucuk kepala Akbar. Lalu ia menurunkan bocah itu sambil kemudian mengusap kepalanya.

"Anak Ayah hebat, kamu jagain Mama dari kecil sampai sebesar ini. Masya Allah, Ayah jadi malu nggak bisa sehebat Akbar dalam hal jagain Mama."

Dia kembali melempar pandang pada mataku. 

"Ayah cuma punya ini untuk hadiah ulang tahun anak Ayah yang ganteng ini. Dipergunakan dengan baik ya."

Mas Radit mengambil sebuah kotak yang ia letakkan di atas meja. Lalu membuka kotak tersebut. Akbar histeris kegirangan mendapati hadiah sebuah jam yang lagi ngetrend di kalangan anak-anak kini ada di hadapannya.

"Ini untuk Akbar, Yah?"

"Iya, kamu suka?"

"Suka Yah."

"Sini Ayah pakaikan. Wah, pas benar. Warna birunya cocok sama baju yang lagi Akbar pakai."

Akbar tersenyum-senyum menunjukkan jam pemberian Mas Radit padaku.

"Makasih ya, Yah."

"Sama-sama Sayang. Terus jagain Mama ya."

"Iya, pasti, Yah."

Akbar berlari meninggalkan kami menuju dapur, pasti ia mau memperlihatkan jamnya pada Bibik. 

Selepas kepergian Akbar, terdengar Mas Radit kembali membuka suara.

"Mama sudah berpulang ke Rahmatullah, Dek."

Aku terhenyak. Mama? Ya Allah. Innalillahi wainnailaihi rajiun.

"Benarkah, Mas?"

"Iya, dua hari yang lalu menghembuskan napas terakhir di Singapura. Sebelum meninggal, Mama menitip surat ini untukmu, Dek."

Mas Radit mengarahkan sebuah surat terbungkus amplop padaku. Hatiku sakit mendapati ibu mertua telah tiada. Memang benar, dulu dia telah memfitnahku sedemian rupa, tapi jujur semua telah kumaafkan. Bahkan tiap saat aku selalu memohonkan hidayah untuknya.

"Pasti Mas sudah baca?"

"Belum, Mas juga mendapat surat yang berbeda."

Aku mendelik.

"Sudah Mas baca isinya?"

"Belum. Mas ingin kita membacanya bersama."

Seketika tensiku naik kembali.

"Tidak perlu Mas. Saya akan membacanya seorang diri. Begitu pula dengan Mas Radit, bacalah surat itu seorang diri."

Mas Radit tampak menghela napas.

"Yasudah kalau itu yang kamu mau. Mas tidak bisa memaksa. Sebelum pergi untuk selamanya, Mama terus nanyain kamu, dia ingin menyampaikan permintaan maafnya jika dahulu pernah membuatmu terluka."

Aku membuang napas, sejujurnya air mata sudah sekian banyak mengantri di pelupuk.

"Yasudah, Mas pamit, ya. Terima kasih, karena nanti malam kamu sudah mengijinkan Mas untuk pertama kalinya menemani Akbar tidur. Andai kamu tahu Dek ...."

Dia berhenti berucap. Matanya tampak berkaca-kaca.

"Tidak pernah selama enam tahun, Mas tidur tanpa memikirkan kalian. Mas minta maaf, Dek. Mas sangat mencintaimu dan anak kita. Tapi Mas tidak kuasa, Dek."

Kini air mata benar-benar luruh dari pelupuk matanya. Ia segera berbalik.

"Mas pamit dulu ya, Dek. Sampaikan pada Bik Ina, ucapan terima kasih terdalam dari Mas karena selama ini ia telah setia menjagamu."

"Ya Allah, adalah yang lebih menyakitkan dari ini semua? Andai amnesia bisa membuatku melupakannya, maka hilangkan lah ingatanku ini ya Rabb ...."

***

Bersambung

Ada yang mewek?🥺

Comments (15)
goodnovel comment avatar
Sudarti Darti
nyesek baca kisah alya yg terlunta2...
goodnovel comment avatar
Indah Syi
belum mewek sih cuman greget doang
goodnovel comment avatar
Neneng Enur Nurhayati
Ga mewek...kesal malah. Ih klo jd Aliya ngapain pengkhianat ditangisi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status