Setahun menikah, suamiku tidak kunjung menyentuhku. Statusku memang berubah menjadi seorang istri, tapi nyatanya istri yang masih perawan. Aku penasaran, apa yang membuat suamiku itu tahan untuk tidak melampiaskan hasratnya. Ternyata.....
View More“Mas, malam ini adalah malam Jumat. Apa kamu tidak menginginkannya?" tanyaku sambil menatap suamiku, Mas Raka yang berada di samping.
"Aku hanya ingin tidur Mel," katanya diiringi tatapan tajam ke arahku. Selalu itu jawaban yang Mas Raka berikan ketika aku meminta nafkah batin darinya. Sekali lagi hatiku tertampar atas penolakannya. Aku membalikkan tubuh dan seperti biasa, menangis dalam diam dengan air mata yang mengalir dengan deras. Sebagai wanita normal, tentu aku menginginkan belaian dari suami yang kunikahi setahun lalu, tapi dia? Selalu acuh tak acuh, mengabaikan hasratku yang terus meronta untuk dipenuhi. Kelakuannya sungguh kontras dengan cerita teman-temanku yang mengatakan apabila pria matang gencar-gencarnya bercinta. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah suamiku normal? Apa dia tidak memerlukan sebuah pelepasan? Apa dia tidak mencintaiku? Ataukah dia memiliki wanita lain? Seabrek asumsi negatif berputar di kepalaku, sehingga membuat dadaku semakin sesak. Lelah memikirkan itu, akhirnya aku tertidur lelap dalam rasa sakit. Ketika pagi datang menyapa, seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk Mas Raka. Setelah itu aku membantunya bersiap. Penasaran pada asumsi-asumsiku, aku berpikir ingin bertanya padanya. "Mas, boleh aku bertanya?"cicitku pelan dengan menunduk takut. Belum-belum suara dinginnya mencuat. "Ada apa?" Mendengar itu, tubuhku rasanya menggigil bahkan nyaliku sekarang menciut. “A-aku....” Kata demi kata yang aku rangkai kini berhamburan tak karuan sehingga membuat mulutku terkunci rapat-rapat. "Jika tidak ada yang ingin kamu bicarakan, siapkan nasi untukku!" Kembali, suara baritonnya mengejutkanku. "B-baik Mas." Segera aku mengambilkan nasi dan meletakkan beberapa lauk di piringnya. "Ini, Mas!" Aku menatapnya sambil meletakkan piring di depannya. Gelagat penasaranku tak bisa aku sembunyikan. Hingga rasanya Mas Raka bisa membaca, jika aku masih penasaran pada pertanyaan yang kuurungkan tadi. "Kalau kamu masih mau bicara, bicaralah sekarang Mel! Jangan membuat nafsu makanku hilang!" Aku pun mengangguk, dan tanpa pikir panjang langsung mengutarakan pertanyaan. "Mas, kenapa sih kamu tidak seperti suami pada umumnya?" Klontang! Suara sendok yang diletakkan dengan kasar di atas piring menggema, membuat aku berjengit. Pria berkacamata itu menatapku tajam, raut wajahnya begitu menyeramkan. "Itu lagi, itu lagi! Kamu nggak punya pertanyaan lain? bosan aku mendengarnya!" Aku semakin menunduk ketika bukan jawaban manis yang aku dapatkan, melainkan bentakan keras. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mas Raka bangkit dari tempat duduknya. Dia dengan segera mengambil tas jinjing miliknya, lalu berjalan keluar rumah. “Mas, tunggu! Maafkan aku. Makan dulu sarapannya!" Aku mengejarnya dan berusaha meminta maaf tapi dia tak mempedulikanku dan langsung saja masuk ke dalam mobil. Melihat mobilnya keluar carport membuat aku mematung. Di mana letak kesalahanku? Kenapa dia selalu membentakku jika aku bertanya hal itu? Memang kami bukanlah pasangan yang saling mencintai, sebab kami menikah karena sebuah perjodohan. Kupikir, menikahi pilihan orang tua membuat aku bahagia. Namun ternyata aku salah. Selama setahun ini, aku memendam rasa sakit sendiri. Aku menerima sikap buruknya tanpa banyak mengeluh, berharap sikap dinginnya bisa kuhangatkan. Tapi.... Ternyata aku tak mampu menghangatkannya, sementara kini hatiku sudah menjadi miliknya. ‘Ah, sudahlah.’ Hanya kata itu yang meredam semuanya. Kuingatkan lagi diriku pada nikmat lain yang diberikan Mas Raka. Hidup di rumah sendiri, uang belanja cukup, apa lagi yang aku inginkan? Pasti Posisiku sekarang banyak yang menginginkannya, bukan? Akhirnya, Drama Korea adalah hiburan saat hatiku terluka. Melihat bagaimana pemain utama pria begitu meratukan wanitanya, membuat nyeri di hatiku sedikit terobati. "Andaikan suamiku seperti Oppa itu," batinku dengan tersenyum membayangkan Mas Raka memelukku hangat dan mencumbuku mesra. Sebuah ide brilian lantas muncul di benakku. Kubuka aplikasi mengirim pesan, dan langsung saja aku menulis status. Kuunggah video romantis dari Drakor yang kutonton, dan kuberi caption kata-kata indah. “MasyaAllah, sudah tampan, begitu meratukan istri. Andai saja suamiku seperti Oppa ini....” Namun tak lama status itu mengudara, sambungan telepon masuk dari Mas Raka. “Apa-apaan kamu, Mel?! Kamu mau buat aku malu, dengan statusmu itu?!” omelnya langsung ketika panggilannya kuangkat. "Kenapa kamu marah? Apa salahnya jika aku membuat story seperti itu!" Aku protes kepadanya. Kesabaranku yang biasanya setebal bunga es di freezer kini entah mengapa hanya setipis tisu. Dimarahi karena sebuah story membuatku tak terima. "Hapus! Saat ini juga!" Mendengar bentakannya di telepon membuat tubuhku gemetar. Rasa marah karena Mas Raka membentakku hanya perkara story, membuatku menutup panggilannya secara sepihak sebelum kemudian menghapus story-ku. Di atas sofa aku kembali menangis. Apa yang salah dengan diriku? Kenapa dia terus saja bersikap menyakitkan? Aku ini dianggap istri atau apa?Waktu terus berlalu, tak terasa Arkan sudah berumur tujuh bulan, mama yang masih memegang teguh adatnya hendak melakukan syukuran yang disebut "Mudun lemah" atau turun tanah. Di usia tujuh bulan bayi sudah diperbolehkan untuk diturunkan ke bawah mengingat mereka harus belajar berjalan. "Amel persiapannya sudah selesai apa belum?" tanya Mama yang memantau aku di dapur. "Sudah ma, anak ayam yang mama pesan sudah dikirim." Kataku sambil tersenyum. Memang dalam syukuran kali ini kami menggunakan anak ayam, entahlah kenapa ada adat seperti itu. Ayah dan ibuku juga datang untuk membantu, aku yang lelah memutuskan ke kamar sejenak untuk istirahat. Beberapa saat kemudian, Mas Raka menyusulku. Dia yang juga kelelahan turut berbaring di sampingku. "Adat terkadang itu menyusahkan, tinggal syukuran saja kenapa ribet banget yang inilah itulah, lagian kenapa ada acara turun tanah, Arkan tinggal ditaruh bawah kan udah beres." Mas Raka menggerutu sendiri. Mendengar gerutuannya
Mas Raka menatapku tak percaya, "Kamu setuju Sayang?" tanyanya sambil memegang pundakku. "Iya Mas, kuakui aku tak sanggup mengurus Arkan sendirian." Mas Raka langsung memelukku, dia mengecup keningku berkali-kali. Setelah berbincang aku dan Mas Raka memutuskan pulang, sesampainya di rumah Mama menyambutku. Sama seperti Mas Raka mama memelukku dengan erat. Sebenarnya aku heran pada mereka, takut sekali jika aku pergi. "Ma tolong carikan yayasan terbaik, kami akan menggunakan jasa baby sitter." Ujar Mas Raka. Mama sangat senang mendengar kabar ini lalu beliau menghubungi Yayasan yang sudah diakui para majikan. Beberapa foto calon baby sitter mama tunjukkan padaku, dan pilihanku jatuh pada baby sitter yang sudah berumur. Aku sengaja mencari yang tidak manarik karena takut Mas Raka akan tergodo seperti di film-film. Keputusan kami buat, dan besok orangnya akan dikirim ke rumah. Malam itu, Mas Raka lah yang menidurkan Arkan, dia juga menemani aku begadang meng
"Iya Bu, Amel akan memikirkannya lagi." Kataku sambil menatap ibuku. Arkan menangis, ibu memintaku untuk menyusuinya langsung karena asi yang aku pompa kemarin sudah habis. Setelah aku menyusui Arkan, ibu meminta bayiku kembali. Ibuku memang ibu terbaik di dunia. Beliau tidak ingin aku lelah. "Enak ya digendong nenek." Aku mengusap pipi Arkan. Dari depan terdengar suara mobil berhenti, bibirku menyunggingkan senyuman saat tahu yang berhenti adalah mobil Mas Raka. Mas Raka berjalan mendekat dan bersamaan Arkan muntah sehingga aku berlari masuk ke dalam. Dari belakang aku mendengar Mas Raka memanggilku. "Sayang." Mas Raka mengekori aku yang ingin mengambil tisu. Dia langsung memelukku. "Maafkan aku." Dia berbisik. Aku melepas pelukannya bukan tidak senang dengan kedatangannya tapi aku harus mengusap muntah Arkan. Ibu segera meminta tisu dariku, lalu beliau lah yang mengusap bibir Arkan. Setelah bersih dari muntahan, aku menatap suamiku yang sudah memasan
Di dalam kamar aku menangis, sungguh aku merasa sedih dengan sikap Mas Raka. Kenapa semua seolah aku yang salah? padahal aku hanya ingin merawat Arkan dengan tanganku sendiri? "Kenapa kamu begini Mas?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Kukira Mas Raka akan mengerti keadaanku, seorang ibu baru yang mengalami perubahan segala siklus hidup namun nyatanya tidak. Di saat seperti ini bukankah peran suami adalah mensupport istri? tapi mengapa malah balik menyalahkan? ArrggggAku berteriak sambil mengusap rambutku dengan kasar. Meskipun aku mengurus Arkan sendiri aku tidak pernah mengganggu tidurnya, seberapa repotnya aku tiap malam aku tidak pernah membangunkannya karena aku sadar dia harus bekerja. Tapi kenapa dia tidak mengerti? bukankah masa-masa seperti ini tidak lama, ketika bayi semakin besar dia pasti akan jarang bangun malam dan aku bisa mengurusnya kembali? Hati yang meradang membuat aku terus menangis hingga suara ketukan dari luar menghentikan tangisku. Aku berjalan u
Kutunggui dia yang sedang makan, entah mengapa melihat Mas Raka makan, aku merasa iba. Emosi yang memburu tiba-tiba menghilang. "Aku sudah selesai makan, apa yang ingin dibicarakan?" Dia menatapku. "Ayo le kamar." Tak ingin di dengar pelayan dan Mama aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tapi Mas Raka menolak dengan alasan kekenyangan jadi malas naik. "Kamu tuh kenapa sih Mas, bicara di kamar lebih leluasa tidak didengar banyak orang!" Aku memberengut kesal. "Apa masalahmu?" Nafasku kembali memburu, dia tidak pulang dan dia bertanya apa masalahnya? "Kamu tuh nyadar gak sih kalau salah! nggak pulang apa menurut kamu itu wajar?" Air mataku yang kutahan memberontak keluar, sehingga kini aku menangis di hadapannya. "Apa yang kamu tangisi bukanlah semua keinginan kamu?" Mendengar ucapannya sontak aku membuat aku kembali menatapnya, "Apa maksud kamu?" "Ya kamu lelah dengan Arkan bukanlah itu keinginan kamu? dari awal aku sudah mencoba menawarkan baby sitter tapi kamu selalu menolak."
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments