Sudah waktunya pulang kerja. Gladys berjalan ke luar kantor, seorang lelaki menunggunya sambil bersandar di mobil. Sudah seminggu sejak mereka makan malam bersama, dan pemandangan Hans menjulurkna kaki panjangnya menunggunya pulang dari bekerja pada sebuah perpustakaan, sungguh menyenangkan hatinya.
“Hei, bagaimana kalau kita makan malam bersama?”
“Aku harus mencuci pakaian.”
Hans bingung, ajakan kencannya ditolak. “Kau menolak ajakan berkencan karena mau mencuci pakaian?”
Gladys menepuk-nepuk lengan Hans, “Maksudku, kau mendadak muncul dan mengajakku makan malam saat aku berencana mencuci pakaianku.”
“Bagaimana kalau kita makan malam di rumahmu agar kau tetap bisa mencuci pakaianmu? Ayolah, aku membawa donat.”
“Baik. Ikuti mobilku,” sahut Gladys pasrah. Ia menghindari ciuman Hans dan berjalan ke mobilnya sambil melambai. Setelah memasang sabuk pengaman dan mengemudi pulang, ia tersenyum mengingat ketampanan Hans dan betapa tersanjung dirinya. Kemudian mereka sudah sampai ke rumahnya. “Masuk, yuk.”
Hans melintasi dapur, papan lantainya berderit. Seperti sambutan saja, pikirnya. “Wow. Indah sekali.”
Gladys tersenyum, memang rumahnya bergaya lama dan rumit.
Hans mendekat dan memeluk Gladys. Wanita itu melekat di pelukan Hans. Terakhir kali tubuhnya terlibat kedekatan dengan suami sepupunya yang akhirnya lelaki itu lebih memilih wanita kaya yang sepadan dengannya, Gladys merindukan dekapan lelaki. Ia sandarkan tubuhnya pada lelaki itu yang kemudian mencium kepalanya, hemt… begitu menenangkannya. Kemudian ia mendongak agar si pria bisa mencium bibirnya. Setelah seminggu dari makan malam itu, sepertinya Hans mulai mendekatinya.
Lelaki itu mencium Gladys lama dan perlahan, menikmati rasanya. “Mau beri aku tour?”
“Tentu, tapi aku tidak punya bioskop di rumah, adanya cuma televisi di kamarku.”
“Kau mencoba mengajakku ke kamar tidurmu?”
Gladys tertawa. “Aku harus mencuci pakaian. Aku tidak bohong. Tapi ada waktu setelah cucian ronde pertama.”
Hans memeluknya lagi, dia kelihatan lega.
“Oke, ayo masukkan pakaianmu ke mesin cuci. Bagaimana kalau aku pesan makan via telephon? aku juga bisa pesan sebotol anggur.”
Gladys tidak menolak. Kemudian Hans mengikuti ke kamarnya. Wanita cantik dengan pipi bulat itu menghilang ke dalam lemari dan keluar membawa setumpuk pakaian dan membawanya ke ruang mencuci. Beberapa saat berlalu. “Aku baru saja mencuci, kita bisa makan malam di rumahku daripada keluar. Aku masih punya bahan makanan.”
Hans menaikkan alisnya pasrah.
“Pakaianku sudah masuk ke mesin cuci, lagipula aku agak letih. Sebentar lagi aku akan mengenalan celana yoga dan kaus.”
Hans melemparkan dirinya ke tempat tidur Gladys. Wangi kulit wanita itu menguar dari seprainya.
“Aku akan mengawasi. Kau tak perlu pakai bra di rumah. Aku kan bukan tamu.”
“Kau sangat pengertian.” Dan dengan itu, Gladys menanggalkan roknya lalu menggantungnya di lengan.
Hans menelan ludah. Gladys meletakkan roknya di kursi dan menanggalkan blus, kini ia hanya mengenakan pakaian dalam.
“Ya ampun.” Lelaki itu tidak tahan lagi. Sudut mulut Gladys tersenyum, Hans kemudian mencium lesung pipitnya. “Kau nakal sekali. Tapi kau membuatku bergairah.”
Gladys melepaskan kaitan bra dan membiarkannya terjatuh. “Aku bisa nakal bersamamu, Hans. Aku menginginkanmu.”
Bisikan Gladys yang menggoda membuat Hans menggila.
“Aku yang di sini.” wanita itu meraih tangan Hans dan meletakkannya di gunung kembar dadanya. “…adalah milikku dan milikmu. Bukan untuk orang lain.”
Lidah Hans menjelajah puncak gunung kembar Gladys dengan riang. “Aku suka berpacu dalam hidup. Aju juga suka hidup bebas dan liar. Tetapi aku sangat menghargai sudut pandangmu.”
Gladys terdiam, jelas mempertimbangkan apa yang akan dikatakan. Hans mengulurkan tangan dan membelai dagu Gladys.
“Kau bisa bicara apa saja padaku. Aku sudah mengejarmu sejak setahun lalu. Kau satu-satunya yang ada di pikiranku.”
Hans mencium Gladys lagi. Karena wanita itu begitu menggairahkan. Hans senang ketika mendapati reaksi Gladys membalas ciuman setelah pengakuannya tadi.
“Ayo perlihatkan keliaranmu, Hans,” goda Gladys sambil tertawa kecil.
Hans merebahkan Gladys dengan cepat dan menanggalkan celana jins dan pakaian dalamnya. Hans menciumi Gladys tanpa ada celah yang terlewat. Wanita itu tenggelam dalam gelora yang melenakan, ia memejamkan mata dan mendesah. Hans kembali melumat bibir Gladys dan memeluknya. Dada mereka menyatu, lengan Gladys merangkul Hans erat.
Hans semakin bergairah. “Kau suka yang kasar.” Bibirnya pindah ke puncak gunung kembar di hadapannya.
Suara Gladys mengoyak kendali dirinya. “Bercintalah denganku!”
“Aku ingin kau klimaks dulu.” Hans menghisap puncak gunung kembar Gladys.
“Ya,” gumam Gladys, memegangi kepala Hans. “Klimaks jelas harus. Tapi kau bisa melakukannya di dalamku.”
“Kau suka memerintah.” Hans yang tertawa senang telah tenggelam dalam gairah, akal sehatnya mulai runtuh.
Gladys mengulurkan satu tangannya di nakas dekat situ. Ia bersorak dan mengangkat sebungkus kertas timah. “Ya!”
Hans tertawa, mengambilnya dari Gladys, dan buru-buru menggunakannya. Hans langsung mendorong masuk ke tubuh Gladys. Wanita itu menghela napas tajam, nyaris tersedak mendapat kejutan manis tapi kuat dari Hans. Lelaki itu tahu benar cara menangani Gladys. Hans kasar, tapi tidak menyakiti. Kini ia tidak bisa berhenti saking menginginkan Gladys.
Ini liar. Dan Gladys wanita dewasa yang tahu apa yang ia sukai. Hans mempermudahnya. Kecocokan mereka membara. Ini membuat Gladys merasa begitu hidup.
“Astaga, aku tak pernah melihat apapun seseksi ini. Kulitmu merona. Tubuhmu membuaiku hingga mataku berkunang-kunang”
Gladys tidak suka kata-kata nakal, karena itu sering membuatnya menangis. Mungkin karena tidak pernah terdengar bersungguh-sungguh, atau pria yang bercinta dengannya hanya ingin merayunya saja. Tapi apapun alasannya, kata-kata Hans telah melepaskan sesuatu dalam dirinya. Melontarkan sensasi ke sekujur tubuh Gladys. Ia menggumam dan Hans menggeram, ritme perpaduan mereka begitu dasyat dan menggelora. Hans menggeramkan nama Gladys saat klimaks, dan wanita itu menyukainya. Suka karena tahu dia bisa memenuhi keinginan buas Hans, dan begitu juga sebaliknya. Tatapan Hans terpaku pada gunung kembar Gladys yang memukaunya karena bergerak sesuai irama mereka.
Keduanya beranjak bangun dari tempat tidur itu. Mereka telah selesai dengan hasratnya.
“Aku akan segera kembali.” Kalimat itu diucapkan Hans saat ia pergi setelah untuk sekali lagi mencium bibir Gladys cukup lama.
Gladys telah memutuskan untuk membalaskan sakit hatinya. Hans cukup tampan tapi ia hanya ingin menjadi wanita kaya yang tidak perlu bekerja untuk kehidupan sehari-harinya. Ia telah menyusun sebuah rencana besar, suatu skenario yang akan mengantarkan kakinya menuju rumah besar Reynold Arnoldi, sebagai seorang Nyonya Besar di sana. Tidak lagi tinggal rumah sederhana yang menurutnya tidak pantas untuk wanita secantik dirinya. Ia akan memandaatkan asset itu, ketampanan Hans cukup untuk memikat hati Mrs. Reynold, si pirang sombong itu. Untuk mengenyahkannya dari sisi Reynold. Sehingga lelaki itu hanya akan menjadi miliknya, kekayaannya keluarganya hanya akan jatuh kepadanya.
102.Wilman Larue menopang kepala dengan tangan. Meski sudah gelap berjam-jam lalu, ia tak berusaha menyalakan lampu di sampingnya. Meja besar yang ia buat bertahun-tahun lalu tak memberinya kepuasan sedikit pun. Kursi kulit nyaman yang diberikan Caren padanya setelah mereka menghasilkan sejuta mereka yang pertama tak menawarkan kelegaan bagi tubuhnya yang letih. Hatinya hancur, tekadnya nyaris lenyap. Putra sulungnya meninggal dan putra bungsunya yang menjadi penyebabnya.Anthoni telah membawa wanita keji itu ke dalam rumah mereka. la makan makanan mereka, tidur di bawah atap mereka, diperlakukan dengan sangat terhormat. Mereka berniat untuk menyambutnya ke dalam keluarga mereka yang penuh kasih sayang dan akrab. Wanita itu bukan hanya mengkhianati mereka, ia hampir menghancurkan dan menghina kebaikan serta kemurahan hati mereka.Menculik putri Sebastian Clement dari hadapan mereka rnenjadi penghinaan tambahan. Pada akhirnya gadisItu dikembalikan ke keluarganya. Mereka telah menempa
"Claire Dannes, adalah Yvonne Donnatella Ferguson. Kau sudah menikah dengan Andi Johnson selama tiga tahun. Kau dua puluh tiga tahun... Andi jauh lebih tua darimu. Kau adalah istri ketiganya,” ujar Marcel MacDower.”Grissham, Andi Johnson pebisnis sukses berusia empat puluh lima tahun dari Atlanta, Georgia. Kau habiskan sebagian besar hidupmu dalam industri plastik. Emma, istri pertamamu, meninggal saat melahirkan... Bayinya juga tak selamat. Istri keduamu, Leigh, meninggalkanmu setelah menikah setahun. la sekarang tinggal di Montana dengan suami dan dua anaknya.”"Kau bertemu Yvonne di sebuah pusat perbelanjaan... Kau sedang membeli parfum untuk wanita simpananmu. Kau mengajaknya kencan dan tiga minggu kemudian menikah di Vegas. Kau mencintainya, tapi memperlakukannya seperti anak kecil.”"Claire, Yvonne tumbuh dalam latar belakang yang tak stabil. Ibu dan ayahnya sama-sama suka menyiksa dan pemabuk, Ia tak pernah punya seseorang yang benar-benar mencintainya, gadis malang. Yvonne m
Insting Daren Grissham memberitahunya mereka lebih dari sekedar atasan dan bawahan, seperti yang diklaim Claire...Marcel McDower mencondongkan tubuh ke depan. "Clair lelah. Tugas terakhirnya benar-benar menguras tenaga. Aku bisa maklum jika ia menghindar. Itu bagian dari penyamarannya. Tapi ketakutan dan gugup bukan gayanya. Berikan ia beberapa hari, ia akan berubah."Grissham menatap McDower tajam. Pria ini sulit sekali dibaca. "Aku bisa menyesuaikan diri, tapi aku mulai bertanya-tanya seberapa hebat Ms. Claire sebenarnya.”"Claire yang terbaik, sesuatu yang akan segera kau sadari. Mungkin kau hanya perlu bersikap lebih memesona.”Persis seperti yang Grissham katakan pada diri sendiri tadi. Mungkin ia bisa sedikit berlatih. Ms. Claire yang cantik dan eksklusif menjadi target yang bagus.“Pesona? Aku tidak ada masalah dengan itu."McDower bangkit; merenggangkan tubuh, ia menguap lebar. “Nah, latihlah pesonamu dan aku akan memastikan itu akan membuat dirinya lebih ramah." la melirik
Claire menggeleng. Ia sedikit resah, karena telah mengarahkan pembicaraan mereka ke arah yang personal. Ia perlu mengembalikannya ke topik semula. "Sejauh ini, apa pendapatmu tentang WnR?"Meski Daren Grissham mengangkat sebelah alis tanda ia memaklumi pengalihan Claire pada topik pembicaraan mereka, ia menjawab datar, "WnR? Reputasi hebat, rekor kesuksesan mencengangkan, namun apakah kalian bisa menolongku, masih harus dibuktikan.""Ah ya. Marcel memberitahuku tentang permintaanmu.”"Benarkah? Kenapa ia memberitahumu?"Claire mengangkat bahu. "Aku punya koneksi yang mungkin bisa membantu." Mata Claire melebar sedikit. "Kau tak menyukainya?""Bukan, hanya terkejut. "Kupikir Marcel akan menanganinya sendiri.”"Mungkin ia akan melakukannya, tapi tentu saja aku bisa membantu.”Tapi untuk saat ini, ia masih belum menemukan kalimat yang tepat, analisa yang meyakinkan, semacam hari-hari terakhir kehidupan Sylvia Sanders. Sylvia Sanders sudah meninggal. Tak ada yang boleh menyangkal tentang
Senyum dingin yang melekukkan bibir Claire serta gaya acuh tak acuhnya saat bersandar ke kursi memberitahu Grissham bahwa Claire keberatan dengan pertanyaan itu. "Kisah hidupku akan membuatmu bosan.”"Aku sangat meragukannya." Grissham mendongak saat pelayan mendekat. "Bagaimana jika kita memesan lalu kita lihat apa aku akan bosan."Pandangan yang ditujukan Claire padanya terkesan biasa-biasa saja, tapi Grissham merasa ia telah membuat wanita ini tak nyaman.Setelah pelayan pergi, Grissham mengarahkan pandangan yang diharapkannya bersahabat, tanpa permusuhan. "Bagaimana jika aku duluan?"Mata Claire melirik turun ke meja sembari menyesap anggurnya. "Aku dibesarkan di Vegas dan dibesarkan di Belanda. Kurasa aku pernah menyinggung itu ketika kita pertama bertemu. Lulus dari University of Utrecht. Meneruskan usaha milik ayahku, sampai akhirnya aku mendaftarkan diri sebagai Agen FBI."Meski setiap insting memperingatkannya, Claire bersandar ke kursi, tertarik. la tak ingin datang ke sini
"Itu ide bagus," dusta Claire Dannes lancar.Kilat nakal dan menghargai berkilau dalam mata Daren Grissham saat ia mengangguk setuju. "Kita bisa makan siang bersama, jika itu bukan masalah bagi suamimu.”Sebelum Claire menjawab, Marcel menaikkan alis dan bertanya, "Suami?”Claire memaksakan senyum tipis. "Ketika sebelumnya bertemu Mr. Grissham, ia minta bertemu denganku. Karena aku sedang makan siang bersama Anthoni, aku terpaksa berbohong dan menolak dengan alasan sudah menikah."Marcel berdiri, sepertinya tak sabar lagi supaya mereka segera mulai. "Baiklah, nikmati makan siang kalian. Aku akan…”"Sayangnya aku harus kembali menolak. Ada beberapa hal terkait tugas terakhirku yang perlu kubahas dengan Marcel." Claire menoleh pada Grissham. "Mungkin kita bisa makan malam bersama malam ini. Sekitar pukul enam tiga puluh di Le Mirage."Grissham mengamatinya sesaat, lalu mengangguk."Sampai ketemu di sana." Setelah menjabat tangan Marcel, ia keluar.Marcel berdiri di depan pintu terbuka me