Share

Bab 4

"Mas Arfan, bukan? Ya Allah." Rani terkejut setelah lelaki itu membuka kaca mata hitamnya. 

"Iya, Ran. Ini aku, Arfan." Pemuda tampan dengan segudang prestasi itu mengulum senyuman. Membuat Bram tercengang. 

"Kalian sudah saling kenal?" Bram menunjuk dengan jarinya pada mereka secara bergantian. 

"Iya, Om. Saya dan Rani satu kampus dulu. Dalam hati Arfan, ia memang sengaja pindah kantor karena tahu kalau Rani bekerja pada Bram, sahabat Papanya.

"Wah, saya yakin perusahaan ini akan semakin maju dengan adanya kalian." Kedua mata Bram berbinar-binar. Tak salah ia mengajak Rani dan Arfan bekerja di sana. 

Bram mengajak mereka makan siang mewah. Sebagai acara penyambutan mereka berdua. Dalam hati lelaki itu, sebenarnya ia teringat dengan Fatih. Andai, Fatih seperti Arfan atau Rani yang mudah diatur dan menerima keadaan. Pasti Bram akan menjadi orangtua paling bahagia.

"Oiya, Om, gimana Fatih? Apakah dia juga bergabung di perusahaan Om?" tanya Arfan di sela-sela menikmati jamuan siang. Meat ball dengan saus dabu-dabu dan segelas jus jeruk, menemani makan siang mereka.

"Ya, gitu. Fatih masih sama saja. Om, tidak memaksa dia untuk bekerja di sana. Om, hanya mengarahkan anak itu saja. Dia itu tipe lelaki yang tak bisa disuruh apalagi dipaksa. Sudah mau gerak saja Alhamdulillah." Bram tertawa. Ia tak tahu betapa sakitnya hati Fatih ketika mendengar ucapannya.

Pemuda yang duduk membelakangi mereka sengaja menutup wajah dengan buku menu. Dalam hati Fatih, ia mati-matian mengumpat perkataan Papanya. Ia merasa tidak dianggap sebagai anak.

"Ran, satu bulan ke depan jika hasil kerjamu bagus dan bisa selangkah memajukan perusahaan, Om, akan kasih hadiah tempat tinggal. Agar kamu dan Ibumu tak mengontrak terus. Om, percaya kamu anak mandiri. Jadi, semua itu bukan karena rasa kasihan tetapi hadiah kebanggaan atas prestasimu,” tutur Bram lagi. 

Seketika manik bening milik Fatih hampir saja keluar dari tempatnya. Pemuda itu terperanjat dan segera menghampiri meja makan tempat Papanya berucap.

"Apa-apaan ini, Pa? Papa memberikan fasilitas lagi padanya? Ada yang enggak beres  ini!" Fatih menggebrak meja hingga minuman dalam gelas hampir saja tumpah.

"Fatih!" bentak Bram. "Jaga sikap kamu! Di mana tata kramamu berbicara seperti itu di depan orangtua?" Mereka sama-sama beradu urat. 

"Papa yang mulai. Rani itu siapa? Dia hanya anak pembantu yang kebetulan Bapaknya meninggal. Dengan enaknya mengamanahkan anaknya pada Papa. Memangnya keluarga kita tempat penampungan?" 

Satu tamparan keras mendarat di pipi Fatih. Bram telah habis kesabaran. Fatih pun tercengang setelah memar di pipinya. Pemuda itu memegangi kulit wajah yang mendadak panas.

"Aku tidak akan pernah melupakan hal ini, Pa! Mata hati Papa telah dibutakan oleh gadis itu dan Ibunya!" Fatih meradang. Urat-urat lehernya terlihat jelas, lingkaran bening pun memenuhi kelopak matanya.

Rani dan Arfan berdiri panik. Semua mata tertuju pada mereka. Bram merasa malu memiliki penerus yang sifatnya buruk seperti Fatih. Pemuda itu telah mencoret arang di kening orangtuanya sendiri.

Fatih pergi dengan segera. Meninggalkan duka mendalam karena perlakuan Bram barusan. Untuk yang kedua kalinya, Fatih mendapat tamparan keras.

"Om, tenang dulu! Duduk dulu, Om. Jangan sampai kesehatan, Om, terganggu. Apalagi satu jam ke depan kita akan ada meeting lagi," ucap Rani. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada Bram. Satu sisi ia membayangkan menjadi Fatih, satu sisi pula menjadi Bram. 

Arfan bergegas mendekati Bram lalu membantunya duduk. "Tenangkan diri dulu, Om." 

"Kalian lihat sendiri sifat Fatih. Dia persis seperti Mamanya. Tidak mau sebentar saja bersikap dewasa. Om ingin sekali dia bisa mandiri dan tidak menjadi pendengki. Jika dia mau apapun, Om, akan berikan asal dia bisa menunjukkan sikap bertanggung jawab." Bram mendadak memegangi dadanya. 

"Om."

Rani dan Arfan panik. Mereka segera meminta bantuan pihak restoran untuk membantu mereka membawa Bram ke dalam mobil. Bram segera dilarikan ke rumah sakit. 

***

Di ruangan ber-AC tempat Fatih kini duduk merenung, suasana hening. Di hadapannya layar berkabel menyala tanpa pergerakan kursor, si empunya tengah membayang masa-masa kecil dulu. 

Lamunan Fatih mendadak lebur karena ponsel dalam sakunya berdering. Ia segera merogoh dan melihat siapa yang telah memanggil.

Kedua alis pemuda itu hampir menyatu ketika keningnya mengerut. Ia ragu untuk mengangkat karena di sana terdapat foto profil Rani. 

"Hallo?" Akhirnya Fatih mencoba menerima karena penasaran.

"Fatih, Papamu!" Suara Rani di seberang sana terdengar bergemuruh disertai isakan khas wanita.

"Ada apa, Ran?" Fatih terperanjat lalu berdiri. Ia masih mencoba menajamkan indera pendengaran.

"Om Bram pingsan tadi. Sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit. Datanglah, Fatih!"

Belum sampai panggilan diakhiri, Fatih dengan cepat berlari keluar ruangan dan segera menuruni lift. Di bawah sana, ia tak lupa memberi pesan pada bagian resepsionis. Tak lama setelah itu, Fatih segera memasuki mobilnya dan meluncur ke jalanan yang ramai.

Lelaki berhidung bangir dengan bibir semu kemerahan, Fatih berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mencari ruang inap Papanya. Jika Papanya selamat nanti, ia berniat akan meminta maaf. 

Langkah terhenti di tengah lorong karena melihat Rani duduk bersebelahan dengan Arfan, tatapan Fatih berubah sinis. Ia melanjutkan langkah panjangnya untuk menghampiri mereka. 

Rani yang melihat Fatih berjalan dengan tergesa segera berdiri. "Fatih," lirihnya.

"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Fatih. Ia mencoba mengintip dari balik celah korden yang sedikit terbuka.

"Om Bram masih dalam penanganan, Fat. Dokter masih di dalam, kami disuruh menunggu," sahut Arfan.

"Duduk dulu, Fatih! Kita tunggu saja dokter keluar dan hasilnya bagaimana." Rani menunjuk kursi tunggu dengan tatapannya. Melihat Fatih seperti itu rasanya kasihan, Rani hanya berdiri karena di sana hanya ada dua kursi saja. 

"Duduklah, Ran. Biar aku yang berdiri." Arfan tersenyum tipis mendekati gadis itu ketika melihat Rani menyandar dinding. 

Rani mengangguk. Ia akhirnya duduk di sebelah Fatih yang tergugu menatap kosong. Selama kurang lebih dua puluh menit menunggu, dokter baru saja keluar bersama dua suster yang membawa nampan peralatan dan buku catatan.

"Bagaimana keadaan Papa saya, Dok?" Fatih berdiri dan segera bertanya.

Dokter dengan stetoskop di lehernya itu menghela napas berat. Wajahnya tampak sendu membuat Fatih semakin tak sabar mendengar kondisi Papanya.

"Pak Bram mengalami serangan jantung. Sekarang belum bisa dijenguk. Nanti kalau sudah ada kemajuan beberapa jam ke depan, suster akan mengabari," jelas dokter dengan name card bertuliskan Hendi Setiawan itu. 

Tubuh Fatih luruh seketika. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Dengan bantuan Rani, tubuh kekar pemuda itu akhirnya duduk kembali.

"Sabar, Fatih! Om Bram pasti akan sembuh." Rani merasa iba. Ia berusaha menenangkan pikiran pemuda itu. 

Siapa sangka, Fatih yang tengah dirundung kepiluan kini malah merebahkan kepalanya pada pundak Rani. Ia sangat membutuhkan sandaran. Sontak sikapnya itu mendapat respon tatapan kesal dari Arfan. Namun, lelaki yang menyukai Rani tersebut tak bisa berbuat apapun.

"Ran, apakah kau yakin Papaku akan segera sembuh? Bagaimana jika tidak?" 

Rani menoleh Arfan yang kini terus berdiri. "Kita sama-sama berdo'a saja Fatih. Semoga Om Bram segera sadar."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status