"Coba Mama lihat Sayang, mana jam oleh-oleh dari Ayah?"
Kucoba kembali membuka percakapan seusai makan siang. Sebab entah kenapa aku mulai mencemburui Mas Radit perihal jam yang kini melekat di jemari Akbar. Ia begitu menyukainya, bahkan lupa jika akupun memberinya hadiah lain.
Akbar bangkit dan menunjukkan jam di tangannya padaku.
"Wah, bagus. Kamu senang dapat hadiah ini dari Ayah?"
Akbar mengangguk girang. Setelah itu ia berusaha menarik lenganku menuju kamarnya.
"Ma, kamar Akbar kurang bagus deh. Kayaknya harus dibikin lebih menarik."
Dia melepas tanganku dan naik ke atas ranjang. Menarik sprei, menghentak-hentakkan bantal hingga sarungnya terlepas. Lalu menggulung semua kain tersebut dan memberi padaku.
"Akbar mau yang warna lebih lelaki, Ma. Warna biru dengan motif bola."
Aku mendelik, bukankah sprei ini baru kemarin dipakai.
"Kok ganti lagi, Sayang? 'Kan kasihan Bik Ina capek nyuci sebentar-bentar. Padahal sprei ini baru kemarin diganti?"
Akbar mengulum senyum.
"Ini semua udah bau Ma. Nanti malam 'kan Ayah nginap di kamar Akbar, jadi semua harus diganti biar Ayah suka dan nanti sering-sering temenin Akbar tidur."
Kuhela napas berat. Ya Allah, kenapa Engkau beri hamba cobaan seberat ini? Tubuhku terduduk lemas di atas ranjang.
"Akbar, sini sebentar, Mama mau bicara."
Ia ikuti perintahku untuk duduk di atas ranjang.
"Sayang, Ayah sama Mama sudah tidak terikat hubungan lagi. Jadi tidak bisa sesuka hati Akbar untuk meminta Ayah sering menginap di rumah ini."
Akbar tampak kebingungan. Kuabaikan tanda tanya yang sudah pasti memenuhi benaknya, jika sudah sampai waktu, pasti dia akan mengerti. Kini yang terpenting adalah bagaimana caraku membuat supaya Mas Radit tidak bisa masuk ke dalam rumah ini namun tetap bisa menemani Akbar tidur.
"Akbar ngapain repot-repot ganti semua ini, Nak. Mending bikin kemah di taman belakang, terus suruh Ayah buat api unggun. Bukannya Akbar kemarin ngomong ke Mama kalau pengen bisa berkemah sama Ayah?"
Wajah Akbar seketika berubah. Dia bangkit untuk kemudian melompat ala pahlawan kesukaannya.
"Wah, benar juga, Ma. Nanti malam Akbar mau buat kemah ya, Ma?" pintanya penuh suka cita.
"Tentu boleh Sayang, biar Mama minta Bibik untuk bangun kemahnya ya. Jadi nanti malam kalian tinggal buat api unggun aja. Gimana?"
"Setuju Ma. Setuju!"
Alhamdulillah, rasanya lega, bisa membuat Akbar bahagia tanpa merusak tatanan hatiku yang pasti akan kacau bila kembali bertemu Mas Radit. Kini Akbar tampak sibuk mengeluarkan tenda yang baru bulan lalu kami gunakan untuk berkemah. Dengan susah payah ia keluarkan dan menyeret benda itu keluar ruangan untuk kemudian pasti menuju kamar Bik Ina.
Kubiarkan dia bekerja sendiri, hitung-hitung sebagai latihan kemandirian. Sebab ia berbeda dari anak lain yang sedikit-sedikit pasti selalu dibantu ayahnya. Akbarku berbeda. Dia punya ayah, tapi ayahnya milik anak-anak lain.
Kutarik napas dalam, rasa perih kembali merajai hati. Kulayangkan pandang ke arah depan, dimana sebuah foto seorang lelaki tampan terpajang di sana.
'Mas Radit.'
Dadaku kembali berdesir jika mengingat semua ucapannya tadi pagi.
"Kenapa sulit sekali melupakanmu Mas, harusnya atas segala yang terjadi, aku membencimu. Tapi ternyata tidak. Aku tidak pernah bisa membencimu seutuhnya ...."
Perih, rasa itu kembali memenuhi ruang hati. Namun teralihkan saat tiba-tiba netra ini berhasil melirik amplop putih yang tadi diberikan Mas Radit padaku.
Surat dari Mama. Penasaran, aku segera kembali ke kamar untuk membacanya.
*
Assalamualaikum ...
Kuhentikan membaca, mencoba menetralisir degup jantung yang tiba-tiba seperti genderang perang. Ya Allah, baru membaca Assalamualaikum saja, aku sudah tak bisa tenang begini. Bismillah, mudahkan ya Allah, kuatkan hati ini, penuhi ia dengan kemaafan yang tinggi.
Kulanjutkan membaca.
Alya menantuku yang Mama sayangi.
Deg!
Kulipat kembali surat itu, aku menyerah!
Belum sanggup hati ini untuk membacanya. Dengan cepat kumasukkan surat itu kembali ke dalam amplop dan membuangnya keluar melalui jendela.
Semoga surat itu musnah tanpa harus aku baca. Aku takut, takut jika membacanya maka semua ingatan tentang masa lalu kembali membuat hatiku sakit. Sedang jiwa ini sudah sekuat tenaga berusaha memaafkan semua kesalahan mereka.
Ya Allah maafkanlah semua ketidakberdayaan diri ini.
*
Flast back
Sudah dua hari Mas Radit ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan tentang sosialisasi alat-alat kedokteran terbaru. Selama ia pergi, aku terus mendapat tekanan dari ibu mertua yang menginginkan agar aku mundur seperti permintaan calon maduku.
Aku tahu, selama enam tahun pernikahan, mama mertua tidak pernah ikhlas menerimaku sebagai menantunya. Apalah aku yang hanya seorang perawat, sedang yang dia inginkan sebagai menantu adalah wanita bergelar dokter agar sepadan dengan gelar spesialis yang kini disandang anaknya.
Beberapa kali aku terus menolak lamaran Mas Radit, tapi lelaki itu tidak pantang menyerah. Segala bujuk rayu ia lancarkan agar ibunya mau datang memintaku pada satu-satunya orang tua tunggal yang saat itu masih kumiliki.
Hingga akhirnya pernikahan sederhana kami dilangsungkan. Meski bisa digelar dengan mewah, nyatanya mama hanya mengundang kerabat dekat. Sedang untuk menjamu sahabat serta rekan seperjuangannya, Mas Radit membuat acara khusus lain di sebuah gedung. Tapi saat itu, mama tidak hadir. Hanya aku dan Mas Radit dengan penampilan biasa.
Enam tahun hidup seatap, mungkin akulah wanita yang terus sabar menanggapi pedasnya kelakuan ibu mertua. Kenapa aku bertahan, karena Mas Radit adalah sumber kekuatan.
Dia yang selalu menyemangati, menyenangkan hati ketika luka yang ditorehkan ibunya membekas dalam dada.
Ia yakinkan diri ini, bahwa jika sudah punya momongan nanti, pasti ibunya akan bersikap lebih bijaksana. Tapi ternyata, aku tidak jua diberi kesempatan untuk sekali saja merasakan benih itu menetap lama dalam kandungan.
Jika ditanya usaha, tidak satu cara kami usahakan untuk dapat segera memiliki momongan. Bahkan usaha inseminasi buatan sudah pernah kami jalani. Namun Allah belum berkehendak ada. Usaha kami mengalami kegagalan di bulan kedua proses itu berlangsung. Aku keguguran.
"Mama heranlah sama perempuan satu itu, memang udah dari sononya nggak bisa kasih Radit keturunan, tapi masih aja keras kepala. Jadinya sia-sia aja Radit menghabiskan uangnya untuk inseminasi sedemikian banyak," ucap mama pada calon maduku sehari sebelum petaka menimpaku.
"Udah lah Ma, jangan dibahas lagi. Sebentar lagi aku pastikan Mama bakalan nimbang cucu dari Mas Radit, setelah kami resmi menikah tentunya."
"Oh iya, Sayang. Mama yakin kamu bisa memberi Radit banyak keturunan. Secara saudaramu semuanya punya banyak keturunan 'kan? Lha dia, dari sononya lahir ke dunia memang sendiri. Pantes aja udah enam tahun kagak bisa ngelahirin satu bayi pun. Huh capek sebenarnya Mama ngurusin dia selama ini!"
Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucap istighfar. Kucoba mengalihkan sedih dengan menyibukkan diri membaca Al Quran, nyatanya justru air mata terus tumpah tanpa permisi.
Aku harus kuat, sudah kuputuskan untuk minta pisah rumah pada Mas Radit jika besok dia pulang. Aku ingin hidup tenang tentunya dengan tidak seatap dengan madu. Meski aku sudah ikhlas, tapi melihat kekompakan ibu mertua dan perempuan itu. Sepertinya aku tidak akan tahan jika harus serumah dengan mereka.
*
Malam itu aku sedikit gelisah. Entah kenapa sudah lewat tengah malam, mata ini belum jua mau terpejam. Kuputuskan untuk keluar kamar mengambil segelas minuman. Lalu dengan cepat aku kembali ke dalam kamar.
Setelah meneguk air hingga tak bersisa, kuputuskan untuk kembali ke peraduan. Tiba-tiba entah dari mana muncul sosok itu.
Mang Kasim?
Supir pribadi suamiku ada di dalam kamar. Aku segera bangkit dari ranjang dan berdiri di samping nakas. Sedang lelaki itu berdiri beberapa langkah di depanku. Sepertinya ia masuk saat aku keluar mengambil minum dan bersembunyi di balik gorden.
"Sedang apa Mamang di kamar saya?" teriakku cukup keras. Rasa takut memenuhi dada tatkala tahu jika lelaki itu baru saja habis menenggak minuman beralkohol. Dia mabuk.
Jalannya sempoyongan tapi tak pelak semakin mendekat. Aku mulai kalap, mata menelisik apapun yang bisa kugunakan untuk melindungi diri.
"Nyonya mau punya momongan 'kan? Suami Nyonya itu mandul, lemah syahwat! Saya kuat Nyonya, saya pastikan setelah sekali celup, Nyonya bakalan hamil!" ucapnya tak tahu malu.
"Cuih! Kamu sudah lancang Kasim! Saya akan laporkan kelakuanmu pada Mas Radit! Keluar dari kamar saya sekarang juga!" gertakku semakin kencang.
Dia tak gentar sedikitpun, justru langkahnya semakin mendekat. Tak lagi berdiri tegak, kubalikkan badan menaiki ranjang, berharap bisa berlalu dari sisi kanan dan berlari keluar kamar.
Tapi ternyata, ia berhasil menangkap pergelangan kakinya. Aku terjerembab ke atas ranjang.
"Kurang ajar kamu Kasim, lepaskan saya!"
Kuhentakkan kaki sambil tangan memegang pinggiran ranjang agar dia tak berhasil menarik tubuh ini.
"Sudahlah Nyonya jangan jual mahal, pasti Nyonya sudah sangat menginginkannya 'kan!"
Dia menghentak kakiku dengan sekali hentakan kuat. Seolah terlepas tulang gerak bawah dari rangka atas, pegangan tanganku pun ikut terlepas.
"Tolong! Tolong."
Aku menjerit sekencang mungkin. Berharap ibu mertua bisa mendengar dan segera menolongku dari iblis ini.
Tak ada yang datang!
"Tolong ... tolong!"
Kupukul-pukul wajahnya yang semakin mendekat, dia terlihat murka. Tangannya dia alihkan untuk memegang kuat lenganku yang berusaha terus meronta.
Sedang kakinya menindih kedua kakiku dengan kuat. Sesakit apapun yang kurasakan saat itu, tapi aku harus bisa bertahan agar dia tidak sampai merenggut kesucian diri.
"Tolong ...!"
Lelaki bangsat itu berhasil mencumbui wajah hingga leherku. Aku menangis sambil tak henti melawan. Entah jeritan keberapa kali kulakukan, akhirnya pertolongan datang.
"Ada apa ini?"
Mama mertua muncul di depan pintu yang lupa kukunci.
Lelaki yang menghimpit tubuhku lekas bangkit.
"Kasim! Apa yang sudah kamu lakukan di kamar ini?"
"Nyonya Alya meminta saya untuk menggaulinya Nyonya."
"Astaghfirullah! Itu fitnah Ma. Tolong jujur Mang, jangan memfitnah."
Aku tak menyangka Kasim akan berdusta. Allah akan melaknat perbuatannya. Kuusahakan untuk bangkit hendak kembali membela diri, tapi kakiku terasa begitu lemah.
"Ternyata kamu semurahan ini Alya! Begini kelakuanmu jika suamimu pergi?"
"Astaghfirullah Ma, Alya tidak pernah melakukan semua yang dituduhkan Kasim itu, semua ini fitnah," ucapku sambil tak kuasa menahan tangis.
"Kasim, katakan sejujurnya, apa benar Alya yang memintamu ke kamar ini?"
"Ayla nggak pernah minta, Ma--"
"Diam kamu!"
Air mataku jatuh berderai, teganya Mang Kasim memfitnahku. Sedang ibu mertua tak mau mendengar penjelasan. Bagaimana jika Mas Radit sampai tahu perihal kebohongan ini. Ya Allah ...
"Katakan Kasim, apa benar Alya yang memintamu ke kamar ini?"
"Jujur Mang!"
"Diam kamu!"
Ya Allah Mama ...
"Be-be-benar Nyonya!"
"Itu fitnah, Ma!"
"Diam kamu! Kamu sudah mempermainkan anak saya!"
Plakkk! Plakkk!
Pipiku remuk oleh tamparan sepuluh jemari ibu mertua. Aku tergugu, tak bisa berkata apapun kecuali hanya menangis.
"Dengar Alya, malam ini juga kamu bukan lagi menantu di rumah ini! Saya akan mengabarkan perihal ini pada Radit supaya dia cepat-cepat mengusir kamu dari kehidupan kami!"
Mama berlalu setelah membanting pintu dengan kuat.
*
Flash off
Kutarik napas panjang. Ingatan itu membuat dadaku bergemuruh hebat.
"Mas, andai kamu mendengarkanku saat itu. Mereka telah memfitnahku. Andai kamu hanya mempercayai kata-kataku sebagai istrimu. Tentu saat ini kita masih bersama, Mas."
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca
Utamakan baca Al Quran, ya.
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam