Masuk ke dalam ruangan yang sunyi senyap. Sang pemimpin menghadap ke jendela kaca. Mereka berdua merasakan aura yang tak enak. Baru kali ini, Bram menunjukkan sikap dingin ketika seseorang terdengar memasuki ruangannya. Diam dengan wajah datar ketika singgasananya memutar badan. Rani dan Arfan menunduk, menghormati Bram. "Dari mana saja kalian?" Keduanya mendongak segera dan saling melempar pandangan. "Maaf, Om. Kami selesai istirahat di kafe sebelah. Itu pun dengan jalan kaki. Ada apa, ya, Om?" Arfan mewakili jawaban Rani."Arfan." Bram berdiri. Mengitari separuh mejanya dan tepat di depan mereka langkah terhenti. "Kamu tahu, Rani ini adalah istri sepupumu. Tolong, jaga jarak kalian. Hargai Fatih sebagai suami Rani." Beralih pada menantunya. "Dan kamu, Rani, hormati suamimu. Kasihan Fatih, tadi makan siang sendirian dan terlihat kesepian."Rani hanya diam. Terus menundukkan kepala. "Memang Om meminta kamu untuk menikah dengan dia bukan tanpa alasan. Semua karena amanah yang kamu
Yang tadinya tenang dan pulas, sosok tampan itu mulai terbangun karena suara keras dan membuat jantungnya hampir lepas. Dadanya berdebar hingga tak dapat ia kendalikan. Fatih bangkit dan memastikan keadaan. Namun, apa yang dia lihat kini tengah mendekam di pojok ruangan. Kaki bertekuk dan tubuh bergetar. Rambut yang semula terbungkus jilbab, kini sudah terurai dan menutupi bagian wajah."Rani!""Rani, ada apa?" Kedua tangan berotot itu menyentuh pangkal lengan yang terasa ringan. Membuat Rani semakin kencang berteriak dan meminta tolong."To ...." Untungnya, dengan sigap Fatih menutup mulut Rani segera. Agar tak membuat gaduh suasana yang sudah mulai tenang dan air sudah mulai surut. Hujan semalam membuat sebagian warga yang tinggal di dataran agak tinggi berjaga-jaga."Diam!" Fatih mendekap tubuh sang gadis. Rani mulai menguasai keadaan. Ia menuruti kata Fatih setelah ancaman yang ia kumandang lirih di dekat telinga. "Kalau kau teriak lagi, kucium sampai kapok!" Ancaman macam ap
Suara sepeda motor terdengar memasuki halaman. Rintik hujan pun sudah tak terdengar lagi. Rani bangkit dari pembaringan. Ia langsung menyibak gorden dan melihat ke luar. Melihat Fatih di sana, bergegas gadis itu membuka pintu kamar. Menuruni anak tangga dan membuka pintu utama.Fatih yang tadinya berjalan dengan kepala menunduk, kini mendongak kaget melihat siapa yang datang menyambut.Fatih bersikap tak acuh. Dia melewati Rani begitu saja."Fatih, tunggu!" Rani buru-buru menutup pintu lagi dan mengejar pemuda itu. Jaket kulit terhempas ke sembarang arah, Fatih melepas sepatunya dan membuka lemari pakaian. Ia mencari kaus ganti."Fatih, kamu dari mana saja?" Rani mengikuti setiap gerakan pemuda itu. Fatih sama sekali tak mengindahkan, ia membuka kaus yang sejak siang melapisi tubuhnya. Melihat pemandangan putih mulus dengan lekukan otot pria itu, seketika Rani berhenti bicara. Gadis itu langsung membalik badan. Memejamkan matanya sesaat. Seolah hanya sendirian tanpa ada orang di d
Fatih dengan kesal mengintip dari balik pintu. Seorang pria dengan kumis melintang tipis tengah membukakan pintu mobilnya dan keluarlah seorang wanita cantik berbalut gamis hitam. Di tangannya terdapat setumpuk buku dan tas yang biasa dipakai ke mana-mana."Makasih, ya, Mas Arfan? Sudah diantar sampai rumah." Senyum manis tersaji untuk pria itu."Sama-sama. Kamu segera istirahat aja, lagian besok juga libur. Enggak usah terlalu ngebut juga, tugas kita, kan, dibagi dua. Nanti bilang aku kalau ada yang tidak bisa atau tidak kamu mengerti," jelas Arfan dengan sangat lembut. Sosok yang sangat dewasa dan selalu menjaga tutur kata serta ucapan, Arfan banyak ditaksir oleh karyawati kantor. Menjadi idola dan sangat disegani."Tinggal sedikit lagi, Mas. Lagian baru jam delapan." Rani mengangkat tangannya melilit benda melingkar dengan jarum berdetak."Oke, aku pulang dulu, ya?! Assalamualaikum?" "Wa'alaykumsalam. Hati-hati, Mas!" Arfan melambaikan tangan. Rani menatap mobil yang terus berja
Setelah beberapa saat, pemuda dengan tubuh polos itu tersadar. Kepalanya berdenyut nyeri dan seperti berputar-putar. Terasa berat dan seperti habis menabrak sesuatu. Fatih mendesis, menekan rasa sakit.Setelah berhasil menyandar dipan ranjang, ia memperjelas pandangan yang semula kabur. Pencahayaan yang terang membuatnya menyipitkan mata. Mulai dari jemari yang kaku, merambat hingga lengan, Fatih menyadari sesuatu.Bola mata yang awalnya redup, kini melotot seperti hendak menggelinding. Dibukanya bagian selimut yang menutupi separuh dirinya. Fatih terlonjak. Ia panik dan segera mencari pakaian. Namun, sama sekali tak ada jejak di mana pakaiannya. Fatih mulai menarik selimut dan membungkus tubuhnya. Ia melangkah ke arah lemari tetapi seseorang terdengar membuka pintu.Keduanya sama-sama kaget. Rani membalik badannya segera. Ia menutup matanya."Awas saja kalau menoleh. Aku tidak akan memaafkanmu!" Suara Fatih menggema seisi ruangan."Lagian siapa suruh pulang-pulang dalam keadaan mabu
"Mas, hari ini Om Bram tidak masuk. Jadi kita gantikan meeting nanti. Beliau sudah bilang tadi di rumah." Rani mengetik sesuatu pada komputer saat Arfan datang seperti biasa. Ia membawakan sebuah kotak makan berisi buah-buahan.Di ruangan berkaca itu, mereka duduk berhadapan. Sementara tatapan Arfan tidak mendapat balasan, dia tidak mempermasalahkan. Baginya, sesuatu yang disenangi oleh Rani adalah bagian dari tujuannya."Oke. Aku enggak banyak kerjaan sekarang sampai waktu meeting nanti datang. Kamu, perlu bantuan?" tawarnya masih dengan wajah memindai lekat."Aku masih menyalin berkas buat pengajuan kerja sama yang disuruh Om Bram, Mas. Mungkin sebentar lagi. Maaf, ya, kamu jadi dicuekin. Habisnya, harus selesai sekarang, nih. Sebelum kita tambah sibuk nanti." Kalimat terkait membuat Arfan berdiri dan melihat apa saja yang tengah dikerjakan Rani. Arfan memberitahu cara yang lebih cepat. Terlihat mereka begitu serius. "Ran!" Sebuah panggilan yang membuat kaget keduanya. Rani mendo
Selepas mengantar Alin ke rumahnya, Fatih kembali pulang. Dia membuka pintu hingga menaiki anak tangga memastikan ada orang di kamarnya. Namun, sejauh mata memandang dia tak mendapati siapa pun di sana. Kasur tertata rapi dan semua ruang telah ditelusuri. "Bik, lihat Non Rani?" tanya Fatih ketika ia sampai di dapur."Oh, Non Rani pergi tadi, Mas. Sudah izin Tuan Bram. Tapi, saya tidak tahu ke mana Non Rani pergi. Tidak dengan sopir tapi mobil jemputan." Wanita paruh baya itu menjawab sopan."Apa, mobil jemputan? Siapa yang menjemput Rani?" Fatih membalik badan dengan tangan berkacak pinggang. "Maaf, Mas, saya juga tidak tau." Wanita yang sudah bertahun-tahun bekerja pada keluarga Fatih itu melanjutkan lagi pekerjaannya.Fatih kembali ke kamar. Ia mengeluarkan ponselnya dan menekan kontak Rani. Lama tidak diangkat, telah itu terdengar ponsel tidak aktif. Pikiran Fatih tertuju langsung pada seorang lelaki yang akrab dengan Rani."Kalau benar kau sama dia, Ran, awas saja nanti kalau su
"Tugasmu belum kelar, aku masih punya kejutan untuk Fatih. Nanti kutelpon lagi. Sejumlah nominal juga sudah terkirim. Kau bisa cek sendiri." Seorang wanita berperawakan tinggi kurus dan rambut pendek bergelombang tengah mengulas seringai puas. Panggilan dia akhiri dan kembali pada singgasananya.Dalam layar segi empat ia menatap dan jemari menari di atas papan ketik, wanita tadi menerima file yang ia butuhkan untuk menguasai perusahaan. Hanya butuh satu langkah lagi. Yaitu tanda tangan Fatih dan Papanya. Pintu terdengar berderit dan seorang gagah muncul melukis senyuman. Buru-buru wanita itu menyembunyikan berkas tadi. "Bagaimana rencana kita, Din?" Pria itu memutar kursi di depan meja lalu duduk menghadap sang istri."Beres. Tinggal dua laki-laki yang masih saling bersitegang. Aku akan urus nanti. Kamu tinggal jalankan misi selanjutnya. " Wanita itu terus memasang wajah datar. Salah satu sifat yang tidak disukai oleh Leo."Aku kangen sama kamu. Bagaimana kalau nanti malam kita ngin