Pagi ini Mas Radit kembali mengunjungiku. Sudah enam tahun semenjak dia menjatuhkan talak dan aku memilih kembali menempati rumah ibu, lelaki itu kerap datang menjenguk.
Tak bisa kututupi, gelenyar aneh yang membarengi jiwa, tatkala mendapati ia menuruni mobil dan berbicara pada bibik di depan pintu. meski aku tidak pernah menemuinya, tapi jujur cintaku pada mantan suamiku itu masih sama seperti dulu. Dimana saat itu, hanya ada aku ratu di istananya.
Aku terus menelisik langkahnya yang semakin mendekati rumah. Saat kaki jenjang lelaki itu sudah melewati pagar, istri muda yang harusnya menanti di dalam mobil terlihat membuka pintu bagian belakang.
Wanita yang seharusnya menjadi adik maduku itu terlihat menuruni mobil, membusungkan dada seolah memberi kabar padaku bahwa perutnya sudah kembali terisi oleh benih yang ditanamkan Mas Radit. Hal yang tidak bisa aku berikan, di pernikahan kami yang bahkan sudah menginjak usia enam tahun, kala itu.
*
Sesuatu membuat anganku kembali terlempar ke waktu dahulu.
"Mama mau kamu bersedia dimadu Alya," ucap ibu mertua lantang. Jantungku riuh bergemuruh. Begitu pahit kenyataan menjadi wanita yang dianggap mandul karena tidak dapat memberi keturunan setelah enam tahun menikah.
Aku hanya menunduk, sedang Mas Radit mencoba menenangkan ibunya.
"Minggir Radit."
Ibu mendorong kasar tubuh suamiku, membuat dada ini berdegup semakin kencang.
"Bagaimana Alya? Enam tahun Mama menunggu, sekarang Mama minta kamu yang mengalah."
Aku tergugu, ingin menangis tapi tak ada air mata yang hendak keluar. Keberanian untuk melawan, tentu bukan tabiatku. Hanya anggukan yang menjadi pertanda bahwa aku mengiyakan kemauan Mama untuk diduakan.
Buatku, asal bisa bersama Mas Radit, apapun akan kukorbankan termasuk cinta. Walau pada kenyataan, mungkin nanti aku akan menangis darah karena cemburu.
Kupikir setelah menyetujui keinginan Mama, semua masalah akan selesai. Ternyata tidak, wanita pilihan ibu mertuaku itu, justru berkata lain. Dia hanya ingin menjadi istri tunggal dari seorang Raditya Alvaro. Seorang Dokter Spesialis Mata yang begitu sukses.
Ketampanan, kemapanan, serta kewibawaan Mas Radit, telah membuat jiwa gadis itu menolak untuk berbagi. Padahal, aku yang sudah membersamai suamiku bertahun-tahun saja bisa mengalah. Ah, jika mengingat hal itu, ingin rasanya aku lenyap dari bumi ini. Andai tak ada kekurangan pada diri ini, mungkin aku tak harus merelakan orang lain masuk ke dalam rumah tangga kami.
Dua bulan setelah Mas Radit mentalakku secara paksa, Allah mengaruniakan rahmatnya di rahim ini. Dokter menyatakan aku hamil. Benih yang sudah kutunggu-tunggu sejak enam tahun yang lalu. Tapi sayang, kami sudah resmi berpisah. Semua terasa tak lagi istimewa.
Kuberi nama ia Muhammad Dhiyaul Akbar, satu-satunya anak lelaki yang dimiliki Mas Radit dari seorang istri yang telah ia ceraikan. Wataknya keras, tapi begitu penyayang. Ia cerdik, pandai bergaul, rajin beribadah diusianya yang begitu belia.
Hanya dia, satu-satunya anak lelaki yang seharusnya dimiliki Mas Radit sampai detik ini.
Wanita itu, dia tidak pernah menyerah, terhitung selama 6 tahun usia pernikahannya dengan Mas Radit, aku melihat dia sudah empat kali mengandung.
Entah bagaimana keadaan anak-anak mereka, yang kutahu semuanya berjenis kelamin perempuan.
*
Kualihkan perhatian, terlalu banyak dosa yang akan mengalir jika mata kubiarkan terus menatap istri Mas Radit sekarang. Aku kembali memfokuskan pendengaran pada percakapan Bik Ina dengan Mas Radit.
"Alya ada Bik?"
"Mbak Alya lagi keluar, Mas Radit."
Bik Ina memang jago berakting, ini sesuai permintaanku. Aku belum siap menemuinya, meski hampir tiap bulan Mas Radit ke rumah. Dia hanya akan bertemu Akbar, tidak denganku.
"Kalau Akbar ada, Bik?"
"Den Akbar? Ada di kamarnya sedang belajar mewarnai, Mas. Apa saya panggilkan?"
"Iya, boleh Bik. Saya tunggu di teras ya."
Terdengar suara pintu kamar Akbar terbuka, seperti biasa sebelum ia menemui ayahnya, ia pasti akan ke kamarku. Hari ini pun sama.
"Ma, ada ayah di luar?"
"Iya, Nak. Pergilah temui ayah."
Akbar masih berdiri, seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Ada apa, Nak?"
Kudekati ia, membelai lembut rambutnya yang tebal.
"Hari ini 'kan Akbar ulang tahun, Akbar mau makan nasi kuning sama Ayah dan Mama."
Aku terhenyak.
Permintaan yang sulit, tapi seumur usianya, aku tidak pernah sekalipun tidak menuruti kemauan Akbar. Sebatas itu masuk akal dan bisa untuk dipenuhi. Kali ini?
"Ayolah Ma, sekali aja," rengeknya sambil menarik-narik tanganku.
Kuhela napas, sudah enam tahun aku tidak bertemu langsung dengan Mas Radit. Rasanya begitu aneh dan deg-degan.
"Baiklah, Nak."
Kuikuti langkah kecil Akbar hingga sampai di ruang tamu. Lalu aku meminta Akbar untuk memanggil Mas Radit, sedang diri ini menunggu dalam debaran yang tak biasa.
Kedua jemari tangan mendadak terasa dingin, degup jantung sudah selayak genderang perang. Sudah sekian lama hanya menatap dan mendengar suaranya dari kejauhan. Sekarang?
Ya Allah, mendadak napasku terasa berat.
Saat cahaya yang menembus dari celah pintu masuk tertutup oleh sebuah siluet tubuh, wajahku terangkat.
"Mas Radit?"
Aku bangkit lekas hendak berlari ke kamar. Rasanya seperti kembali mengulang saat-saat pertama bertemu dengannya.
"Alya ...."
"Mama, mau kemana?"
Langkahku terhenti mendengar panggilan dari mereka. Kubalikkan tubuh, Mas Radit berjalan mendekat. Wajahku tiba-tiba menunduk, kelopak mata justru terasa berat.
"Alya."
Namaku kembali dia panggil. Kutengadahkan wajah menjawab panggilannya. Dia hanya menatapku tanpa berkedip, begitu pula dnegan diri ini. Lama sekali tak melihatnya, tak ada yang berubah, bahkan kumisnya pun masih setipis dulu, jambangnya masih rapi, dia masih begitu tampan.
"Apa kabar?" tanyanya membuat degup di dada riuh bergemuruh.
"Baik Mas."
"Enam tahun, ternyata kamu masih sama seperti yang dulu. Cantik."
Aku menunduk dalam mendengar pujian keluar dari mulutnya. Tapi mendadak kedua netra ini terasa berat jika mengingat, di luar sana, ada seorang istri sedang menunggu ia kembali.
Istri yang bahkan begitu takut kehilangannya. Yang selalu mendampingi tatkala Mas Radit berkunjung untuk menjenguk Akbar.
"Ma, nasi kuningnya udah siap. Suapan pertama, Mama yang beri untuk Ayah, ya Ma."
Aku menatap Akbar penuh kesal. Entah bagaimana menggambarkan perasaanku kini. Aku ingin pergi, berlari ke kamar dan menumpahkan air mata sejadi-jadinya.
"Ayo, Dek."
Mas Radit ikut membujukku. Dengan berat kulakukan semua permintaan Akbar. Satu suapan pertamaku masuk ke mulutnya, ia menggigit sendok. Masih usil seperti dahulu.
Tatapan kami kembali bertemu.
Ia membuka mulut perlahan.
"Terimalah kembali diri yang penuh dosa ini, Dek. Enam tahun Mas menunggu. Ditiap malam, Mas selalu bertanya kabarmu pada angin, mereka diam membisu, seakan begitu membenci ketololan diri yang sudah melepasmu demi wanita lain. Hati ini masih milikmu, Dek. Tidak ada yang berubah."
***
Bersambung
"Terimalah kembali diri yang penuh dosa ini, Dek. Enam tahun Mas menunggu. Ditiap malam, Mas selalu bertanya kabarmu pada angin, mereka diam membisu, seakan begitu membenci ketololan diri yang sudah melepasmu demi wanita lain. Hati ini masih milikmu, Dek. Tidak ada yang berubah."Aku tercenung sesaat mendengar kalimat penyesalan yang keluar dari mulutnya. Andai dulu ia tidak termakan fitnah yang dibuat oleh ibunya sendiri, tentu aku dan Akbar tak pernah tahu bagaimana sakitnya ditinggalkan. Tak akan pernah merasa hina dengan tuduhan berzina, sedang jelas anak dalam kandunganku ini adalah darah dagingnya.Andai Mas, andai saja kamu bisa terus berpegang pada janjimu, bahwa jangan pernah goyah, apapun hasutan yang dibuat oleh ibu dan calon istrimu, tentu kami tak akan pernah merasa kesepian disetiap malam, merasa takut setiap kali petir terdengar membelah langit. Tentu kami tidak harus pindah dari satu tempat ke tempat lain, demi menghindari amukan warga yang menganggapku wanita kotor.
"Coba Mama lihat Sayang, mana jam oleh-oleh dari Ayah?"Kucoba kembali membuka percakapan seusai makan siang. Sebab entah kenapa aku mulai mencemburui Mas Radit perihal jam yang kini melekat di jemari Akbar. Ia begitu menyukainya, bahkan lupa jika akupun memberinya hadiah lain.Akbar bangkit dan menunjukkan jam di tangannya padaku."Wah, bagus. Kamu senang dapat hadiah ini dari Ayah?"Akbar mengangguk girang. Setelah itu ia berusaha menarik lenganku menuju kamarnya."Ma, kamar Akbar kurang bagus deh. Kayaknya harus dibikin lebih menarik."Dia melepas tanganku dan naik ke atas ranjang. Menarik sprei, menghentak-hentakkan bantal hingga sarungnya terlepas. Lalu menggulung semua kain tersebut dan memberi padaku."Akbar mau yang warna lebih lelaki, Ma. Warna biru dengan motif bola."Aku mendelik, bukankah sprei ini baru kemarin dipakai."Kok ganti lagi, Sayang? 'Kan kasihan Bik Ina capek nyuci sebentar-bentar. Padahal sprei ini baru kemarin diganti?"Akbar mengulum senyum."Ini semua udah
Sudah jam lima sore, Akbar masih menanti kedatangan Mas Radit di depan teras. Sudah hampir satu jam dia tidak beranjak. Rasanya kasihan juga jika sampai Mas Radit membatalkan kedatangannya malam ini."Nunggunya di dalam aja Nak, sambil nonton televisi," tawarku melihat dia mulai jenuh."Nggak Ma, Akbar mau nunggu di sini. Di dalam Akbar kayak ngerasa kepanasan gitu, Ma."Tersenyum aku mendengar alasan yang keluar dari mulutnya. Meski tanpa dampingan Mas Radit, namun dia sepenuhnya menuruni kecerdikan sang ayah. Ah, andai Mas Radit ikut mengasuhnya bersamaku, pasti ia tumbuh menjadi sosok yang lebih luar biasa dari sekarang.Astaghfirullah, aku mengelus dada akan andai-andai yang tidak berdalil ini. Lalu memilih duduk di sofa ruang tamu. Entah kenapa hati inipun diam-diam menanti kedatangannya.*Tepat pukul enam, saat azan magrib hampir mengumandang. Terdengar deru mobil berhenti di depan pagar. Aku mengangkat tubuh dari kegiatan mengisi laporan ruangan, sambil menyibak sedikit gorden
"Jangan pergi, Dek. Jangan siksa Mas lagi," ucapnya dengan mulai membuka mata. Jadi daritadi, dia berpura-pura tidur?Kubuang napas sambil memendam kekesalan. Harus kuakui hati ini seolah tercerabut paksa mendengar permintaan yang kembali keluar dari mulut Mas Radit. Aku jadi tak mengerti, atau jangan-jangan dia amnesia hingga lupa bahwa yang memilih berpisah adalah dia, bukan diriku!Jika banyak wanita akan mengamuk untuk meluapkan kekesalan hatinya, tapi tidak denganku. Dari dulu tabiat ini memang tidak berubah. Kukumpulkan kekuatan untuk hanya mengeluarkan suara."Mas sudah terlalu banyak berbicara semenjak kemarin. Saya minta Mas jangan sampai salah paham perihal keijinan untuk menginap di rumah ini. Semua saya lakukan demi Akbar."Ucapanku pelan namun tegas. Dia tergerak, seperti hendak berbicara."Tolong beri Mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya, Dek.""Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Talak yang Mas ucapkan enam tahun yang lalu sudah menjelaskan semuanya. Saya ha
POV Bik InaPagi ini saya ditugaskan Mbak Alya mengawasi mantan suaminya. Sebenarnya saya tidak menyukai pekerjaan ini, tapi demi beliau yang teramat saya sayangi, saya bersedia melakukannya.Sudah lima tahun saya bekerja di rumah majikan saya ini, tepat setelah beliau melahirkan anak pertamanya bernama Akbar. Saat itu beliau tinggal di rumah eyangnya di Kota Malang. Yang saya tahu, beliau baru ditalak oleh suami dan diusir oleh ibu mertuanya.Seharusnya pula, beliau tinggal bersama ibu kandung yang berposisi di Kudus. Tapi kenyataan, di daerah itu pula sudah tersiar kabar bahwa beliau mengandung anak hasil hubungan terlarang.Saya tahu benar bagaimana kehidupan beliau. Kepahitan serta kepiluan yang beliau rasa. Selama masih mengandung, beliau setiap saat dalam keadaan murung, selalu menanti mantan suaminya datang untuk merujuk. Tapi ternyata, lelaki itu baru datang setelah Mbak Alya melahirkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka, tapi satu yang saya tahu, bahwa mereka
"Alya."Langkahku terhenti, tatkala suara panggilan seseorang terdengar di belakang. Sejenak aku menoleh untuk memastikan siapa yang sudah memanggilku tersebut."Dokter Adam?"Duda sombong itu memanggilku? Nggak salah? Atas apa yang sudah ia lakukan tadi pagi, aku harus mengacuhkan panggilannya.Kubuang wajah, tak perduli. Langkahku tak terhenti walau sejenak."Alya."Kini dia berhasil menyeimbangkan posisinya denganku."Saya baru tahu, selain kurang hati-hati, kamu juga kurang bisa mendengar."Apa katanya? Kurang bisa mendengar?Baik akan saya layani segala keinginanmu, Dokter."Maksud Dokter apa? Apa kurang cukup mempermalukan saya di depan pasien tadi pagi? Saya ini manusia, punya hati, Dok."Lelaki itu terdiam."Jadi selain yang dua tadi, kamu juga mudah tersinggung."Aku mengeram di hadapannya. Kehentakkan dua tangan, lalu berlari menuju tempat parkiran. Dia hanya termanggu di tempatnya berdiri. Tanpa usaha untuk mengejar apalagi meminta maaf. Ingat, sampai kapanpun saya tidak a
Tak ingin peduli pada pesan terakhir yang dikirimkan dokter Adam ke ponselku. Aku kembali menapak kaki hingga ke kantin. Suasana di tempat itu masih lenggang dari pengunjung. Hanya beberapa bangku yang terisi. Kupilih duduk di kursi dekat taman. Ingatan ini sejenak terlempar pada dokter paru yang baru berdinas di rumah sakit sekitar enam bulan lalu. Selama ini memang kami jarang bertemu. Sesekali hanya berpas-pasan di koridor atau di ruangan rawatan saat aku mengantar pasien untuk rawat inap. Selebihnya pernah dua kali berada dalam satu ruang rapat. Artinya aku dan dia memang tidak pernah terlibat pertikaian, tapi kenapa sikapnya seolah sangat tidak menyukaiku?Apa benar cuma karena salah pasang infus kemarin? Masak iya sampai ngatain diri ini tidak beradap.Aneh! Bikin pusing.Saat kedua tangan baru membuka bungkusan nasi gurih di atas meja, seketika pandangan teralih pada beberapa meter ke depan.Yang baru saja menjadi topik dalam benak melangkah mendekat bersama beberapa staf UGD
Dulu aku mengikhlaskan Mas Radit untuk dimadu dengannya, tapi apa balasan yang kuterima? Dia mencampakkanku sedemikian lihai!"Alya.***Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kubiarkan air mata yang selama ini hanya boleh menetes tersebab mengingat dosa, kali ini berderai mengingat mantan. Enam tahun kugunakan seluruh usiaku untuk melupakan masa-masa indah bersamanya, tapi sungguh aku tak bisa. Tak pernah dalam hidup dia menyakitiku melainkan oleh fitnah yang ditimbulkan oleh ibunya. Dan hari ini, aku sudah membiarkan tanganku menyentuhnya kembali. Aku bersalah ya Allah. Dia yang tak boleh lagi kusentuh!Allah ...Harusnya memang tak kubiarkan dia terlalu jauh kembali.Kejadian ini semakin menyadarkanku, bahwa setegar apapun diri ini. Aku tetaplah wanita.Satu jam kubiarkan menangis tanpa ada seorangpun yang mengusik. Memasuki menit di jam kedua, kamarku diketuk pelan. Lalu Akbar muncul di sebaliknya.Kubalikkan tubuh menghadap tembok, menutupi sisa-sisa air mata dari pengliha