Bram semakin penasaran untuk mencumbu tubuh Naila. Setelah dua Minggu mereka menikah, ia menunggu dengan berbagai alasan. Bram sudah tidak sabar, terlebih lelaki itu mempunyai gairah bercumbu yang besar."Kali ini aku harus mendapatkan tubuh Naila, masa sudah satu Minggu aku tidak mendapatkan apa-apa? Sia-sia uangku dulu membeli dirinya!"Tidak kalah licik, Bram membeli obat perangsang untuk Naila. Ia membayangkan akan tubuh seksi yang siap memuaskan hawa nafsunya yang membara."Tunggu kau Gadis, nanti kamu akan merasakan hal itu sama sepertiku, bahkan bisa saja melebihi hasrat yang ada dalam diri ini." Bram menyeringai kala membayangkan tubuh istrinya yang belum pernah ia miliki seutuhnya.Ia bergegas pulang setelah urusan di kantornya selesai.**"Siang, Tuan," sapa asisten rumah tangganya.
"Selamat pagi, Om?" sapa Naila pagi itu.Bram melirik, dia terlihat sedang mengancingkan lengan kemejanya kemudian hendak memakai dasi."Sini aku bantu," ujar Naila yang kini mengambil alih dasi yang telah melingkar di leher, dengan lembut Naila membenahinya. "Sudah, Om," ujar Naila dengan seulas senyum di bibir merah mudanya.Bram melangkah meraih tas yang ada di meja kerja kemudian keluar kamar begitu saja tanpa ada kata terima kasih dari bibirnya.Om Bram kenapa? Batin Naila yang melihat suaminya kembali berubah dingin.Tiba-tiba saja ponsel Naila berdering, ia meraihnya di nakas kemudian menggeser layar ponsel miliknya."Halo?""Nai, tolong Ayah," lirih suara lelaki dari dalam ponsel."Ayah kenapa?""Ayah dikejar d
"Bagaimana kabar suamimu, Man?" Bram bertanya dengan binar mata bahagia, setelah lima belas tahun terpisah tanpa kabar akhirnya mereka kembali dipertemukan.Amanda tertunduk. "Aku telah bercerai tiga bulan lalu," jawab Amanda lirih."Kenapa?""Dia menyalahkanku karena sampai usia pernikahan kami belasan tahun belum juga dikaruniai anak, padahal--" ucap perempuan itu terhenti, dia terlalu bersedih ketika harus kembali terkenang pada sosok mantan suami yang dulu meninggalkannya."Padahal?" Dahi Bram mengernyit dengan sorot mata penuh tanya."Padahal dia sendiri yang sibuk, bahkan kami melakukan hal itu sangatlah jarang dan yang paling menyakitkan. Aku melihat dia bersama orang lain. Lebih parahnya, di ternyata penyuka sesama jenis." Air mata Amanda menetes, wajahnya memerah menahan semua pilu yang dia rasa saat terkenang masa pahi
Bram memacu mobil dengan kecepatan tinggi, dia melesat menuju rumah yang menjadi istananya. Dalam hatinya, Bram merindu sosok cantik yang kini menjadi istrinya, apakah dia benar-benar telah jatuh cinta pada Naila?Laki-laki berusia matang itu langsung menuju kamar. "Naila?" ucapnya yang kemudian menyalakan lampu kamar. Sayangnya Naila tidak ada dalam kamar.Bram menuju ke tempat tidur, lelaki itu memastikan kalau Naila memang tidak ada di sana ataukah matanya yang salah?"Kemana dia?" Bram duduk di tepi ranjang. "NAILAAA!!!" teriak Bram yang membangunkan asisten rumah tangganya."Kenapa, Tuan? Ada apa?" tanya asisten rumah tangganya ketika ada di depan pintu kamar Bram.Lelaki itu memandang tajam yang membuat asisten rumah tangganya bergidik takut, nyalinya ciut untuk menghampiri lelaki dengan wajah yang merah bagaikan terbakar.
Jasad telah dikebumikan, para pengantar jenazah telah membubarkan diri. Tinggallah Naila, Riyanti dan Bram yang ada di pusara itu."Naila, maafin Tante. Tante harus pulang ke Semarang, ayah Tante sakit," ujar Riyanti ketika masih di depan kuburan suaminya yang masih basah."Iya, Tante. Hati-hati," jawab Naila tanpa menoleh, gadis cantik ini masih menatap pusara ayahnya."Maaf, Nai. Rumah Papamu sudah diambil alih oleh pihak bank karena perusahaannya mengalami kebangkrutan.""Apa?"Naila membulatkan mata, dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Riyanti. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya berusaha mengikhlaskan, itu saja yang mampu dia lakukan."Iya, Nai. Papamu pun masih punya utang sama Bram. Tanpa sepengetahuanmu, Rudi telah meminjam uang yang cukup besar pada Bram dan maaf, hal itu T
Bram menoleh dan dia terkejut ketika seorang wanita yang memanggil namanya ternyata Naila, gadis yang resmi menjadi istrinya."Kamu lagi apa di sini?" tanya Bram pada Naila."Loh, yang ada Om Bram kenapa ada di apartemen janda?" tanya Naila yang terlampau emosi.Niken cukup tercengang, ternyata dalam beberapa hari lalu yang bermain gila dengan janda ini merupakan suami dari sahabat yang sudah dia anggap adiknya sendiri.Kasihan sekali Naila, batin Niken yang melihat kejadian ini."Heh, jaga mulutmu, ya?!" tukas Amanda tidak terima, walau sebenarnya apa yang dikatakan Naila itu benar. Dia memang seorang janda."Loh, emang benar, kan? Tante itu janda? Aku tau, tidak semua janda seperti Tante. Tetapi kenapa aku dipertemukan dengan janda seperti Tante?" jawab Naila."Bram, aku tidak terima deng
Baru juga beberapa detik Bram menyaksikan tangan Naila digenggam laki-laki lain, dia sudah terbakar cemburu. Dia langsung tancap gas, melesat meninggalkan Naila."Aargghh! Sialan! Ternyata kelakuan dia seperti itu di belakangku!" umpatnya sambil memukul stir mobil, "sial, sial, siaaall!!!"Dengan kecepatan tinggi, Bram melesatkan mobilnya menuju rumah. Hatinya sungguh geram ketika melihat Naila. Baru digenggam saja, Bram sudah marah seperti itu. Bagaimana kalau dirinya menjadi Naila? Bram tidak berpikir kalau dirinya pun bersikap seperti itu, bahkan sangat jauh dari itu. Bram sudah tidur dengan perempuan lain dan bukan hanya satu. Apa dia tidak bisa memposisikan dirinya sebagai Naila?Sesampainya di apartemen, Bram langsung masuk ke kamar lalu membanting pintu dengan kasar. Tubuh jangkungnya kini sudah terhempas di ranjang. "Aarrgghhhh!"Bram berusaha memejamkan mata, tetapi lelaki itu tidak dapat tidur. Bagaimana bisa, yang ada dalam pikira
"Kenapa aku di sini?"Naila yang heran ketika dia terbangun sudah ada di tempat tidur. Matahari pun telah bersinar cerah, tetapi tidak dengan Naila. Gadis itu belum menjelaskan inti permasalahan itu pada suaminya.Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan terlihat sesosok pria bermata elang. Sorot mata tajam yang terkadang membuat Naila merasa takut. "Om Bram?" gumamnya kala lelaki itu mendekatinya."Apa yang kamu mau katakan padaku? Hingga kamu rela tidur terduduk di sofa seperti itu, hah?" tanya Bram yang kini duduk di tepi ranjang."Em, itu--masalah kemarin, Om salah paham," ujar Naila."Salah paham gimana?""Sebenarnya aku--" Kata itu terputus saat dering ponsel Bram berbunyi."Sebentar," ujar lelaki itu kemudian meraih ponsel yang ada di nakas.