Share

Malam Pertama

Naila bergegas mengambil tas kecil lalu menyampirkan di pundaknya. Ia tampak cantik dengan mini dress di bawah lutut dengan rambut yang diikat tinggi sehingga memperlihatkan leher jenjang nan putih. 

Ia berjalan cepat yang membuat asisten Rumahnya bertanya. "Non Naila mau ke mana?"

"Nai ada perlu sebentar, Bi. Tidak lama kok, hanya sebentar juga pulang lagi," terang gadis cantik pada asisten rumah Bram. 

"Baik, Non. Hati-hati!"

Dengan sepatu heels ia melangkah ke luar rumah. Bersegera pergi menggunakan taksi walau ada sopir pribadi yang siap mengantar kemana pun ia pergi. Gadis itu berpacu dengan waktu, ia terlalu takut kalau suaminya akan lebih dulu sampai di rumah. Walau bagaimanapun, Naila belum mengetahui jam pulang kerja suaminya. 

Ah, semoga saja Om Bram belum pulang, batinnya yang disertai degup kencang dalam dada. 

"Stop! Kiri, Pak!" pintanya pada sopir taksi, ia membayar dan segera turun dari taksi tersebut. 

"Kelebihan, Mbak!" teriak sopir taksi kala Naila berlalu pergi.

"Tak apa, ambil saja, Mas!"

Dengan terburu-buru, Naila masuk dalam apotek yang cukup besar. 

"Mbak, Saya pesan obat tidur."

"Baik, Mbak. Ditunggu sebentar, ya?" Karyawati itu berlalu pergi. 

Tidak menunggu lama, karyawan itu kembali dengan obat yang dipesan oleh Naila. 

"Ini, Mbak, pesanannya." Karyawati itu pun memberitahu aturan dan cara pakainya. Naila mengangguk ia mengerti dengan apa yang diberitahu olehnya. 

"Em--maaf," ujar Naila dengan ragu-ragu. 

"Iya, ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

"Em--itu--anu. Aduh, bagaimana saya menjelaskan, ya?" Naila begitu bingung menjelaskan ucapannya, ia terlalu malu untuk mengutarakan maksudnya. "Anu, saya mau beli pil KB," ucapnya dengan pipi memerah. 

"Oh, kirain apa, Mbak. Santai saja kenapa harus grogi? Mbak sudah menikah, kan?" tanya karyawati itu sembari menelisik. 

"Su--sudah, tapi saya belum siap punya anak," jawabnya dengan terbata. 

Karyawati itu tersenyum kemudian berlalu untuk mengambil pil KB yang dipesan oleh Naila. "Ini, Mbak. Ada lagi yang bisa dibantu lagi?" 

"Cara pakeknya?" Naila tersenyum, sepertinya ia memutuskan urat malu untuk sementara waktu.

Karyawati itu kembali menjelaskan, setelah semuanya Naila pahami, ia pun memutuskan untuk pulang. Ia menyetop taksi kemudian melesat dengan hati yang berdebar. 

Apa Om Bram sudah pulang, ya? Ah, semoga saja dia belum sampai ke rumah, batinnya ketika ia dalam taksi. 

*

Taksi berhenti di depan pintu gerbang berwarna putih yang menjulang tinggi, Naila keluar dari dalam taksi dengan obat tidur dan pil KB yang ia simpan di tas kecilnya. 

Kaki jenjang itu melangkah ke rumah mewah. Betapa Terkejutnya Naila ketika melihat Bram sudah menunggunya di ruang tamu. Ia terlihat duduk dengan ponsel yang ada dalam genggamannya. 

"O--om Bram?" ucap Naila dengan bibir bergetar. 

Kepala Bram terangkat, wajahnya kini mendongak memandang gadis cantik yang berdiri di depannya. "Dari mana kamu?" tanya Bram kala melihat Naila. 

"Da--dari mini market, Om." Naila menjawab gelagapan. 

"Oh, bersiaplah. Nanti kita ke Mall," titah lelaki yang berkarisma tapi begitu menyeramkan di mata Naila. 

"Baik, tapi Om, Naila tidak ada baju ganti."

"Di lemari banyak baju perempuan, ambil saja yang kau mau."

What, kenapa bisa banyak baju perempuan dalam lemari itu? Batin Naila, ia tidak berani bertanya lebih jauh. Bram tidak mendesaknya saja, ia sudah amat bersyukur. 

Tanpa banyak bertanya, Naila langsung pergi ke kamar. Ia membuka lemari besar yang menempel di dinding kamar, tanpa disadari pintu kamar itu lupa ia kunci. 

Naila mulai membuka lemari, matanya mulai melihat satu persatu baju perempuan yang ada dalam lemari suaminya. Tangannya mulai lincah menyingkap satu persatu baju-baju itu. 

"Ya Tuhan, seksi sekali," gumamnya kala melihat beberapa potong pakaian. 

Ia masih mencari, berharap ada pakaian yang dapat menutup tubuhnya dengan sempurna. Hingga akhirnya Naila menemukan kemeja berlengan panjang dan celana jeans panjang. 

"Akhirnya, ada juga yang cukup tertutup."

Naila tidak ingin lekuk tubuhnya terlihat oleh Bram, ia terlalu takut Bram tergoda padanya, padahal dengan pakaian seperti apapun, Bram sudah tergoda olehnya. 

Naila pergi mandi untuk menyegarkan tubuh dengan terpaan air yang terpancar dari shower membuatnya relaks seketika. Naila melilitkan handuk berwarna putih di tubuhnya. Ia sedikit mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk. Begitu terkejutnya ia ketika sosok lelaki yang kini menjadi suaminya sudah duduk di tepi ranjang mereka. 

"Om ngapain ada di sini?" ujar Naila yang kembali masuk ke kamar mandi. 

"Nunggu kamu lama, ya sudah, ganti baju cepat. Aku sudah lelah menunggu," titah lelaki itu dengan ujung bibir yang terangkat.

"Tapi--tapi aku minta Om keluar dulu."

"Untuk apa?" Lelaki itu malah menatap ke arah Naila yang membuat gadis itu semakin malu sekaligus takut. 

"Aku mau," ujar Naila bersuara kecil. 

"Aku suamimu kenapa aku tidak boleh menatapmu? Sudah sah ini."

"Tapi, Om, aku--"

"Sudahlah, terlalu banyak alasan!" Bram bangkit dari ranjang, ia menuju ke pintu kamar. "Nanti malam juga aku akan melihat tubuh polosmu," bergumam dengan senyum menyeringai.  

Setelah pintu tertutup rapat, Naila langsung berlari untuk mengunci pintu itu kemudian memakai baju yang telah ia siapkan. 

"Ini baju siapa, ya? Ah, bodo amat, yang penting aku memakai baju."

Hanya satu baju yang ia bawa dari rumah dan itu pun sudah bau keringat. Dalam lemari Bram memang terdapat banyak sekali baju wanita, tetapi hampir keseluruhan dengan model seksi yang membuat Naila risih.

Naila sedikit memoles pipi dan membubuhkan sedikit blush on supaya terlihat segar, tak lupa ia memoleskan lipstik warna nude pada bibir tipis itu. Setelah semuanya selesai, ia menyemprotkan parfum ke lehernya. Wangi cherry blossom yang lembut telah bersatu di leher putih itu. 

"Aku sudah siap, Om," ujar Naila ketika ia berdiri di depan Bram yang khusuk dengan ponselnya. 

Bram melihat penampilan Naila dari atas ke bawah, bahkan hingga naik lagi ke atas. Cantik, gumamnya dalam hati. 

Tanpa banyak kata, Bram berdiri dari sofa, ia berjalan kemudian masuk dalam mobil hitam yang mewah yang diikuti oleh Naila. 

Keduanya kini berada dalam mobil dengan kaca yang tertutup sempurna menjadikan mobil Bram beraroma cherry blossom, parfum yang dipakai Naila. 

Oh Tuhan, aku tidak kuat dengan aroma manis ini, aku semakin tidak sabar untuk mencumbunya malam nanti, batin Bram kala duduk di samping Naila. 

Bram melesatkan mobil kesalahsatu mall di kota itu. Kini mobil mereka terparkir di loby. Naila turun dari dalam mobil yang diikuti oleh Bram. 

"Naila!" panggilnya.

Naila menoleh, "iya?" Ia melirik pada lelaki yang usianya jauh di atasnya. 

"Gak jadi, cepatlah masuk!" ucapnya kembali dingin. 

Kenapa dia? Batin Naila.

Mereka berjalan berdampingan, hanya saja tidak bergandengan tangan selayaknya pasangan baru. Entahlah, mungkin karena mereka sama-sama belum mempunyai rasa sayang. Pernikahan mereka seolah hanya status saja. 

Naila begitu kaget ketika Bram mengajaknya ke toko khusus pakaian dalam perempuan. Ngapain ajak aku ke sini? Batin Naila yang merasa heran. 

"Selamat sore, Pak. Ada yang bisa dibantu?" sapa seorang gadis cantik yang menunggu toko itu. 

"Sore, Mbak. Saya ingin mencari baju malam untuk dia. Kasih yang paling seksi, ya?" pinta Bram dengan wajah genit. 

"Siap, Pak! Saya mulai mengerti dengan selera anda," jawabnya dengan seulas senyum. "Mari, ikut saya, Mbak," ajaknya pada Naila. Sedangkan Bram duduk santai menunggunya di sofa cream yang ada dalam toko itu. 

Pelayan toko itu mulai mengambil beberapa koleksi terbaru dengan berbagai motif dan warna yang berbeda. 

"Ini koleksi terbarunya, Mbak. Silahkan dipilih."

"Astaga! Ini apa?" Mata Naila membulat kala melihat baju yang menurutnya seperti baju renang. 

"Lingerie."

"Ya Tuhan, untuk apa Om Bram membelikan ini untukku?" bergumam. 

"Yaelah, Mbak. Biasa aja kalik, Pak Bram memang suka wanitanya memakai pakaian seperti ini."

"Dari mana Mbak tau?"

"Dia sering ke sini dengan berganti-ganti pasangan, bahkan sepertinya tiap bulan ia ganti terus," ujar si pelayan toko yang membuat Naila kesal. "Jadi, Mbak mau pilih yang mana?" 

"Terserah Mbak, pilihkan yang paling tertutup!" ketus Naila. 

"What? Mana ada lingerie tertutup, Mbak?" ujar sang pelayan toko dengan mata yang membulat. 

Bram mendengar perdebatan yang terjadi antara istrinya dengan pelayan toko, lelaki itu menghampiri mereka berdua. 

"Ada apa ini?" tanya Bram yang membuat keduanya kaget. 

"Ini loh, Pak. Mbaknya minta lingerie yang tertutup mana ada model seperti itu?" ujar pelayan toko yang sedikit kesal. 

Bram membuang wajahnya, ia tersenyum mendengar keluhan sang penjaga toko karena kelakuan sang istri yang baru saja ia nikahi beberapa jam yang lalu. 

"Pilihkan saja sesuai dengan pilihanmu, Mbak. Saya percaya dengan pilihanmu. Ambil tiga saja dengan model dan warna yang berbeda," pinta Bram. 

"Baik, Pak. Permisi."

**

Malam pun tiba.

Bram masuk ke kamar, di sana ada Naila yang ada di ranjang dengan hati yang berdebar. Terlebih, ketika Bram menyuruhnya berganti pakaian dengan pakaian tidur yang tadi ia belikan. 

Naila meraihnya ia sedikit bingung jika memakai pakaian tidur yang transparan dibeberapa bagian tubuh. Naila bangkit dari ranjang. 

"Mau ke mana?" tanya Bram dengan wajah yang seolah siap menerkam. 

"Ke kamar mandi Om, kan Naila suruh berganti baju," ujar Naila yang kini duduk di tepi ranjang. 

Bram duduk di sampingnya. Lelaki itu malah menyibak rambut panjang nan hitam milik Naila. Ia mencium wangi dari setiap helai rambut istrinya. Napas Bram kini terasa hangat di leher Naila. 

Tuhan, tolong Naila. Batin Naila ketika Bram hendak mencumbunya. 

"Om, Naila ganti baju dulu, ya? Oh iya, Om minum saja dulu. Nai sudah mempersiapkan minuman spesial untuk Om Bram. Naila mandi dulu, ya, Om? Biar wangi." Naila buru-buru pergi dan masuk ke dalam kamar mandi. "Untung saja aku telah menyiapkan minuman itu sedari tadi," gumam Naila yang kini masuk dalam bathup.

Ia sengaja berendam agak lama, ia berharap semoga Bram sudah meminum sirup biru yang telah ia bubuhkan dengan obat tidur. Setelah cukup lama, tubuhnya pun mulai merasa dingin, ia bangkit dari bathup kemudian meraih handuk yang kemudian memakai pakaian malam seksi itu. Naila merasa ragu, ia menutup lagi tubuhnya dengan handuk kimono. 

Ya Tuhan, kenapa Om Bram belum minum juga? Batin Naila ketika melihat gelas masih terisi penuh. Sedangkan di sana, Bram sudah menunggunya sejak tadi. Dengan langkah kaki ragu, Naila mendekati Bram saat itu. 

"Sial! Mati lampu lagi!" ketus Bram kesal. 

Ia meraih ponsel dan meminta security untuk menyalakan genset, tetapi sia-sia, genset tiba-riba saja rusak. 

Naila merasa bahagia dengan keadaan ini karena melihat Bram sepertinya sudah badmood dari awal. Tetapi keceriaannya sirna dalam sekejap. Bram malah menarik Naila ke tempat tidur. Tangan lelaki itu mulai menelusup pada handuk kimono yang ia kenakan. 

"Jangan Om," lirih Naila. 

Bram menutup bibir tipis itu dengan telunjuknya, "Ssttt!" 

Bram hanya menyalakan lilin kecil karena genset yang tiba-tiba rusak. Dalam keadaan gelap, Bram malah terlihat sudah tidak sabar akan mencumbu sang istri. Naila hanya bisa pasrah karena hal itu telah menjadi kewajibannya. 

Tangan besar itu kini menelusup dalam setiap helai rambut Naila, degup jantung Bram mulai tak seirama karena didera dengan nafsu yang membara. Sementara Naila hanya bisa menitikkan air mata kala Bram hendak mencumbunya lebih jauh. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status