Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.
Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak. Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?" Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang. "Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku? "Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal. Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengkeram lenganku kuat-kuat. "Sebenarnya kamu mau kamu apa?" Kulihat, dia menahan giginya rapat-rapat. Aku asumsikan pertanyaannya adalah pengakuan yang terselubung. Sehingga, dengan lantang dan tanpa takut kumenjawab, "Tinggalkan dia Mas! Hiduplah normal denganku!" Sepersekian detik, aku bersumpah melihat Mas Raka mendengus. "Jangan harap!" Lalu dia melepas cengkeramannya dengan kasar, sehingga tubuhku terhuyung ke belakang. Sikap kasarnya barusan kuartikan sebagai jawabannya. Dia tak mau melepas jalangnya. "Baiklah, kalau kamu mau mempertahankannya, lepaskan aku!" pintaku lirih. “Biarkan aku pulang ke rumah orang tuaku.” Aku sadar, aku tidak akan menang jika bersaing dengan perempuan bernama Renata itu. Sebab sedari awal, bahkan sebelum memulai persaingan, aku sudah lebih dulu kalah. Hati Mas Raka tetap tak bisa kugapai, meski kami telah menikah. "Apa kamu bodoh, Mel? Pikirkan orang tuamu!" Kalimatnya membuat aku mematung. Ucapan Mas Raka ada benarnya. Kedua orang tuaku sudah tua, apalagi ayahku memiliki riwayat sakit jantung. Jika aku dan Raka berpisah, bukan tidak mungkin kabar itu akan membuat penyakitnya makin parah. Namun, aku tak terima. Kenapa hanya aku yang diminta memikirkan kondisi orang tuaku? Kenapa bukannya Mas Raka yang berpikir sebelum melakukan hubungan terlarang itu. “Seharusnya kamu juga berpikir Mas, bukan hanya aku.” Ucapanku melemah seiring dengan frustasi yang kurasakan. Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana, pisah darinya tidak mungkin, tapi bertahan sendirian, aku yang kesakitan. Aarrgghh, kenapa ini harus berlaku padaku?! Air mataku menetes, menatapnya nanar. Sayang, Mas Raka seolah tak punya hati. Alih-alih membujukku seperti suami normal pada umumnya, dia justru melengos dan melangkah keluar rumah. Masih kudengar umpatannya ketika dia melewati tubuhku yang membeku. “Jangan salahkan aku kalau aku tidak betah di rumah. Semua ini karena kamu.” Tak lama usai kepergiannya, kudengar suara mobil keluar dari garasi melaju kencang. Aku pun terduduk dengan tangis yang keras. Aku yakin, Mas Raka yang sedang emosi itu pasti mendatangi jalangnya. Sementara aku, lagi-lagi sendiri dengan luka hati yang menganga. Kucoba pejamkan mata, tetapi aku terus saja gelisah. Meski sudah tak menangis lagi, otakku masih terus sibuk membayangkan sedang apa suamiku di rumah jalangnya. “Apa mereka tengah memadu kasih?” cicitku dengan malang. “Atau….” Ting! Suara denting ponsel berbunyi. Sebuah panggilan dari nomor yang tidak kusimpan terpampang. “Halo?” ujarku langsung usai menekan tombol hijau. “Selamat malam, Bu. Kami dari rumah sakit A. Apa benar ini keluarga Tuan Raka?” Aku menjawab, kemudian petugas rumah sakit itu menyampaikan kabar mengejutkan. Mas Raka, terlibat kecelakaan tunggal dan kini dirawat di rumah sakit tersebut. Seolah tak mengingat kondisi terakhir kali kami bertengkar semalam, aku langsung mendatangi rumah sakit itu segera setelah telepon dimatikan. Nyatanya setelah pertengkaran kami semalam aku masih mengkhawatirkannya. Bahkan di sepanjang jalan menuju tempatnya dirawat, pikiranku tak sekali pun lenyap memikirkan kondisinya. Setelah mendapatkan info ruang rawat inapnya, aku langsung mempercepat langkah. Saat pintu kamar itu kubuka, terlihat lelaki yang ternyata masih sangat kucinta tengah terbaring lemah. Mata Mas Raka memejam, masih tertidur. “Apa yang terjadi Mas? Kenapa bisa seperti ini?” Melihatnya tak berdaya seperti ini justru membuat aku merasa bersalah. Andai semalam kami tidak bertengkar, mungkin Mas Raka tidak akan terlibat kecelakaan seperti ini. Bahkan kutangisi pria jahat itu, seolah aku benar-benar lupa pada perilakunya yang telah berkhianat. Jari-jari Mas Raka kemudian bergerak, membuatku siaga menyambutnya. “Renata….” Hatiku mencelos mendengar dia menyebutkan nama itu. “Aku bukan Renata, Mas!” Kulepas genggaman tanganku. Tepat saat itu, pintu rawat inap kelas satu itu dibuka. Aku menoleh, melihat siapa yang masuk. Tidak kusangka, bukan dokter apalagi perawat, tetapi dia adalah…. Renata! Wanita yang akhir-akhir ini mengganggu ketentraman rumah tanggaku. “Ah, maaf. Aku tidak tahu kalau ada orang.” Suara wanita dari belakang, membuatku menoleh. Mataku langsung terpaku pada sosok itu. Dia…. “Kamu… mau apa kamu ke sini?” ujarku dengan berani. Kulihat, dia tetap melangkah mendekati ranjang Mas Raka, seolah tak terpengaruh ada aku, istrinya di sini. “Tentu aku mengkhawatirkan Mas Raka.” katanya dengan menatapku. Kemudian, Renata mengalihkan tatapannya ke arah Mas Raka. “Mas bagaimana keadaan kamu?” Terlihat wanita itu menatap Mas Raka dengan cemas. “Aku baik-baik saja.” Mas Raka menatap Renata dengan senyuman manisnya. Tatapannya terhadap Renata sungguh berbeda dengan tatapannya padaku dan jujur itu membuatku iri. Aku masih bergeming di tempatku, menatap mereka berbincang. Kediamanku tak bertahan lama, tak ingin Renata berlama-lama disini aku pun memintanya pergi. “Aku rasa kamu sudah tahu keadaan Mas Raka jadi sekarang pergilah!” Ujarku dengan penuh penekanan. Kulihat Mas Raka dan Renata menatapku bersamaan, dari tatapannya ku tahu mereka keberatan akan ucapanku. “Sudahlah jangan membuat keributan apa salahnya jika dia di sini?” Mas Raka menunjukkan kekesalannya padaku. Sementara aku, masih teguh dengan keinginanku. “Tentu salah Mas!” Kutatap dia lekat sembari menunjukkan ekspresi marah. “Tidak ada yang salah Amel. Aku dan kamu memiliki hak yang sama disini,” sahut Renata. Tatapanku terlempar begitu saja ke arah Renata, hak yang sama? Sesaat kemudian aku tertawa, sungguh wanita itu tak tau malu bagaimana bisa menyamakan aku dan dirinya. “Bagaimana bisa?” Ujarku menatapnya tajam. “Tentu bisa karena aku adalah….”Waktu terus berlalu, tak terasa Arkan sudah berumur tujuh bulan, mama yang masih memegang teguh adatnya hendak melakukan syukuran yang disebut "Mudun lemah" atau turun tanah. Di usia tujuh bulan bayi sudah diperbolehkan untuk diturunkan ke bawah mengingat mereka harus belajar berjalan. "Amel persiapannya sudah selesai apa belum?" tanya Mama yang memantau aku di dapur. "Sudah ma, anak ayam yang mama pesan sudah dikirim." Kataku sambil tersenyum. Memang dalam syukuran kali ini kami menggunakan anak ayam, entahlah kenapa ada adat seperti itu. Ayah dan ibuku juga datang untuk membantu, aku yang lelah memutuskan ke kamar sejenak untuk istirahat. Beberapa saat kemudian, Mas Raka menyusulku. Dia yang juga kelelahan turut berbaring di sampingku. "Adat terkadang itu menyusahkan, tinggal syukuran saja kenapa ribet banget yang inilah itulah, lagian kenapa ada acara turun tanah, Arkan tinggal ditaruh bawah kan udah beres." Mas Raka menggerutu sendiri. Mendengar gerutuannya
Mas Raka menatapku tak percaya, "Kamu setuju Sayang?" tanyanya sambil memegang pundakku. "Iya Mas, kuakui aku tak sanggup mengurus Arkan sendirian." Mas Raka langsung memelukku, dia mengecup keningku berkali-kali. Setelah berbincang aku dan Mas Raka memutuskan pulang, sesampainya di rumah Mama menyambutku. Sama seperti Mas Raka mama memelukku dengan erat. Sebenarnya aku heran pada mereka, takut sekali jika aku pergi. "Ma tolong carikan yayasan terbaik, kami akan menggunakan jasa baby sitter." Ujar Mas Raka. Mama sangat senang mendengar kabar ini lalu beliau menghubungi Yayasan yang sudah diakui para majikan. Beberapa foto calon baby sitter mama tunjukkan padaku, dan pilihanku jatuh pada baby sitter yang sudah berumur. Aku sengaja mencari yang tidak manarik karena takut Mas Raka akan tergodo seperti di film-film. Keputusan kami buat, dan besok orangnya akan dikirim ke rumah. Malam itu, Mas Raka lah yang menidurkan Arkan, dia juga menemani aku begadang meng
"Iya Bu, Amel akan memikirkannya lagi." Kataku sambil menatap ibuku. Arkan menangis, ibu memintaku untuk menyusuinya langsung karena asi yang aku pompa kemarin sudah habis. Setelah aku menyusui Arkan, ibu meminta bayiku kembali. Ibuku memang ibu terbaik di dunia. Beliau tidak ingin aku lelah. "Enak ya digendong nenek." Aku mengusap pipi Arkan. Dari depan terdengar suara mobil berhenti, bibirku menyunggingkan senyuman saat tahu yang berhenti adalah mobil Mas Raka. Mas Raka berjalan mendekat dan bersamaan Arkan muntah sehingga aku berlari masuk ke dalam. Dari belakang aku mendengar Mas Raka memanggilku. "Sayang." Mas Raka mengekori aku yang ingin mengambil tisu. Dia langsung memelukku. "Maafkan aku." Dia berbisik. Aku melepas pelukannya bukan tidak senang dengan kedatangannya tapi aku harus mengusap muntah Arkan. Ibu segera meminta tisu dariku, lalu beliau lah yang mengusap bibir Arkan. Setelah bersih dari muntahan, aku menatap suamiku yang sudah memasan
Di dalam kamar aku menangis, sungguh aku merasa sedih dengan sikap Mas Raka. Kenapa semua seolah aku yang salah? padahal aku hanya ingin merawat Arkan dengan tanganku sendiri? "Kenapa kamu begini Mas?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Kukira Mas Raka akan mengerti keadaanku, seorang ibu baru yang mengalami perubahan segala siklus hidup namun nyatanya tidak. Di saat seperti ini bukankah peran suami adalah mensupport istri? tapi mengapa malah balik menyalahkan? ArrggggAku berteriak sambil mengusap rambutku dengan kasar. Meskipun aku mengurus Arkan sendiri aku tidak pernah mengganggu tidurnya, seberapa repotnya aku tiap malam aku tidak pernah membangunkannya karena aku sadar dia harus bekerja. Tapi kenapa dia tidak mengerti? bukankah masa-masa seperti ini tidak lama, ketika bayi semakin besar dia pasti akan jarang bangun malam dan aku bisa mengurusnya kembali? Hati yang meradang membuat aku terus menangis hingga suara ketukan dari luar menghentikan tangisku. Aku berjalan u
Kutunggui dia yang sedang makan, entah mengapa melihat Mas Raka makan, aku merasa iba. Emosi yang memburu tiba-tiba menghilang. "Aku sudah selesai makan, apa yang ingin dibicarakan?" Dia menatapku. "Ayo le kamar." Tak ingin di dengar pelayan dan Mama aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tapi Mas Raka menolak dengan alasan kekenyangan jadi malas naik. "Kamu tuh kenapa sih Mas, bicara di kamar lebih leluasa tidak didengar banyak orang!" Aku memberengut kesal. "Apa masalahmu?" Nafasku kembali memburu, dia tidak pulang dan dia bertanya apa masalahnya? "Kamu tuh nyadar gak sih kalau salah! nggak pulang apa menurut kamu itu wajar?" Air mataku yang kutahan memberontak keluar, sehingga kini aku menangis di hadapannya. "Apa yang kamu tangisi bukanlah semua keinginan kamu?" Mendengar ucapannya sontak aku membuat aku kembali menatapnya, "Apa maksud kamu?" "Ya kamu lelah dengan Arkan bukanlah itu keinginan kamu? dari awal aku sudah mencoba menawarkan baby sitter tapi kamu selalu menolak."
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn