Share

Rencana Malam Pertama

Siang itu Bram pulang membawa serta sang istri. Dalam rumah yang besar itu, ia hanya tinggal bersama satu pembantu, security dan sopir pribadi. Nuansa putih terasa ketika memasuki rumah megah nan mewah yang berdiri kokoh di antara bangunan sederhana. Rumah Bram merupakan rumah yang paling mewah di sana. 

Tangan Naila ditarik menuju kamar, Naila yang tampak cantik membuat Bram begitu tergoda. Sungguh, ia tergila-gila pada kemolekan tubuh wanita cantik yang masih tertutup oleh kebaya, gadis cantik itu kini telah menjadi istrinya. 

Bruk! 
Naila didorong ke tempat tidur yang berukuran king size. Tubuh molek itu ambruk di ranjang yang dibalut oleh sprei berwarna putih. Bram pun membuka jas serta melonggarkan dasi yang ia kenakan. 

"Om, Om mau apa?" tanya Naila dengan bibir bergetar dan mata yang mulai berkaca

Bram tidak menjawab, ia mendekati tubuh istrinya yang masih memakai kebaya putih serta bawahan seperti kain jarik berwarna coklat. Naila terus mundur hingga ia terpentok ke dipan ranjang yang terbuat dari besi. 

Bram mulai mengusap pipi Naila dengan lembut, bibir yang selalu terukir dengan senyuman, membuat Naila malah semakin takut. 

"Jangan apa-apakan Naila, Om," pintanya memohon. 

Lagi, Bram hanya tersenyum dengan wajah bringas seperti hendak menerkam mangsanya. Tangan lelaki itu mulai mencabut bunga melati yang ada pada rambut hitam Naila, hingga seluruh melati sudah berserakan di atas tempat tidur. Bram mulai membuka dasi serta kemeja yang melekat di tubuhnya. Harum maskulin dari tubuh lelaki yang sudah berusi matang itu menyeruak di hidung Naila. Bram memang sudah berusia matang, tetapi badannya masih tegap bahkan terkesan sixpack. 

"Please, Om. Naila belum siap," pintanya lirih dengan bulir yang jatuh dari pelupuk mata. 

Bram seperti mati rasa dengan kata kasihan, yang ada dalan benaknya hanya ingin bermain-main dengan wanita cantik yang kini telah resmi ia persunting. Bram mulai membuka kancing kebaya Naila. 

"Jangan, Om. Naila mohon ...." suara lirih itu tetap Baram abaikan. 

Tuhan, tolong Naila. Nai tidak mau melayani Om Bram, batinnya menjerit pilu. 

Ponsel berdering. 

Naila sedikit terperanjat, tetapi hatinya senang. Paling tidak, Bram akan berfokus pada ponselnya. Tetapi Naila salah, Bram masih terus membuka satu persatu kancing kebaya yang ia kenakan hingga akhirnya bunyi ponsel itu mati, bahkan kembali terulang. Ponsel itu mengganggu konsentrasi Bram saat hendak mencumbunya.

"Sialan!!!" pekiknya lalu menjauh dari Naila untuk meraih ponsel. 

Sedangkan Naila yang ada di pojok sana mengeluarkan napas lega karena Bram tidak menyentuh dirinya.

"Halo?" Bram mengangkat telepon. 

Entah apa yang mereka bicarakan dalam telepon, Naila hanya bisa melihat dari ekspresi suaminya yang sepertinya marah-marah. 

Kenapa dia? Batin Naila yang masih menyimak percakapan itu walau dalam hatinya begitu ketakutan. Apalagi tadi Bram hampir saja membuka kebaya yang melekat di tubuhnya. Dengan segera, Naila membenahi kancing kebaya itu. 

Bram bangkit dari ranjang itu, ia membuka lemari kemudian meraih kemeja berwarna biru muda, ia juga memakai dasi dan jas, kini ia terlihat rapi. 

"Siang ini kita tunda dulu, bersiap-siaplah untuk nanti malam. Layani aku dengan baik!" pintanya kemudian berlalu pergi.

Hufftt! 
Naila mengembuskan napasnya, ia merasa bahagia karena lelaki bringas itu tidak jadi mencumbunya. "thanks God!" Dengan seulas senyum ia berterima kasih pada Sang Pencipta yang telah menolongnya. 

Namun itu bukan akhir, hal ini baru saja akan dimulai nanti malam. "Apa yang harus aku lakukan?" Naila bergumam. 

Pintu kamar terketuk, Naila bangkit dari ranjang besar itu kemudian menghampiri pintu, ia menarik handle pintu berwarna gold dan terlihat sudah wanita paruh baya yang kini ada di depan matan. 

"Makan dulu, Non," ucap asisten rumah tangga Bram yang membawa nasi, sayur dan juga air dalam satu tempat. 

"Taruh aja di sana, Bi," pinta Naila sambil menunjuk ke nakas. 

"Baik, Non." Asisten rumah tangga itu kini berjalan kemudian meletakkan seluruh makanan yang ia baya di atas nakas kemudian kembali menghampiri Naila yang masih ada di depan pintu. "Ada lagi yang bisa Bibi bantu, Non?"

"Naila kira sudah cukup, Bi, terima kasih," ucapnya dengan seulas senyum. Naila masih bisa menyembunyikan kesedihannya dari orang lain. 

Asisten rumah tangga Bram masih berdiri di depan Naila dengan seulas senyuman yang terkembang membuat keriput di area mata sedikit terangkat. 

"Bibi kenapa? Kok ngeliatin Nai seperti itu?" tanya Naila dengan menyipitkan mata. 

"Tidak, Non. Tuan Bram sangat beruntung memiliki istri seperti Non Naila."

"Dari mana Bibi tau kalau Om Bram beruntung dapatin Naila? Bibi kan tidak mengenal Naila."

"Bibi memang tidak mengenal Non Naila sebelumnya, tetapi saat ini Bibi bisa menilai Non Naila dari sikap Non yang ramah pada Bibi, meskipun Bibi di sini hanya sekedar asisten rumah tangga, tetapi Non Naila begitu ramah terhadap Bibi."

Pipi Naila memerah, ia merasa tersanjung telah menemukan orang baik dalam rumah yang dihuni oleh Bram si duda yang cuek dan dingin. 

"Kalau tidak ada yang Bibi bantu lagi, Bibi pamit ke dapur, ya, Non?"

Naila mengangguk, "Iya, Bi. Terima kasih."

Tidak ada yang dapat dilakukan Naila, rumah itu memang besar, tetapi untuknya terasa sempit karena ia akan tinggal bersama seorang yang bersikap dingin. Naila kembali masuk ke kamar dan meraih ponsel yang terletak di laci nakas. Ia duduk di tepi ranjang dan ternyata banyak pesan yang masuk dari teman-teman kampusnya. Bagaimana tidak, baru saja beberapa hari ia masuk kelas, hari ini ia absen masuk tanpa adanya keterangan. 

"Nai, lo kemana? Dicariin Andri, noh!" Isi pesan dari Niken. 

Naila mang cukup dekat dengan Niken walau ia Kakak tingkatnya di kampus. Bagi banyak orang, Niken itu menyebalkan karena sikapnya seperti cowok alias cuek tidak bisa berbaur dengan perempuan, tetapi tidak bagi Naila. Di depan mata Naila, Niken wanita yang baik bahkan care ketika seseorang bercerita padanya. Tidak seperti kebanyakan wanita, Niken tidak mungkin bertanya lebih jauh seumpama Naila bercerita. Maka dari itu, Naila merasa nyaman mencurahkan perasaannya pada Niken, si gadis tomboy yang cuek.

Naila pun mengubungi Niken, ia mulai mengklik nama Niken dan tidak berselang lama, telpon itu pun diangkat. 

"Weeii! Kemane aje, sih? Gue telepon gak diangkat, pesan pun baru lu baca. Ya Tuhan, panik gue nyariin lo di kampus," ujar si tomboy dalam telepon. 

"Aku menikah, Kak--" Bersuara lirih.

"What? Nikah? Sama siapa?"

"Aku dinikahkan paksa dengan seseorang yang tidak kucinta. Bertemu saja baru kali ini," keluhnya yang memendam tangis. 

"Ya Tuhan, kasihan sekali nasib lu. Si Andri patah hati deh, kalau tau lu udah nikah saat ini."

"Loh, apa hubungannya dengan Kak Andri? Kan kami hanya berteman."

"Itulah, yang lo nggak tau, Andri itu dari awal melihat lo, dia sudah jatuh hati sama lo, Nai," terang Niken yang membuat Naila mematung dan mulut seakan terkunci. "Nai? Naila? Woy! Malah ngrlamun, lu, yaa?" sambungnya. 

Naila terperanjat, ia kaget dengan panggilan yang cukup keras di telinganya dari Niken, "Eh, iya. Maaf, aku gak konsen mikirin buat nanti malam," ujar Naila dengan polosnya. 

"Uhuk! Yang mau honeymoon," goda Niken dengan tawa yang menyertainya.

"Yang ada Nai ingin menghindar, Kak. Nai takut. Naila masih ingin kuliah dan tidak ingin hamil dulu. Terlebih--" Naila bersuara lirih ia tidak sanggup meneruskan kata yang menyakiti hatinya sendiri apabila diucapkan. 

"Terlebih apa?"

"Dalam pernikahan ini, Naila merasa dijual karena orang tua Naila menukar dengan sejumlah uang dengan lelaki yang kini menjadi suami Nai."

"Astaga! Sabar, ya, Nai." Hanya kata itu yang mampu Niken katakan. 

Hening.. 

"Kak bisa minta saran enggak?"

"Saran apa? Gue belum berpengalaman soal malam pertama, Nai."

"Ish! Bukan itu."

"Lalu?"

Naila menceritakan tentang Bram yang tadi siang menyuruhnya untuk bersiap-siap melayaninya nanti malam padahal Naila sama sekali tidak menginginkan hal itu karena pernikahan mereka bukan terlintas dari dasar sayang dan rasa ingin memiliki, bisa saja untuk Bram hanya karena nafsu sesaat pada gadis cantik yang menjadi istrinya.

"Nai sadar kalau itu merupakan kewajiban sebagai seorang istri tapi Nai gak mau, Kak. Nai belum bisa menerima dia," lirihnya. 

"Gimana, ya? Beri sedikit gue waktu untuk berpikir, lima menit!"

Hening. 

Waktu terasa lama, padahal Niken hanya meminta lima menit saja. Hingga akhirnya mereka kembali mengobrol dan Niken menyampaikan ide gilanya. 

"Menurut gue sih, itu dulu untuk sekarang. Yaa, paling tidak, lo bisa selamat dari malam pertama yang tidak lo inginkan," ujar Niken melalui telepon. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status