Share

Bab 5

last update Last Updated: 2023-07-15 06:14:36

Dengan hati perih, Fatih dan dua orang di belakangnya membuka pintu ruangan tempat Bram terkulai tak berdaya. Selang infus serta cup oksigen telah menempel pada bagian tubuhnya. Bram masih belum sadarkan diri.

Fatih segera mendekat dan menatap setiap jengkal tubuh lelaki yang telah menyebabkan ia terlahir di dunia ini. Saat seperti ini, pemuda itu menyesali semua perbuatannya. Ia terduduk di samping ranjang rumah sakit dengan bibir mengatup rapat.

"Sabar, Fatih!" Rani menyentuh pundak lelaki itu. 

Fatih tak menjawab. Pikirannya masih bergulat tentang sebab-sebab Bram terbujur di sana.

Lepas beberapa detik berlalu, Bram menunjukkan gerakan lewat tangannya. Napasnya juga terdengar berat membuat Fatih segera beranjak dari kursi. Bram telah melewati masa kritis.

"Pa," panggil Fatih seraya menyentuh tangan Papanya.

Rani dan Arfan pun sontak mendekat. 

"Papa," panggil Fatih lagi. Ia tak sabar ingin melihat Bram membuka mata. 

"Fatih." Bram mengeratkan genggaman tangan putranya. Suasana berubah haru biru, Bram berkata lagi, "Fatih, Papa ingin kau bisa bertanggung jawab di perusahaan. Menjadi kebanggaan Papa dan Mamamu meski kami sudah tak bersama lagi."

Bibir Fatih hanya bungkam. Sesaat tatapannya mengarah pada Rani lalu, mengangguk pelan ketika Bram menaruh banyak harapan padanya. Kini, lelaki yang usianya hampir setengah abad itu bisa istirahat tenang.

Tak lama di rumah sakit karena kondisi Bram mengalami kemajuan, ia dibolehkan pulang dalam catatan tetap menjalani program rawat jalan.

****

Satu pekan sudah Bram pulang ke rumah. Keadaannya sudah lebih baik meskipun terkadang nyeri bagian dalam rusuk kiri membuatnya harus menjeda segala aktivitas. Lelaki jelang usia 50 tahun itu duduk di kursi khusus dalam ruangannya, menandatangani beberapa berkas.

"Pa." Fatih tiba-tiba masuk. Membawa map berwarna kuning lalu menyerahkan pada Bram.

"Kamu sudah mengerjakannya, Fatih?" tanya Bram.

Fatih mengangguk tetapi wajahnya masih sama seperti kemarin-kemarin, kurang bersahabat.

"Fatih, besok kamu dan Rani akan mengurus proyek di Bali. Papa, harap kamu tidak menolak. Papa, juga belum bisa kasih tahu Rani. Minnta tolong sama kamu, ya? Dada, Papa, masih sedikit nyeri." Bram tersenyum. Di tangannya masih sibuk memegangi bolpoin dan menggores di atas berkas dari putranya.

" Iya, Pa. Fatih, akan memberitahu Rani."

Dengan hati yang berbunga-bunga, Fatih keluar dari ruangan Bram. Membawa kembali berkasnya menuju ruangan Rani. Setiap kenangan ketika kuliah dulu, berputar tentang mereka berdua. Saat Fatih mengganggu gadis itu dengan melempar bola basket.

Entah kenapa, pemuda itu tiba-tiba tersenyum ketika membayangkan Rani dengan wajah kesal. Apalagi saat gadis itu menatapnya. Bola mata hazel milik Rani seperti permata zamrud.

Fatih membuka pintu ruangan Rani. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Arfan ada di sana. Di tangan Arfan terdapat buket mawar merah. Rona wajah Fatih mendadak berubah, sudah seperti langit yang hampir saja runtuh. 

Tangannya mengepal meremas map yang sempat dibawanya tadi. Fatih segera menghampiri mereka. Membanting map tadi tepat di hadapan Rani. " Kalau mau pacaran jangan di sini! Ini tempat kerja, jangan mentang-mentang orang terdekat Papa, kalian bisa seenaknya saja!"

Rani menatap dua lelaki di hadapannya secara bergiliran. "Jangan sembarangan menuduh Fatih! Kalau kamu tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, lebih baik kamu tanya dulu."

"Bullshit! Kau sejak dulu memang pandai sekali beralasan, Rani! Pantas saja Papaku sampai terperdaya olehmu dan Bu Erika. Kalian memang sangat jago." Rahang Fatih mengeras. Kedua matanya melotot siap menampar Rani dengan hujatan.

"Fatih, jaga ucapanmu! Kau sudah berjanji dengan Om Bram akan berubah. Kalau kau masih sama saja seperti sebelumnya, Om Bram pasti kecewa," sahut Arfan. 

"Sudah-sudah! Kalian tidak perlu saling menyalahkan. Lebih baik kamu kembali lagi ke ruanganmu, Fatih! Berkasmu sudah kutandatangani." Rani melihat beberapa karyawan membisik karena ruangannya terdapat pintu kaca. Ia tak mau terjadi keributan lagi apalagi mengenai hal sepele.

"Kau menyuruhku keluar, Ran? Sementara kalian akan melanjutkan adegan mesra? Aku tidak akan membiarkan kalian terus memanfaatkan keadaan. Aku akan bilang sama Papa!" Fatih membalik badan dan ternyata di belakang sana, Bram baru saja sampai. 

Melihat tiga orang di dalam dengan tatapan tegang, Bram mengerutkan dahinya. Ia merasa baru saja terjadi sesuatu. "Ada apa? Kenapa kalian diam semua?" 

Rani dan Arfan memberikan hormat dengan menundukkan badan. Berbeda dengan Fatih yang terlihat mengatur napas. 

"Om, ini kira-kira sudah cocok belum?" Arfan menunjukkan buket mawar tadi serta sebuah parcel di sudut ruangan. 

"Oh, sudah siap? Bagus, kok, kalau sudah siap semua tolong kasih tau Riana untuk mengirimkan ke kediaman Pak Agung." Bram tersenyum lagi lalu menunjukkan tugas-tugas Rani selanjutnya. 

Di sebelah sudut yang lain, Fatih merasa malu sendiri. Ia telah menuduh Rani dan Arfan karena prasangkanya. Pemuda itu lantas mendesah kesal, dalam hatinya berkecamuk samudra api, ia masih bergeming seraya mengumpat dua orang yang ia tebak pasti tengah menertawakannya. 

"Oiya, Ran kamu sama Arfan juga  Fatih besok akan ada jadwal proyek ke Bali. Apakah Fatih sudah bilang tadi?" tanya lelaki yang kerap disapa Tuan Ramah itu ketika ia baru saja hendak keluar. Bram membalik badan menghampiri mereka bertiga lagi.

"Belum, Om. Fatih belum bilang apa-apa. Dia malah ...." Arfan yang baru saja akan mengadukan sikap Fatih, langsung disenggol lengannya oleh Rani. Gadis itu memberi isyarat dengan kerlingan matanya. 

"Kenapa dengan Fatih?" tanya Bram lagi. Sesungguhnya ia bisa menebak apa yang terjadi, tetapi ia tak ingin menghancurkan usaha Fatih untuk memperbaiki diri.

"Fatih belum bilang, Om. Cuman dia tadi fokus pada rangkaian parcelnya. Mungkin dia lupa," sahut Rani cepat. Ia tak mau ambil pusing lagi karena perdebatan. 

"Oh, begitu." Bram mulai menerangkan perlahan mengenai agenda besok. Tiga anak muda itu akan menginap selama lima hari kerja di Bali untuk bertemu klien dan membangun bisnis di sana sebab Bram tak mungkin keluar kota karena kondisinya yang masih kurang stabil.

Lepas itu, Bram langsung keluar. Fatih pun ikut keluar karena ia tak mungkin mengatakan terima kasih pada mereka karena mengucapkan kalimat tersebut adalah pantangan baginya apalagi kepada Rani dan Arfan.

Waktu berputar begitu cepat, mereka berangkat dari Bandara internasional Soekarno-Hatta. Di dalam pesawat Rani ditemani oleh rekan kantornya bernama Fita sementara di kursi belakang dua lelaki tampak saling memalingkan pandangan.

Sampai di Bali, keduanya langsung cek in hotel. Mereka memesan dua kamar masing-masing dua pasang. Rani membuka kamarnya, terlihat satu ranjang dengan tatanan rapi dan jendela kaca yang menampilkan pemandangan laut lepas dan sebuah kapal tengah berlayar. Perjalanan hanya memakan waktu satu jam, Rani yang tidak terlalu lelah langsung mengirim pesan pada Arfan mengenai agenda hari ini.

Rekan Rani tersebut langsung menghambur ke atas tempat tidur. Ia sudah seperti anak kecil yang kegirangan karena melihat sesuatu yang nyaman, indah, dan menyenangkan mata.

"Sering-sering aja Pak Bram menyuruh kita kerja di luar kota, ya, Mbak. Kan, bisa sekalian liburan." Fita terkekeh. Ia berguling ke samping kanan kiri dengan wajah riang.

"Kamu, nih, kita, kan, mau kerja. Bukan mau adventure." Rani ikut tertawa. "Eh, tapi bener juga kamu, Fit! Aku baru kali ini ke Bali." Rani menggeret kopernya ke sudut ruangan. Lalu, membuka jendela kaca dan menikmati sejuknya pemandangan.

"Nah, kan, apa aku bilang. Mbak, aku tidur bentar, ya? Biar nanti malam enggak ngantuk." Fita segera memeluk guling di dekatnya. Gadis berambut ikal itu membuat Rani geleng-geleng, pasalnya baru saja selesai bicara sudah langsung terlelap.

Rani melihat pesan di layar ponselnya setelah beberapa saat tak ada suara. Keningnya mengerut ketika membaca pesan dari Fatih. Ia diminta menemuinya di tepi pantai tepat di depan hotel berbintang tempat mereka menginap saat ini.

Rani pun segera beranjak dari tempat duduknya. Menuruni lift sendirian dan keluar dari sana mencari sosok yang baru saja menyuruhnya keluar. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Yang Kucampakkan   End

    "Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 54

    "Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 53

    Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 52

    Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 51

    "Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 50

    "Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 49

    Setelah kembali ke depan ruangan Fatih, Rani bertemu dengan salah seorang suster. Gadis itu segera bertanya, "Sus, bagaimana keadaan Fatih?" "Sudah membaik, Mbak. Boleh dijenguk. Silakan!" "Makasih, Sus."Suster membalas dengan senyuman. Lalu pergi setelah Rani izin masuk ke dalam. Rani mengusap wajahnya melihat Fatih terbujur dengan alat bantuan kesehatan. Kepalanya dibalut dengan perban, hidungnya tampak cup oksigen menempel. Rani pun segera duduk dan mencoba menyentuh tangan Fatih. Meskipun Fatih sudah memporak-porandakan hatinya, tetap saja ia tak bisa diam saja melihat Fatih begitu. "Fatih, kamu belum bisa bangun ya? Aku menunggumu membuka mata sejak semalam. Bertahanlah, Fatih!" "Fatih, aku tau kalau kamu sangat membenciku. Aku tidak marah karena itu hakmu. Tapi, kumohon buka matamu.""Setelah kamu sadar, aku janji akan pergi dari sini. Kau tidak akan melihatku lagi."Beberapa menit Rani di sana, Fatih tak juga membuka mata. Tak lama Bram masuk dan Rani menoleh ke belakang.

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 48

    Fatih duduk di sebelah rani yang tak bergerak sama sekali. Lalu Bram menahan napas sejenak, ia berusaha bersikap adil dan menyesali perpisahan Rani dan putranya itu. "Papa kecewa sama kamu, Fatih. Kalian harusnya bisa bicarakan semuanya baik-baik. Papa batu tau kalau Rani dan kamu sudah bercerai. Dan akta nikah kalian baru sampai hari ini. Kalau bukan karena Papa bertemu tukang pos tadi, mungkin Papa tidak akan tau kalau kalian sudah ...." Bram menggeleng kepala sambil menghentakkan ucapannya. Rani terlihat menunduk. Ia tak lepas dari lirikan mata Fatih. Fatih sendiri pun tak bisa berkata-kata lagi. Selain kata maaf untuk papanya yang ia sampaikan dengan lirih. "Maaf, Pah." "Apa kalian tidak berniat rujuk? Papa sangat berharap kalian kembali bersatu. Bagaimana, Ran?" Bram meminta pada Rani sebuah pertimbangan lagi. "Maaf, Pak Bram. Terima kasih sebelumnya, tapi saya sudah memutuskan untuk sendiri juga. Saya dan ibu saya juga adik saya satu-satunya, akan kembali pulang tempat kela

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 47

    "Makasih Mas Arfan," ucap Rani seraya mengulas senyuman di tengah pesta pernikahan salah satu rekan kerja. Arfan juga menarik kursi untuk gadis itu agar duduk di sebelahnya. Mereka duduk dengan gelas-gelas minuman juga makanan yang tersaji di atas meja. "Ran, kamu mau makan apa? Banyak menunya. Kebetulan kita kan tadi memang sengaja janjian makan di sini." Arfan tertawa. "Aku apa aja deh, Mas. Salad aja dulu, tiba-tiba kenyang." "Aku ambilkan, ya." Lelaki dengan jas hitam itu itu segera meletakkan sepiring salad hijau di depan Rani. Sambil menatap pada hiburan seorang penyanyi, mereka mulai makan. Dari pintu utama, seorang pria dengan jas dark green berjalan menggandeng wanita cantik. Mereka masuk ke dalam. Tampak wanita itu mengenakan gaun dengan belahan dada dan rambutnya mengembang hitam legam. Tentu Fatih mencintainya. Namun, yang ada di dalam kepalanya saat ini adalah Rani. Hanya istrinya saja. Meskipun ada wanita cantik yang selalu menemaninya, tetap saja Fatih tak bisa t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status