Share

Bab 4

last update Last Updated: 2023-07-15 06:13:58

"Mas Arfan, bukan? Ya Allah." Rani terkejut setelah lelaki itu membuka kaca mata hitamnya. 

"Iya, Ran. Ini aku, Arfan." Pemuda tampan dengan segudang prestasi itu mengulum senyuman. Membuat Bram tercengang. 

"Kalian sudah saling kenal?" Bram menunjuk dengan jarinya pada mereka secara bergantian. 

"Iya, Om. Saya dan Rani satu kampus dulu. Dalam hati Arfan, ia memang sengaja pindah kantor karena tahu kalau Rani bekerja pada Bram, sahabat Papanya.

"Wah, saya yakin perusahaan ini akan semakin maju dengan adanya kalian." Kedua mata Bram berbinar-binar. Tak salah ia mengajak Rani dan Arfan bekerja di sana. 

Bram mengajak mereka makan siang mewah. Sebagai acara penyambutan mereka berdua. Dalam hati lelaki itu, sebenarnya ia teringat dengan Fatih. Andai, Fatih seperti Arfan atau Rani yang mudah diatur dan menerima keadaan. Pasti Bram akan menjadi orangtua paling bahagia.

"Oiya, Om, gimana Fatih? Apakah dia juga bergabung di perusahaan Om?" tanya Arfan di sela-sela menikmati jamuan siang. Meat ball dengan saus dabu-dabu dan segelas jus jeruk, menemani makan siang mereka.

"Ya, gitu. Fatih masih sama saja. Om, tidak memaksa dia untuk bekerja di sana. Om, hanya mengarahkan anak itu saja. Dia itu tipe lelaki yang tak bisa disuruh apalagi dipaksa. Sudah mau gerak saja Alhamdulillah." Bram tertawa. Ia tak tahu betapa sakitnya hati Fatih ketika mendengar ucapannya.

Pemuda yang duduk membelakangi mereka sengaja menutup wajah dengan buku menu. Dalam hati Fatih, ia mati-matian mengumpat perkataan Papanya. Ia merasa tidak dianggap sebagai anak.

"Ran, satu bulan ke depan jika hasil kerjamu bagus dan bisa selangkah memajukan perusahaan, Om, akan kasih hadiah tempat tinggal. Agar kamu dan Ibumu tak mengontrak terus. Om, percaya kamu anak mandiri. Jadi, semua itu bukan karena rasa kasihan tetapi hadiah kebanggaan atas prestasimu,” tutur Bram lagi. 

Seketika manik bening milik Fatih hampir saja keluar dari tempatnya. Pemuda itu terperanjat dan segera menghampiri meja makan tempat Papanya berucap.

"Apa-apaan ini, Pa? Papa memberikan fasilitas lagi padanya? Ada yang enggak beres  ini!" Fatih menggebrak meja hingga minuman dalam gelas hampir saja tumpah.

"Fatih!" bentak Bram. "Jaga sikap kamu! Di mana tata kramamu berbicara seperti itu di depan orangtua?" Mereka sama-sama beradu urat. 

"Papa yang mulai. Rani itu siapa? Dia hanya anak pembantu yang kebetulan Bapaknya meninggal. Dengan enaknya mengamanahkan anaknya pada Papa. Memangnya keluarga kita tempat penampungan?" 

Satu tamparan keras mendarat di pipi Fatih. Bram telah habis kesabaran. Fatih pun tercengang setelah memar di pipinya. Pemuda itu memegangi kulit wajah yang mendadak panas.

"Aku tidak akan pernah melupakan hal ini, Pa! Mata hati Papa telah dibutakan oleh gadis itu dan Ibunya!" Fatih meradang. Urat-urat lehernya terlihat jelas, lingkaran bening pun memenuhi kelopak matanya.

Rani dan Arfan berdiri panik. Semua mata tertuju pada mereka. Bram merasa malu memiliki penerus yang sifatnya buruk seperti Fatih. Pemuda itu telah mencoret arang di kening orangtuanya sendiri.

Fatih pergi dengan segera. Meninggalkan duka mendalam karena perlakuan Bram barusan. Untuk yang kedua kalinya, Fatih mendapat tamparan keras.

"Om, tenang dulu! Duduk dulu, Om. Jangan sampai kesehatan, Om, terganggu. Apalagi satu jam ke depan kita akan ada meeting lagi," ucap Rani. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bram. Satu sisi ia membayangkan menjadi Fatih, satu sisi pula menjadi Bram. 

Arfan bergegas mendekati Bram lalu membantunya duduk. "Tenangkan diri dulu, Om." 

"Kalian lihat sendiri sifat Fatih. Dia persis seperti Mamanya. Tidak mau sebentar saja bersikap dewasa. Om ingin sekali dia bisa mandiri dan tidak menjadi pendengki. Jika dia mau apapun, Om, akan berikan asal dia bisa menunjukkan sikap bertanggung jawab." Bram mendadak memegangi dadanya. 

"Om."

Rani dan Arfan panik. Mereka segera meminta bantuan pihak restoran untuk membantu mereka membawa Bram ke dalam mobil. Bram segera dilarikan ke rumah sakit. 

***

Di ruangan ber-AC tempat Fatih kini duduk merenung, suasana hening. Di hadapannya layar berkabel menyala tanpa pergerakan kursor, si empunya tengah membayang masa-masa kecil dulu. 

Lamunan Fatih mendadak lebur karena ponsel dalam sakunya berdering. Ia segera merogoh dan melihat siapa yang telah memanggil.

Kedua alis pemuda itu hampir menyatu ketika keningnya mengerut. Ia ragu untuk mengangkat karena di sana terdapat foto profil Rani. 

"Hallo?" Akhirnya Fatih mencoba menerima karena penasaran.

"Fatih, Papamu!" Suara Rani di seberang sana terdengar bergemuruh disertai isakan khas wanita.

"Ada apa, Ran?" Fatih terperanjat lalu berdiri. Ia masih mencoba menajamkan indera pendengaran.

"Om Bram pingsan tadi. Sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit. Datanglah, Fatih!"

Belum sampai panggilan diakhiri, Fatih dengan cepat berlari keluar ruangan dan segera menuruni lift. Di bawah sana, ia tak lupa memberi pesan pada bagian resepsionis. Tak lama setelah itu, Fatih segera memasuki mobilnya dan meluncur ke jalanan yang ramai.

Lelaki berhidung bangir dengan bibir semu kemerahan, Fatih berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mencari ruang inap Papanya. Jika Papanya selamat nanti, ia berniat akan meminta maaf. 

Langkah terhenti di tengah lorong karena melihat Rani duduk bersebelahan dengan Arfan, tatapan Fatih berubah sinis. Ia melanjutkan langkah panjangnya untuk menghampiri mereka. 

Rani yang melihat Fatih berjalan dengan tergesa segera berdiri. "Fatih," lirihnya.

"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Fatih. Ia mencoba mengintip dari balik celah korden yang sedikit terbuka.

"Om Bram masih dalam penanganan, Fat. Dokter masih di dalam, kami disuruh menunggu," sahut Arfan.

"Duduk dulu, Fatih! Kita tunggu saja dokter keluar dan hasilnya bagaimana." Rani menunjuk kursi tunggu dengan tatapannya. Melihat Fatih seperti itu rasanya kasihan, Rani hanya berdiri karena di sana hanya ada dua kursi saja. 

"Duduklah, Ran. Biar aku yang berdiri." Arfan tersenyum tipis mendekati gadis itu ketika melihat Rani menyandar dinding. 

Rani mengangguk. Ia akhirnya duduk di sebelah Fatih yang tergugu menatap kosong. Selama kurang lebih dua puluh menit menunggu, dokter baru saja keluar bersama dua suster yang membawa nampan peralatan dan buku catatan.

"Bagaimana keadaan Papa saya, Dok?" Fatih berdiri dan segera bertanya.

Dokter dengan stetoskop di lehernya itu menghela napas berat. Wajahnya tampak sendu membuat Fatih semakin tak sabar mendengar kondisi Papanya.

"Pak Bram mengalami serangan jantung. Sekarang belum bisa dijenguk. Nanti kalau sudah ada kemajuan beberapa jam ke depan, suster akan mengabari," jelas dokter dengan name card bertuliskan Hendi Setiawan itu. 

Tubuh Fatih luruh seketika. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Dengan bantuan Rani, tubuh kekar pemuda itu akhirnya duduk kembali.

"Sabar, Fatih! Om Bram pasti akan sembuh." Rani merasa iba. Ia berusaha menenangkan pikiran pemuda itu. 

Siapa sangka, Fatih yang tengah dirundung kepiluan kini malah merebahkan kepalanya pada pundak Rani. Ia sangat membutuhkan sandaran. Sontak sikapnya itu mendapat respon tatapan kesal dari Arfan. Namun, lelaki yang menyukai Rani tersebut tak bisa berbuat apapun.

"Ran, apakah kau yakin Papaku akan segera sembuh? Bagaimana jika tidak?" 

Rani menoleh Arfan yang kini terus berdiri. "Kita sama-sama berdo'a saja Fatih. Semoga Om Bram segera sadar."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Yang Kucampakkan   End

    "Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 54

    "Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 53

    Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 52

    Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 51

    "Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 50

    "Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 49

    Setelah kembali ke depan ruangan Fatih, Rani bertemu dengan salah seorang suster. Gadis itu segera bertanya, "Sus, bagaimana keadaan Fatih?" "Sudah membaik, Mbak. Boleh dijenguk. Silakan!" "Makasih, Sus."Suster membalas dengan senyuman. Lalu pergi setelah Rani izin masuk ke dalam. Rani mengusap wajahnya melihat Fatih terbujur dengan alat bantuan kesehatan. Kepalanya dibalut dengan perban, hidungnya tampak cup oksigen menempel. Rani pun segera duduk dan mencoba menyentuh tangan Fatih. Meskipun Fatih sudah memporak-porandakan hatinya, tetap saja ia tak bisa diam saja melihat Fatih begitu. "Fatih, kamu belum bisa bangun ya? Aku menunggumu membuka mata sejak semalam. Bertahanlah, Fatih!" "Fatih, aku tau kalau kamu sangat membenciku. Aku tidak marah karena itu hakmu. Tapi, kumohon buka matamu.""Setelah kamu sadar, aku janji akan pergi dari sini. Kau tidak akan melihatku lagi."Beberapa menit Rani di sana, Fatih tak juga membuka mata. Tak lama Bram masuk dan Rani menoleh ke belakang.

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 48

    Fatih duduk di sebelah rani yang tak bergerak sama sekali. Lalu Bram menahan napas sejenak, ia berusaha bersikap adil dan menyesali perpisahan Rani dan putranya itu. "Papa kecewa sama kamu, Fatih. Kalian harusnya bisa bicarakan semuanya baik-baik. Papa batu tau kalau Rani dan kamu sudah bercerai. Dan akta nikah kalian baru sampai hari ini. Kalau bukan karena Papa bertemu tukang pos tadi, mungkin Papa tidak akan tau kalau kalian sudah ...." Bram menggeleng kepala sambil menghentakkan ucapannya. Rani terlihat menunduk. Ia tak lepas dari lirikan mata Fatih. Fatih sendiri pun tak bisa berkata-kata lagi. Selain kata maaf untuk papanya yang ia sampaikan dengan lirih. "Maaf, Pah." "Apa kalian tidak berniat rujuk? Papa sangat berharap kalian kembali bersatu. Bagaimana, Ran?" Bram meminta pada Rani sebuah pertimbangan lagi. "Maaf, Pak Bram. Terima kasih sebelumnya, tapi saya sudah memutuskan untuk sendiri juga. Saya dan ibu saya juga adik saya satu-satunya, akan kembali pulang tempat kela

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 47

    "Makasih Mas Arfan," ucap Rani seraya mengulas senyuman di tengah pesta pernikahan salah satu rekan kerja. Arfan juga menarik kursi untuk gadis itu agar duduk di sebelahnya. Mereka duduk dengan gelas-gelas minuman juga makanan yang tersaji di atas meja. "Ran, kamu mau makan apa? Banyak menunya. Kebetulan kita kan tadi memang sengaja janjian makan di sini." Arfan tertawa. "Aku apa aja deh, Mas. Salad aja dulu, tiba-tiba kenyang." "Aku ambilkan, ya." Lelaki dengan jas hitam itu itu segera meletakkan sepiring salad hijau di depan Rani. Sambil menatap pada hiburan seorang penyanyi, mereka mulai makan. Dari pintu utama, seorang pria dengan jas dark green berjalan menggandeng wanita cantik. Mereka masuk ke dalam. Tampak wanita itu mengenakan gaun dengan belahan dada dan rambutnya mengembang hitam legam. Tentu Fatih mencintainya. Namun, yang ada di dalam kepalanya saat ini adalah Rani. Hanya istrinya saja. Meskipun ada wanita cantik yang selalu menemaninya, tetap saja Fatih tak bisa t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status